Bab 3

21 3 0
                                    

Waktu bergerak, mentari sudah menampakkan wujudnya. Kilauan bagaskara mencuri celah, mementaskan sinarnya pun rona-rona di sana seakan menari bak penari profesional. Kicauan burung-burung bagaikan suara alarm pagi pun cakrawala menampilkan pesonannya. Queen masih terlelap. Gadis itu tidur dengan kedua tangan bersedekap. Sementara laki-laki itu dengan posisi kepala bersandar pada kaca mobil.

Suara ponsel berdering nyaring, ia terbangun dengan kedua mata yang masih mengantuk. Perlahan kedua tangannya mengucek netranya dan menguap. Setelah itu, dipanggilan ketiga ia menekan tombol hijau. Di seberang sana suara terdengar berisik.

“Vanilla?” panggilnya dengan nada ragu.

“Bagus! Enggak pulang-pulang! Kemana sih, lo!” teriakkan si gadis membuatnya refleks menjauhkan benda pipih itu pun melirik sebelahnya, Queen masih di posisi awal.

“Gue di luar,” katanya.

“Gue juga tahu kalau lo di luar! Sekarang di mana?”

“Gue—” kalimatnya terputus. Pergerakkan dari Queen membuatnya berhenti bersuara.

“Nanti gue telpon.” Segera ia menyimpan ponselnya di dalam saku celana.

“Lo udah bangun?” Ia menatap lama gadis di sampingnya. Queen belum sepenuhnya sadar. Sejenak gadis itu kembali menutup mata.

“Lo tidur lagi?” tanyanya. Queen mengerjap pelan.

“Siapa?”

“Gue?” Ia bingung.

“Kamu siapa?” tanya Queen. Ia membetulkan posisi duduknya. Kepalanya masih pusing.

“Iya kamu.”

“Gue penyelamat lo!” katanya kesal.

“Apa?” Queen masih memproses penuturan si pemuda tampan itu.

“Gue Senja,” katanya ketus.

“Aku di mana?”  Queen tersadar.

“Di mobil gue! Di luar bareng gue!”

“Kamu siapa!” tanya Queen panik.

“Seharusnya, gue yang tanya lo itu siapa. Bisa-bisanya lo mabuk sendirian di sana,” omelnya.

“Syukur gue tolong, gimana kalau gue tinggal lo di jalan,” katanya ketus.

“Kamu yang tolongin aku?”

Laki-laki bernama Senja itu mengangguk.

“Gue mau pulang. Alamat lo di mana? Biar gue antar.”

“Mampus aku!” Queen tersadar. Bukankah dia kabur?

“Kenapa?” Senja bingung.

“Tas aku mana?” tanyanya panik.

“Di belakang lo,” jawabnya.

“Leah, Leah, Leah.” Queen mencari kontak Si Leah.

“Dia enggak telpon aku? Atau masih tidur?” gumamnya.

***

“Gue pikir, enggak tahu jalan pulang,” kata Leah sarkas. Luhtfi berdiri di samping kekasihnya.

“Untung gue enggak telpon bokap dan nyokap lo, Queen!” Leah gemas. Ingin menerkam sahabatnya itu.

“Maaf,” cicitnya sembari menggaruk belah pipinya yang tak terasa gatal.

“Beruntung lo ketemu kakak kelas kita. Gimana kalau enggak? Mampus yang ada,” ucap Leah sarkas. Queen mengerucut bibirnya.

“Maafin aku, ya, Leah. Kamu cantik banget kalau kalem,” rayu Queen sembari memeluk lengan sahabatnya itu. Senja masih diam.

Thanks banget lo udah bantu gue,” ucap Luthfi berterima kasih.

“Santai aja. Kalau gitu gue pamit pulang ya. Oiya, hati-hati. Nanti kabur lagi,” katanya.

Selepas mandi, Queen mendudukkan dirinya di tepi kasur sambil menatap jendela transparan. Cuaca terang. Jakarta kembali padat. Semua orang beraktivitas. Ia juga harus kembali pulang ke rumah. Tatkala ia tersadar dari lamunannya, Leah masuk ke kamarnya.

“Sarapan dulu,” kata Leah sembari melangkah ke arah Queen.

“Iya,” katanya.

Queen kembali melamun. Ia hanya menatap lurus. Luthfi yang tak sengaja melihat tingkah laku sahabat dari kekasihnya, segera menyenggol lengan kekasihnya. Leah yang merasa terganggu pun menoleh. Saat Luthfi melirik perempuan di sampingnya—memberi kode, Leah langsung menatap Queen.

Luthfi mengetuk meja dan Queen tersadar. Gadis itu memindai dua orang di hadapannya dengan kikuk. “Leah?” panggilnya ragu.

“Kenapa enggak di makan? Enggak enak?”

Queen menggeleng.

“Enak kok cuma aku udah kenyang.”

Luthfi dan Leah saling pandang. Keduanya kembali menatap Queen. Gadis di depan mereka seperti orang mabuk. Tak ingin berlama-lama dengan situasi seperti ini, Luthfi segera beranjak—bersiap-siap.

“Kalian udah siap?” tanya Queen yang melihat dua orang di depannya berdiri. Leah mengangguk.

“Lo harus pulang. Istirahat.” Leah meraih sling bag-nya.

Mobil berhenti, Leah dan Luthfi keluar. Mereka membantu Queen mengangkat barang. “Lo masuk aja. Biar gue yang bawa,” kata Luthfi seraya membuka bagasi.

“Masuk sana. Gue yang bantu Luthfi atau perlu gue antar sampai kamar?”

Queen menggeleng. Akhirnya, ia memasuki rumahnya. Lebih tepatnya kediaman kedua orangtuanya. Di sana sunyi. Tidak ada siapa-siapa. Sebelumnya, ia sudah mengabari keluarga, ia akan pulang. Namun, kabar dari pihak keluarganya mengatakan tidak akan berada di rumah manakala ia tiba di sana. Sebab, Papa dan Mamanya tengah berada di luar kota karena saudara dari pihak Mamanya ada yang mengalami kemalangan.

“Aku rindu rumah, tapi lebih rindu Kak Philip lagi,” batinnya. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang