Bab 53

2 1 0
                                    

Senja bangun dengan wajah bantalnya. “Paman bayi!” Faresta menyapa pemuda itu. “Sabar,” batinnya. Ia sedang membuka pintu pendingin—niatnya mau makan buah di pagi hari. Di luar sana matahari sudah meninggi. Sekarang ia dan Faresta sedang berada di dapur. Burung-burung tengah berkicau sehingga rungu menarik ingin mendengar lebih banyak lagi nyanyian dari hewan-hewan mungil itu.

Senja belum tahu kalau si kecil itu adalah anaknya. Semalam, Restu meninggalkannya di rumah ini dan hanya membawa kabur istri serta anaknya. Kesal, tapi senang juga. Harsa tidak semenyeramkan itu, orang satu itu semenjak memiliki cucu ikut bertingkah usil atau jangan-jangan Faresta bisa usil karena lelucon kakeknya?

Senja menggaruk kepalaya, rambut pemuda itu acak-acakan, ada beberapa helaian yang berdiri. Kalau dilihat-lihat Senja tampak lucu dengan posisi duduk sambil meminum air dari botol. “Paman bayi, main yuk,” ajak Faresta. Senja menggeleng. “Malas.” Si kecil mengembungkan pipinya. “Mama! Paman bayi enggak mau main!” terikanya. Senja spontan berdiri dengan air menyembur dari labiumnya.

“Sial gue,” batinnya. Musim panas semakin terasa panas karena dadanya panas. Jengkel, ingin marah, tetapi Senja tahan. Ia harus mendapatkan hati Queen lalu membungkam mulut si kecil dengan perhatiannya.

“Sayang, aku bukan bayi,” rengek Senja lalu memeluk Queen yang kebetulan datang ke dapur. Kemudian, tangan itu mengelus punggung. “Bavaria masih kecil. Kamu enggak apa-apa? Masih kuat?”

Senja mengangguk lalu mencium aroma tubuh kesayangannya. “Aku kangen kamu,” ujarnya. “Sini aku kasih hadiah biar semangat.” Senja menatap Queen. Material lembut itu menyentuh kening Senja. “Padahal, bibit kamu,” ujarnya pelan. “Hah?”

Queen tersenyum.

“Apa!”

Senja syok.

“Aku ... aku punya anak?” monolognya tak percaya. Queen mengangguk. Wanita itu memilih mengatakan yang sejujurnya. Senja duduk dengan tatapan tak percaya, kepala sibuk mencerna, berpikir di mana tempat ia melakukan itu sehingga menghasilkan satu bibit ungul seperti Faresta.

“Kakak enggak percaya? Ini Queen ada bukti.” Si wanita mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. “Ini foto aku masih bayi. Eh,” ucapnya berhenti. “Miripkan?”

“Cetakan gue,” ucapnya sambil mendramatis. Sekarang Queen tahu masalahanya, Senja hanya tak percaya ia bisa melakukan itu tanpa ikatan. Tentu, kejadiannya ketika Senja mabuk lalu mendatangi kamar Queen. Kemudian, dalam sekon waktu semua terjadi. Sehari sebelum keberangkatannya, Senja datang menemuinya dalam keadaan berantakan. Di rumah sakit jiwa itu, Senja merancau tidak jelas, beruntung tidak ada yang dengar hanya ia dan pemuda itu di dalam kamar.

“Kakak ingat?” Senja sedang mengulik kembali ingatannya. “Aku tidak menyangka, satu kali buat bisa menghasilkan satu bibit bagus.” Si laki-laki tengah membenarkan duduknya lalu tangan Ila yang sedari tadi gatal ingin memukul Senja dengan bantal. “Ila!”

“Ini tindakan KDRT!”

“Mulut lo!”

“Gue benarkan?” ucapnya sambil mengusap lengannya yang baru saja menjadi tempat kemarahan Ila. Di ruang tengah keluarga Parvati, Senja, Restu, Ila, dan Queen tengah berkumpul. Vanilla ingin mengantar cemilan, mungkin Faresta akan memakannya.  

“Gue mau tanya,” kata Restu. “Tanya apa kak?” Atensi Queen melihat sepasang suami istri itu bergantian. “Siapa namanya?” Ila bertanya. “Bavaria siapa? Namanya lucu.” Restu ikut bersuara. “Faresta Bavaria,” jelas Queen.

“Aku suka namanya, sayang,” ujarnya sambil mendekat. “Umurnya berapa Queen?”

“Tahun ini enam tahun,” terang Queen. “Kalian harus menikah,” ujar Ila dengan gerakan tangan cepat memukul bokong Senja. “Ila, ini sakit,” geramnya. Rahangnya terkatup. “Maaf, maaf,” ujarnya merasa bersalah.

“Bagaimana?” Restu mengambil perhatian mereka semua. “Soal menikah.”

Queen dan Senja saling menatap. “Ini bukan perkara mudah. Gue tahu,” ujar Restu. “Tapi akan ada yang bertanya, anak itu siapa ayahnya.” Restu menceritakan kegelisahannya. “Kalian bisa tinggal di Jerman atau Korea. Bebas. Tidak perlu di Indonesia jika merasa keberatan.”

“Memulai dari awal, itu tidak apa-apa.” Ila ikut membantu suaminya. Queen meremas jemarinya. Faresta mungkin tidak pernah bertanya lagi sejak ultimatum dari dirinya. “Suatu saat nanti, kita pasti akan bertemu Papa,” ujarnya sambil menangkup dua belah pipi mungil anaknya.

“Kamu benci aku?” Senja bertanya. Salah satu pertanyaan itu muncul di kepalanya. “Aku yang pilih pergi, Kak. Aku juga yang ingin membesarkan Faresta, Kak. Maaf tidak pernah menghubungimu,” sesalnya. Senja berjongkok di hadapan Queen yang terduduk.

“Enggak sayang. Bukan seperti itu yang aku pikirkan. Aku enggak akan pernah bisa benci kalian. Kamu punya alasan dan aku ngerti.” Dada Senja seperti diremas tatkala mengucap kalimat itu. Delapan tahun, itu jarak yang lama sekali untuk bertemu. Perbedaan, perubahan, banyak berganti seiring ruang dan waktu bergerak.

“Banyak yang hilang setelah lo pergi Queen. Kita belum sempat cerita, ya kalau kepergian lo saat itu merubah semua tatanan di sekolah.”

“Maksud Ila? Queen enggak ngerti.”

“Lo salah satu siswi berprestasi, banyak pernghargaan atas nama lo. Sekolah tetap akan terima kalau lo mau tetap lanjut di sana. Soal anak-anak, kepala sekolah, Kak Damar dan yang lain pasti bantu.”

“Tapi posisinya, Queen mau berobat.” Senja menengahi percakapan mereka. “Gue tahu,” restu membalas.

“Sekarang kita juga enggak tahu gimana kabar Gautama, iyakan?” Mendengar itu, Queen merunduk. “Aku—” Senja membungkam labium merah muda itu dengan ibu jarinya. “Enggak perlu dibahas.”

“Percakapan ini cukup sampai di sini.” Senja berdiri. “Gue belum makan. Jadi, biar Queen kasih makan gue dulu.” Senja mengusap perutnya. “Laper,” rengeknya. Mau tak mau, Queen harus bergerak ke dapur menyediakan sarapan, bukan, makan siang untuk Senja. Laki-laki itu telat bangun. Waktu juga banyak terbuang karena mereka berbincang-bincang.

  “Dia itu terbuat dari apa, sih, sayang?” Ila mendesis tidak percaya. “Tapi sahabat kamu,” ujar suaminya. “Sahabat kamu juga,” balasnya menyenggol lengan Restu. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang