Alunan musik mengalun merdu dalam kamar luas itu, seseorang tengah duduk di tepi kasur dengan tatapan dalam—melihat putra kecilnya terlelap. Menarik selimut tebal berwarna dongker, bermotif bintang-bintang dan awan—si kecil suka melihat langit malam. “Mama, cita-cita kakak nanti mau jadi astronot,” ucapnya kala ia baru saja memakaikan baju rajut dari buatan ibunya.
“Benarkah? Kakak mau jadi astronot?” tanyanya memastikan. Si kecil mengangguk dengan antusias. “Mau!” girangnya. Ia terkekeh singkat lalu memeluk buah hatinya. Kemudian, mencium kening putra sematawayangnya.
“Queen,” panggil Meera. Wanita itu mendorong kecil pintu kamar itu lalu mencondongkan setengah badannya. “Iya Ma?”
“Leah menelpon,” ujarnya. Queen beranjak. “Kalau ada perlu bilang langsung biar Mama bantu,” ucapnya. Queen tersenyum sebagai tanggapan. Meera ke dapur, sedangkan dirinya mengangkat telepon rumah. “Leah?”
“Ini Queen?” Leah terdengar semangat. “Iya, ini aku.” Di seberang sana berisik. “Jangan gerak-gerak, sayang. Kamu baru aja pulih,” ucap suaminya mengingatkan.
“Kamu sakit?”
“Enggak kok. Aku udah sembuh,” balas Leah cepat.
“Aku kangen.” Leah mengucap kalimat itu dari lubuk hatinya. “Kamu ada di mana? Libur nanti aku ke sana.” Queen menunggu jawaban. “Aku dan Luthfi tinggal di luar negeri.” Wanita itu cemberut. “Benarkah?”
“Hmm. Kamu ada di mana Queen?”
“Jerman. Kamu tahu kota Rothenburg? Aku tinggal di sana.”
“Provinsi Bavaria?”
“Iya.”
“Sayang, dari Perancis ke Jerman berapa lama?” Samar-samar Queen mendengar. “Masih satu benuakan? Berarti tidak jauh.”
“Masih satu daratan. Aku pikir kita bisa ke sana kalau anak-anak sedang libur. Gimana?”
“Setuju. Aku ikut kamu.”
“Yes!” Leah semangat.
“Lama, ya kita enggak jumpa,” ujar Queen tiba-tiba. “Kamu tahu cari keberadaan kamu itu susah banget. Aku hampir nyerah.”
“Healing butuh waktu, Leah.”
“Aku tahu. Sekarang gimana? Kamu baik?” Hening sebentar. “Semuanya baik-baik aja.”
“Ini bukan mimpikan? Aku udah bangunkan?” monolog Leah sambil mencubit belah pipinya. “Udah sayang. Nanti pipi kamu bengkak. Terus heboh sendiri.” Luthfi gemas melihat tingkah istrinya, sedangkan yang ditegur hanya menunjukkan cengir khasnya. Luthfi menggeleng kepala.
“Yuk, kita tinggalin Mama,” ajaknya. Buah hatinya terlelap dalam gendongannya. “Aku tinggal dulu, ya. Puas-puas kamu telponan.”
***
Delapan tahun berlalu, Queen sekarang lebih baik dari Queen sebelumnya. Tinggal di tempat baru, suasana baru, dan orang-orang baru. Banyak yang berubah. Wanita itu beranjak dari sofa—meninggalkan rajutannya. Berjalan mendekati pintu utama dari bangunan besar itu, ia tersenyum kala melihat si kecil bergerak lincah.
Andai hari itu Harsa tidak membawanya pergi meninggalkan Jakarta, Queen tidak tahu seberapa banyak lagi tubuhnya harus menderita. Tidak bisa dikatakan sembuh total. Sebab, luka tak terbentuk itu adalah bekas patahan dari manusia yang pernah teramat ia cintai.
Cuaca cerah, cakrawala membentang luas dengan biru sebagai teman manusia manakala sibuk melakukan aktivitas di siang hari. Teriknya matahari tidak membuat insan di bumi harus menyerah, mereka punya tanggungjawab, ada orang-orang yang harus mereka beri perlindungan setiap harinya.
“Kakek!”
Queen haru. Tidak pernah sedikit pun si kecil kekurangan kasih sayang. Sejak meninggalkan Indonesia, Harsa dan Meera tidak melepaskan genggaman, dua orang itu ikut andil membesarkan buah hatinya. Dahulu Queen tidak mendapatkan semua itu sepenuhnya dan orangtuanya meminta maaf karena tidak bisa memberikan yang terbaik. “Papa dan Mama udah kasih yang terbaik untuk Queen,” ujarnya.
“Faresta!” Queen memanggil putranya.
“Mama!” Si kecil mendekat. “Kita ke alun-alun. Maukan?”
“Hore! Kakek, kita pergi ke alun-alun kota!”
Harsa bahagia menatap potrer yang tergambar di hadapannya. Tinggal di sini cukup lama terasa damai dengan beban pundak semakin menipis. Awalnya, orangtua Meera menentang. Mereka juga secara gamblang tidak menyukai Queen. Sebagai orangtua, Harsa tidak bisa membenci putri bungsunya.
Sedari dulu Queen kecil selalu menempelinya, mengikutinya. Jadi, kesannya si kecil itu tidak mau jauh darinya. Walaupun pekerjaannya menumpuk, Harsa sebisa mungkin meluangkan waktunya untuk si kecil. “Di mana istri Papa?” Harsa mencari Meera.
“Mama tadi di sini,” ujar Queen yang ikut mencari keberadaan Meera. “Mama enggak diculik orangkan? Masih cantik soalnya.” Harsa bergurau. “Kakek!” Faresta kesal.
Kota yang masih mempertahankan nuansa abad pertengahan ini begitu cantik. Berada di wilayah Bavaria dekat sungai bernama Tuber, kota tua dengan enam gerbang besar—pintu masuk ke kota Rothenburg dan hampir semua bangunan di sini dibangun sekitar abad 14 M. Queen tidak menyangka akan berada di tempat bersejarah seperti ini. Selama delapan tahun pula.
“Mama, kue bola salju,” bujuknya. Queen pun mengikuti kemauan putranya. Sebagian besar toko roti dan kue menjual jenis makanan yang menarik minat dan tiap turis datang ke sini selalu mengabadikan momen jenis-jenis makanan unik itu sebelum disantap.
Queen menelusuri jalan setapak yang terbentuk dari pecahan batu-batu asli, terkesan natural. Musim panas di sini (Eropa) tidak sepanas dan selembab di Korea. Panasnya benua Eropa itu seperti musim dinginnya Korea. Pagi hari dingin, siang hari sejuk.
Bangunan di kota ini tampak unik, model-model tiap rumahnya memiliki ciri khas, gaya arsitekturnya begitu kental sehingga terlihat elegan maka tidak heran apabila turis yang bertandang ke sini takjub dengan pemandangan bak negeri dongeng. “Faresta, pelan-pelan nak,” ujar Queen mengingatkan si kecil. Sebab, putranya itu tampak senang.
“Papa ada rencana mau ke Korea,” ujarnya tatakala mereka berjalan pulang. “Korea?” Queen membeo. “Faresta mau ikut!” Si kecil antusias. “Papa mau ngapain ke sana?”
“Rencananya mau bulan madu dengan Mama?”
“Hah?” Queen terliihat lucu seperti itu. “Papa serius?” tanyanya ragu. “Mama, bulan madu itu apa?” Faresta penasaran. “Itu—”
“Kakek mau kasih adik bayi buat Kakak mau?” Harsa langsung mendapat pukulan dari sang istri. “Ya ampun, Harsa!” Meera berkacak pingang. “Kamu dari mana sayang,” ujarnya mengalihkan topik.
“Enggak boleh kasar-kasar di depan cucu, Sayang.” Harsa membujuk. “Nenek dan Kakek mau buat adik bayi, ya?” tanyanya polos. Meera spontan memukul kening. “Ajaran sesat,” gumamnya. Queen tersenyum melihat tingkah laku orangtuanya.
“Bukan adik bayi, Bavaria sayang,” ujarnya memberi pengertian. Harsa mengembungkan pipinya. “Hanya bulan madu,” ucapnya sambil memicing—Harsa tertekan mendapatkan tatapan dari istrinya. “Mama kamu galak,” ujarnya pelan. Namun, dapat di dengar Queen.
“Jadi, adik bayinya enggak dibuat, ya Ma?” Faresta masih mempertanyakan itu. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Dark √
Novela JuvenilNaraya Queensha, seorang gadis remaja. Ia harus bertahan hari ini, esok, lusa, dan seterusnya. Berjuang dengan dua tungkai yang sewaktu-waktu akan berhenti. Tatkala ia sudah melabuhkan cinta pada seseorang. Namun, dengan lihainya semesta mengguncang...