Bab 32

0 1 0
                                    

Si laki-laki labium tebal itu tengah menutup pintu kamarnya. Ia meletakkan tasnya sembarang tempat. Senja langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Rasa lelah menyeruak di dalam daksanya. Ia sedang berpikir dengan netranya memandangi langit kamarnya. Senja termenung, pikirannya jatuh saat Leah setengah mati menahan angkaranya.

“Queen! Queen!”

Si gadis jelas panik tatkala sahabatnya jatuh pingsan di tengah pertemuan yang tak berlangsung lama itu. Luthfi bergegas mendekat. Langsung saja Si laki-laki itu menggendong Queen. Senja diam seribu bahasa. Sejujurnya, ia tak mengerti situasi. Queen masih berbicara lalu tiba-tiba saja Si Gadis yang berada di sampingnnya tergeletak di tanah. Leah yang berada tak jauh dari sana berlari mendekat, meninggalkan Luthfi di parkiran.

Otaknya sedang berkerja. Memahami sederet kejadian di sana. Satu hal yang tak ia mengerti. Kenapa hidung gadis itu berdarah? Senja tersentak. Ia lantas berdiri tatkala pintu kamar diketuk kuat-kuat. “Aludra,” panggilnya manakala Si Kecil memeluk kakinya. “Ayo main,” bujuknya dengan dua bola mata polosnya. Senja sejenak terdiam. Skenario apa untuk hari ini?

“Aludra,” panggil ibunya. “Mama?” beonya. “Kamu udah pulang?” tanyanya lembut. “Mama sakit? Wajah Mama pucat? Uma di mana, Ma?” cecarnya. Si ibu menggeleng. Ia mengusap pelan belah pipi Si Kakak. “Mama enggak apa-apa. Papa ada kasih tahu kamu enggak?”

“Papa?” Senja mengeryit. Bingung. “Enggak ada. Kenapa? Papa enggak pulang?”

“Udah dua hari,” ujarnya. “Nanti Senja datang ke kantor.” Senja memapah ibunya. “Mama istrirahat aja di dalam kamar.” Dua manusia itu menuruni undakan tangga. Aludra mengekor di belakang. “Mama,” panggil Uma yang baru datang. “Mama sakit,” jelas Senja. “Biar gue aja, Bang. Lo ambil minum di dapur,” ungkapnya.

Uma tidak pernah suka kalau ibunya dekat dengan saudara tirinya. Lagi dan lagi kasusnya sama. Keluarga. Gamma dengan permasalahannya, Senja dengan derita serta luka-lukanya. Belum lagi kisah Luthfi.

Di dapur, Senja menuangkan air mineral yang berada di teko ke dalam gelas. Setelah air mengisi gelasnya, Senja menelpon papanya. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua, ketiga, diabaikan. Lalu dengan kesal di kepalanya, Senja menelpon lagi. “Maaf, sayang,” ujarnya dengan nada bersalah.

“Papa ada di mana?” ujarnya to do point. Artur menatap ke kiri. Ada seseorang di sana tengah tidur pulas. “Di luar kota. Maaf enggak bilang ke kalian. Ada urusan mendadak,” ujarnya. Ia bersandar di kepala ranjang dengan tubuh atas telanjang.

“Mama sakit,” balasnya. “Udah kamu kasih obat atau dibawa ke rumah sakit?” ujarnya panik. Melihat Brisa bergerak gelisah, Artur menetralkan deru napasnya sambil memijit pelipisnya. “Papa belum bisa pulang. Bilang ke Mama dan lainnya kalau Papa telat pulang.” Artur menutup panggilan. Ia bergerak mendekati Si Pujaan Hati. Lengan kirinya ia gunakan sebagai bantal untuk Si Wanitanya. Kemudian, mengusap labium itu pelan lalu mengecupnya singkat. “Maaf, aku egois,” batinnya.

“Masalah ini pasti selesai. Kita bertiga pasti akan berkumpul.” Artur mengusap belah pipi wanitanya lembut. Kadang-kadang ia membenamkan wajahnya di ceruk leher wanitanya.

Artur juga sesekali mencuri bau wewangian Si Wanitanya. Tak ada yang ia inginkan selain kehadiran Si Perempuannya berserta anaknya di dalam rumah—istana yang ia bangun untuk keluarga kecilnya. Andai masa lalu tidak menjebaknya. Andai semesta tidak ikut campur tangan. Andai dan andai. Artur hanya bisa berandai-andai.

“Senja membenciku,” gumamnya sembari menatap dalam Si Empu dalam dekapannya. Rengkuhanya mengikat Brisa dalam kungkungannya. Kemudian, bibirnya terkatup. Artur perlahan terbuai dengan aroma yang mengisi indranya lalu pelan-pelan matanya berubah sayu.

“Kenapa Tuhan mengirimkan banyak sekali rasa sakit di diriku?” batinnya. “Kenapa aku mendapatkan lebih banyak duka ketimbang kebahagiaan?” Artur masih terjaga dengan pandangan yang mulai mengabur—mengantuk.

“Bahkan, semua itu membuat diriku dibenci oleh putraku sendiri. Apa tidak cukup untuk semuanya?” Perlahan tautan—pelukan mulai mengurai. Artur tersenyum tipis. Kendati Brisa tertidur, wanita itu masih kelihatan indah di matanya. Pikirannya melayang pada skenario mengakhiri hubungannya dengan Sang Istri. “Apa aku jahat kalau memutuskan seperti ini?” batinnya sebelum mata itu mengatup sempurna. []  

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang