Bab 55

3 1 0
                                    

Inilah hidup.

Segurat lelah terpatri jelas diraut wajah manusia tatkala berdiri di depan pintu lalu mengembuskan napas lega karena sudah pulang. Paling tidak menghilangkan penat, rasa lelah serta kantuk membabi buta menyerang tanpa belas kasian.

Jika ada yang bertanya, apakah Queen berhenti menulis? jawabannya, tidak. Tidak akan pernah!

Buku baru, ini yang kelima.

Sederet kalimat mungkin terdengar jauh lebih baik daripada kau mengungkapkan semua isi hati dengan bersuara.

Kenapa?

Itu menyakitkan.

Seseorang bisa saja menangis.   

Sudah berapa lama tubuh ringkih itu tenggelem bersama duka?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menguatkan tungkai berjalan?

Seberapa beraninya tubuh itu menampung beban-beban?

Coretan-coretan di lembar-lembar usang itu tak terhitung, sudah cukup banyak tinta-tinta hitam itu berjalan menghiasi setiap ruang yang terdapat pada benda ringan itu. Queen tak pernah menyerah  dalam menyelesaikan bukunya.

Buku ini tercipta tatakala ia sedang berproses menyembuhkan diri. Warna ceritanya kental. Pahit, manis, dan ada beberapa hal di dalamnya mengenai kisah singkat. Namun, terasa panjang untuk dijalankan. Wanginya terasa nyata. Hangat.

Biru?

“Queen, kenapa kamu begitu menyukai warna itu?” Seseorang pernah bertanya seperti itu kala hening menghiasi ruang tempatnya menghabiskan waktu. “Um, mungkin karena warnanya teduh. Kita seperti tenggelem dalam lautan. Itu menenangkan.”

Masih lengket di kepala Queen, dokter itu tersenyum simpul melihatnya. “Aku belum pernah bertemu seseorang seperti Anda. Aku harap di kemudian hari seorang malaikat menemukanmu.”

 Queen menangis. Dadanya terasa penuh. Dokter itu diam. Ia membiarkan si gadis menangis. "Hidup itu seperti air, mengalir." Tujuan dari seseorang akan tercapai apabila perihal yang dikerjakan telah usai atau Tuhan mengambil nyawanya karena akan ada pengganti di luar sana—sesuatu terbaik dari kacamatanya.

Philip pergi. Segala kenangan itu terpatri jelas dalam kepalanya. Bahkan, ingatan itu masih terasa hangat dan dekat. Queen akui bahwa kepergian sang kekasih merupakan ledakan yang tak pernah ia bayangkan. Dalam hitungan jam ia kehilangan separuh jiwanya. Alasannya tetap ingin tersenyum dan melakukan segala aktifitas di bumi ini.

Queen ingin sekali saja, kali terakhir mendapat salam perpisahan yang layak. Ucapan selamat tinggal. Ia ingin melepaskan Philip dari hatinya. Tak ingin mengikat pria itu lagi sebagai kunci kehidupannya. Ia akan bertahan, membuka buku baru dengan kehidupan yang terus berjalan.

Selama delapan tahun Queen berjuang, mengeluarkan sakit-sakit itu dari tubuhnya. Ingatan yang tersimpan di laci-laci memorinya ingin ia hilangkan. Namun, menghapus Philip sepenuhnya dari kepalanya bukan hal yang bagus. Ia harus melewati semuanya. Ia harus merelakan sosok lembut, hangat, dan penyayang itu.

"Kamu boleh menyimpannya lebih lama, tetapi ingatlah bahwa orang mati tidak untuk dilupakan sepenuhnya. Ingatlah bahwa Philip bersamamu. Dalam hatimu. Simpan di sana. Jangan menyakiti dirimu yang amat dicintainya."

Dokter itu berucap. Queen semakin histeris sambil memeluk tubuhnya—di atas brankar. Gadis itu membenamkan wajahnya di antara dua lututnya. "Saya tahu melupakan adalah yang sulit ketika kita jelas menyimpan semua kenangan manis di kepala, akan tetapi menyakiti diri sendiri bukan bagian dari daftar dalam hidup ini. Waktu bergerak, orang-orang akan meninggalkan tempatnya dan Anda masih di sini? Tidak. Philip akan kecewa."

Disela-sela percakapan itu, terlintas bayangan Philip memandanginya dengan garis melengkung di bibirnya. "Suatu saat nanti, ada kalanya Kakak akan berhenti menjaga Queen dari dekat." Si pria menatapnya teduh.

"Kenapa?" Saat itu ia tak pernah tahu kalau percakapan itu menjadi sebuah kenyataan.

"Ada daun yang lain akan menjaga Queen dari dekat dan Kakak akan melihat Queen tumbuh dengan baik dari tempat lain."

Queen memeluk erat tubuh Philip sambil menggeleng. "Kak Philip, jangan seperti itu. Queen enggak sanggup kalau harus berjalan sendirian," ujarnya sambil menahan tangis.

Philip mengusap kepalanya lembut, mencium puncak kepalanya lalu mendekap lebih erat. Ia menghirup dalam aroma tubuh kesayangannya. Pemuda itu mengerti, ada beberapa hal tak bisa digenggam dalam satu waktu.

Kecelakaan itu sudah direncanakan. Philip menolak perasaan Deluna. Ia mencintai kekasih kecilnya. Ia ingin merawat, menjaga, dan tumbuh bersama Queen, tetapi Tuhan punya kisah lain untuknya. Ditakdirkan hanya sekedar mengisi lembar-lembar kertas yang bukunya harus diisi penuh dengan sang gadis.

"Anak kecil itu tidak berguna!" Sanjaya membentak Philip. Pertemuan itu berujung perselisihan, perdebatan yang tak pernah Queen ketahui.

"Bagaimana pun Queen juga bagian dari keluarga ini." Philip tetap pada pendiriannya.

"Perjodohan ini hanya akan terjadi kalau kalian setuju. Queen bukan milikmu! Aku sudah mengaturnya!" Dengan tegas Sanjaya berujar.

"Padahal Queen juga bagian dari Anda. Jangan menyakiti mereka karena keinginan Anda!" Philip tidak tahan lagi. Ia diam, orang-orang ini mengatur jalan hidupnya. Memilih abai, ia akan kehilangan sebagian dari kisahnya. Namun, bertahan dengan isi kepala yang hampir meledak juga bukan pilihan yang bagus.

"Philip, sudah." Ibunya mendekat, meraih lengannya. Perdebatan ini harus segera dihentikan. Lagi pula sejujurnya, wanita itu tidak setuju dengan Sanjaya. Ini putranya. Hidup anaknya. Ia tidak perlu memaksa sesuatu jika Philip tidak menyukai hal tersebut, akan tetapi suaminya tak beranjak dari sana—tempat duduk itu seolah menelannya.

"Perjodohan ini akan berlanjut. Philip lepaskan Queen. Menikahlah dengan Deluna." Sang suami berdiri—ia pun masih ingin mempertahankan wasiat Papanya. Philip harus menikahi cucu pertama Sanjaya. Pertemanan itu terjalin, dua manusia itu ingin melanjutkan ikatan tali yang  mereka bangun.

"Philip menolak!" Pemuda itu sekali lagi melawan. Sanjaya geram. Kemudian, di wajahnya tergambar sebuah senyum tipis. Ia akan memisahkan Queen dan Philip. Sepasang kekasih itu harus berhenti. Jadi, bila Deluna tidak bisa bersama Philip maka Queen harus merelakan pria itu. Sanjayalah yang membunuh Philip tepat di mata cucunya sendiri.

Queen menyaksikan kecelakaan itu. Damar juga di sana—Philip sempat menghubunginya. Gadis kecil itu berteriak tidak terima atas kehendak langit yang mengabulkan permintaan orang lain. "Kak Philip!"

"Tidak! Tuhan!" Jeritan itu terasa pilu di rungu Damar.

"Tidak! Jangan!"

Alarm sudah berbunyi dua puluh menit lalu, Queen dan Senja masih berbalut selimut. Semalam pemuda di depannya demam, Queen sempat kalang kabut. Sebab, tatkala ia ke kamar pria itu hening yang menyapa. "Panasnya udah turun." Tubuh pria itu setengah telanjang. Bergerak gelisah, Senja mencari posisi ternyaman. "Kakak udah bangun?"

"Belum," jawabnya serak. Queen terkekeh singkat. "Masih sakit?" Queen merapatkan tubuhnya ke Senja—melihat Senja lebih dekat. Senja menggeleng. “Sakitnya bakalan hilang kalau Queen cium terus,” ujarnya pelan lalu si gadis menyambut dengan pukulan ringan di dada pria itu.

“Kakak enggak bosan dekat Queen terus?”

“Oh, jadi kamu bosan lihat Kakak terus?” Goda Senja. “Bukan begitu.” Si gadis menggeleng, ia tidak setuju dengan pendapat pemuda di hadapannya.

“Selama di sini Kakak selalu di dekat Queen. Pagi, siang,  dan malam. Emang enggak bosan? Di tempat kerja juga selalu telpon Queen.” Si gadis cemberut.

Senja menyentuh dagu Queen sehingga keduanya saling bersitatap. “Enggak ada kata bosan kalau udah jatuh cinta,” ujarnya. Queen malu, pipinya semerah tomat. Semburan itu membuat Senja ingin terus mengganggu si wanitanya. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang