Bab 2

35 3 0
                                    

Pada rembulan yang berperan sebagai ratu ketika malam tiba pun cahayanya bagaikan selendang membaluti manusia di kala lelah datang menguasai. Di atas permukaan air tenang refleksi rembulan membius netra tatkala memandanginya. Sejumlah bintang hadir bak tamu di perjamuan makan malam dengan rembulan tokoh utamanya. Queen memejamkan matanya manakala tubuhnya sampai pada kasur empuk dan Leah menyelimuti gadis itu dengan lembut. Setelah sahabatnya keluar dari kamar, Queen kembali membuka matanya. Menatap langit kamar dengan pandangan terluka. Ia pun meremas jemarinya. Dadanya terasa penuh. Sesak.

Menggingit bibir bawahnya, gadis itu mendudukkan diri dan menyandarkan daksanya pada kepala ranjang. Segera ia meraih ponsel yang berada di sampingnya lantas membuka galeri. Di sana tertampang banyak foto dengan dirinya dan kekasih sebagai objek. Queen mengusap layarnya. Tanpa sadar bening itu jatuh. Ia terisak. Kepergiannya kali ini ke Seoul melepas rindu. Setiap liburan ia akan membeli tiket ke Korea, akan tetapi perjanjian yang tertulis di lembar kertas—dua hari sebelum kepulangannya ke Indonesia, Leah dan Luthfi membuat semacam kesepakatan agar ia tidak lupa perkataannya tempo hari. Kalau tubuh, kepala serta hatinya akan beristirahat.

Memindai sekitar, Queen beranjak. Tungkainya menyentuh lantai. Ia mendekati jendela besar transparan. Di sana bola matanya melihat pergerakkan lalu lintas padat Jakarta lalu memandangi pintu kamarnya. Ia ingin melarikan diri malam ini, ingin bersenang-senang menikmati cumbu sang malam.

“Sebentar. Aku cuma pergi sebentar,” batinnya. Tak ingin membuat sepasang kekasih itu terus mengkhawatirkannya,  Queen bergegas meraih sling bag-nya.

Gadis itu mengendap, memastikan Leah dan Luthfi kembali ke kamar masing-masing. Queen tak mengunci kamarnya karena ia pikir tidak akan lama di luar sana. Kaki-kakinya meninggalkan kamar hotel. Sepanjang menelusuri lobi, Queen tak henti-hentinya meminta maaf karena membuat pilihan seperti ini. Sekian kalinya ia membuat orang-orang di sekitarnya cemas.

“Kepala aku sakit,” keluhnya setelah menghabiskan sebotol wiski. Di meja bar itu ia melihat ponselnya berkedip. Berita sekolah.

Berita hangat!

Dua muda-mudi tertangkap kamera cctv di gedung olahraga.

Ada yang tahu siapa mereka?

Queen tersenyum tipis. Sebulan libur semester, akun lambeh turah sekolah itu kembali aktif. Kali ini siapa? Di antara siswa-siswi tenar itu wajah siapa yang tertampang di mading utama? Gadis itu memijat keningnnya yang terasa berat. Tubuhnya seakan mau tumbang. Ia harus segera pulang—kembali ke hotel.

“Sakit,” rengeknya.

***

Queen tertidur pulas, sedangkan seseorang di kursi kemudi menatap lurus ke depan. Ia belum menjalankan mobilnya. Masih bingung. Mau dilempar atau dibuang di mana gadis di sampingnya. Tadi bartender itu meminta bantuannya untuk mengantarkan sosok cantik yang tampak damai itu kembali pulang. Sebab, tempat tersebut akan ditutup.

Cukup lama bergelut dengan pikirannya, ia memutuskan membawa gadis itu bersamanya malam ini. Sejujurnya, ia sudah menggeledah tas si cantik itu, akan tetapi tidak ada apapun kecuali uang tunai dan ponsel. Tatkala ingin memeriksa ponsel si gadis, pria itu mendapati gawai itu terkunci.

Sebenarnya, ia harus pulang tepat waktu malam ini. Namun, kehadiran gadis itu mengurungkan niatnya. Jadi, ia menyampaikan permintaan maaf pada sang sahabat yang berada di seberang sana. Ia tak akan pulang ke rumah, apalagi kembali ke apartemen. Menyewa hotel? Tidak! Itu tak akan terjadi. Namun, berdua di mobil juga tidak baik bukan? Mendadak kepalanya sakit memikirkan alasan apa yang pantas.

Menghela napas berat, pemuda itu memutuskan keduanya akan tidur di dalam mobil. Tidak mungkin membawa gadis itu bersamanya pulang ke rumah.

“Ke apartemen enggak mungkin. Restu di sana. Bisa mampus gue kalau bawa perempuan ke apartemen,” katanya pelan.

“Ke hotel? Enggak! Bisa-bisa gue diinterogasi,” ucapnya sambil memikirkan kemungkinan yang terjadi.

“Sial! Baru juga pulang ke tanah air, gue udah dapat musibah aja!”

“Lo pulas banget tidurnya, gue makin enggak tega buang lo di jalan,” katanya dengan nada bersalah.

“Lagian kenapa juga lo harus mabuk-mabuk sendiri di sana?”

“Mendadak gue jadi bodyguard,” keluhnya dengan bibir mengerucut sebal.

“Awas kalau gue enggak dibayar,” katanya kesal.

“Besok pagi pasti gue diomelin Vanilla gara-gara enggak pulang.” []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang