Bab 45

0 1 0
                                    

Meera menatap nanar sosok di depannya—orang itu membawa berita yang mengejutkan. “Sejak kapan?” Pikirannya kacau.

“Sejak kehilangan Philip.” Meera membekap mulutnya—wanita itu tak percaya. “Nyonya!” Seorang pelayan, kepala pelayan kepercayaan Meera menahan berat badan majikannya. “Tidak mungkin,” gumamnya. Wanita itu terduduk di lantai dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Pilu. Kesedihan melingkari keluarganya.

“Maaf kalau kedatangan saya membuat kalian terkejut, akan tetapi sudah hampir seminggu Queen melarikan diri dari rumah sakit,” ujarnya. Pria itu berdiri di depan pintu utama. Tanpa basa-basi, laki-laki itu menyampaikan kedatangannya.

“Se-seminggu?”

“Koreksi. Hampir seminggu,” ujarnya terdengar ketus. Tidak tahu motif apa yang membawa Alfred berdiri di depan istri Harsa tersebut. Sejujurnya, ia ingin menemui Harsa, mengingat Queen pernah membicarakan pria paruh baya tersebut. Namun, yang membuka pintu bercat cokelat terang adalah istri Harsa langsung saja ia mengatakan siapa dirinya.

“Nyonya, sebaiknya anda istirahat dulu. Saya akan menghubungi Tuan besar.” Kepala pelayan itu hendak meraih lengan Meera, tetapi si wanita menolak. “Jelaskan semuanya dari awal. Apa yang terjadi dengan putri bungsuku,” ujarnya. Meera sebenarnya tidak kuat.

Setelah sedikit tenang dan mendapatkan privasi, Meera menatap tajam pemuda di hadapannya. “Aku tahu keadaan putriku. Dia baik-baik saja,” ujarnya. Ia menolak pernyataan dokter muda tersebut.

“Berita yang Anda dapat dari siapa? Sopir pribadi atau Leah selaku sahabat pasien?” cecar Alfred. Meera bungkam.

“Suami Anda dan keluarga ini tidak tahu apa yang terjadi dengan Queen. Perlu saya tekankan kalau gadis itu sudah seharusnya dirawat di rumah sakit jiwa,” ujarnya tegas. Meera tersenyum miring. “Tidak mungkin. Queen itu tidak sakit. Putriku hidup dengan baik.” Meera denial.

Alfred mengeluarkan serangkaian data—kondisi Queen yang kian memburuk. “Anda bisa membacanya. Saya sebagai dokter yang merawatnya.”

“Psikiater?” Meera lalu menatap Alfred. “Anda masih ingin membatah kesehatan Queen?” Meera meremas lembaran kertas itu.

Menggigit bibir bawahnya, Meera menahan pedih di dadanya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. “Harsa?” batinnya. “Anda bisa mengatakannya.” Alfred melihat kontak yang menelpon si perempuan. Diam. Tidak ada tindakan lebih lanjut dari Meera—wanita itu mengabaikan panggilan suaminya.

“Queen—” kalimatnya terputus. “Saya akan menjelaskannya. Sebelum itu, Anda tidak tahu atau sadar bahwa selama ini Queen mengalami trauma? Paling tidak beberapa tindakan aneh. Sesuatu tidak biasa.”

Meera hampir menjawab tidak, akan tetapi pikirannya melayang pada reaksi Queen tatkala ia bertanya. “Gadis itu terkejut.” Batinnya. “Kamu lagi apa, Queen?” Meera pernah melihat si bungsu berada di kamar mandi dapur. Air yang turun dari kran mengisi percakapan itu. “Ini,” ucapannya belum selesai. “Jangan lupa matikan lampu dapur, ya, Queen,” ujarnya lalu melenggang pergi.

“Pisau cutter ini untuk apa?” tanyanya tak sengaja melihat benda tajam itu di dalam kantong plastik—posisinya berada di balik selimut. “Itu.” Queen belum menjawab. “Kamu makan kue, jangan lupa pisaunya di simpan sayang. Bahaya,” pesannya. Manakala hendak keluar dari kamar si bungsu, maniknya menangkap sesuatu di tong sampah. “Darah?” batinnya. “Mama belum balik ke kamar?” Si kecil menoleh lantaran ibunya masih berdiri di depan pintu.

Saat itu Meera tengah sibuk mencari beberapa buku untuk ia bawa sebagai teman dalam perjalanan bisnisnya. Di ruang perpustakaan pribadi Queen, wanita itu tidak sengaja melihat beberapa obat dalam tas kecil yang berada di bantal lesehan. “Zoloft?” batinnya. “Ini?”

“Meera!” Si laki-laki berdiri di depan pintu dengan tangan dipenuhi adonan—sepasang itu tengah membuat cemilan untuk dinikmati di depan televisi—berdua saja. Wanitanya menoleh. “Iya?” Meera menanggapi dengan tersenyum. Meletakkan kembali barang si bungsu, ia berjalan mendekati. “Kenapa?”

Harsa mengadu dengan wajah cemberut. “Adonannya, aku rasa itu enggak akan berhasil,” ujarnya merajuk. Meera menangkup pipi sang suami, ia mengecup singkat labium itu. “Enggak apa-apa. Masih ada aku. Artinya, adonannya bakalan selamat.” Keduanya terkekeh. “Bukunya udah dapat?” Ia melihat ke arah ruangan cukup besar itu. “Ada beberapa.”

“Rencana aku ada hal yang ingin ditambahkan di ruangan itu.”

“Apa?” Meera kembali melihat tempat itu. “Queen suka beberapa mainan lucu. Lebih tepatnya hiasan. ”

“Mau didekor ulang?”

“Kamu mau bantu aku? kita pilih barang yang Queen butuhkan?” Sang suami tersenyum tatkala wanitanya mengangguk.

***

Harsa mendekap tubuh istrinya yang tengah menangis pilu. Pandangan pria itu kosong. Ini mengingatkannya dengan situasi lama. “Meera,” batinnya. Awal pernikahan itu terasa dingin—dua tahun menjalin rumah tangga bersama Meera, Harsa abai. Fokusnya pada wanitanya yang berkerja di kediamannya—perawat anaknya.

Diam-diam Harsa menemui pujaannya tatkala Meera terlelap atau barangkali si istri tengah sibuk dengan pekerjaannya. Dua sampai tiga kali pertemuan dalam seminggu sudah cukup bagi Harsa—diam-diam merajut asmara dengan kekasihnya di belakang istrinya.

Deluna masih kecil, sering ditinggal. Kadang-kadang Harsa memberi kode di depan istrinya. Saat itu Meera belum menyadari situasi. Masih percaya suaminya belajar menerima ke datangannya. Namun, dibalik senyum manis Harsa, sebenarnya itu bukan dilemparkan pada Meera, melainkan pada kekasihnya.

Berlanjut sampai Meera melahirkan Queen—anak kedua. Bertahun-tahun Harsa mempermainkan Meera. Kemudian, manakala Meera menelpon Harsa sampai tiga kali, satu panggilan pun tidak terangkat. Akhirnya, wanita itu mendatangi apartemen suaminya. Terkejut. Ada sepatu, baju, tas, dan juga beberapa makanan. Sampai di depan kamar, Meera mendapati suaminya tengah menyesap labium merah muda dan itu bukan dirinya.

Malam-malam selanjutnya, Meera bermimpi buruk karena keberadaan suami dan perawat anaknya. Menyaksikan pria yang ia cintai tengah bersama wanita lainnya, Meera menyakiti dirinya sendiri. Tidak melawan, diam, dan pura-pura tidak tahu. Tiba di mana kondisi psikisnya terganggu. Ia menyalahkan diri sendiri, Harsa tidak mencintainya.  

Pura-pura tersenyum, bahagia, seolah tidak ada kendala atau hal besar menimpanya. Meera tercipta untuk bungkam. Melihat bunga-bunga di sekitar lelakinya. Kemudian, pelan-pelan mulai berani mengosumsi obat dan pulang larut—ditemani oleh alkohol, tempat Meera mengasingkan diri.

Wanita itu menyadari tidak ada harapan dalam pernikahannya sehingga membiarkan Harsa melakukan sesukanya. Ia pasrah dan menyerah. “Meera?” panggil Harsa. Tangannya mencekal lengan istrinya. “Iya, ada apa? Kamu butuh sesuatu?” Meera menjawab lembut pun tersenyum tulus.
“Aku bakalan pergi seminggu.” Ucapan Harsa membuat Meera berpikir. “Samita juga cuti selama seminggu,” batinnya. “Ah, mungkin mereka akan bersama nanti.”

“Iya,” jawabnya seadanya lalu melenggang pergi. Harsa melihat punggung wanita itu, ia merasa sedih sudah berbohong.

Kemudian, hari-hari selanjutnya Meera memilih menghabiskan waktu di luar. Deluna dan Queen tinggal di tempat kakek-neneknya. Meera mulai mengabaikan panggilan dan pesan Harsa. “Kamu susah banget dihubungi.”

“Aku sibuk.” Depresi sudah cukup jauh bersarang di kepala Meera. Tubuhnya tidak kuat lagi. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang