Bab 50

0 1 0
                                    

Queen pulang, ia memandangi kedua sepatu putihnya. “Kotor,” batinnya. Tadi Harsa membawanya pergi ke rumah sakit jiwa, seluruh keluarganya tahu, kecuali kakek-neneknya. Di halaman belakang Queen berdiri diam dengan kepala berat. “Setelah ini apa?” Ia bertanya-tanya.

Melihat sekitar, Queen merasa hampa. “Aku butuh Kak Senja.” Terlintas di pikirannya, Philip tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ini berat.” Dari arah dalam, Leah berjalan mendekat. “Queen, ayo masuk,” ajaknya.

“Leah?” Sudah dua hari sejak Senja hilang dari pandangannya. Tidak ada kabar.  Sahabatnya juga sejak semalam sudah di sini.  

“Istirahat dulu, ya,” ujarnya. Si gadis mengikuti langkah sahabat karibnya. “Leah, kapan Kak Senja ke sini?” Berhenti sejenak, Leah diam. Ia tahu situasi sudah memburuk. “Kak Senja mempersiapkan ujiannya.” Leah terpaksa berbohong. Selanjutnya, Queen tidak bertanya lagi.

Sulit sekali bertahan di bumi ini, permasalahan terus datang, solusi kadang-kadang tidak membuahkan hasil. Melarikan diri ke ujung dunia pun tak akan membantu. Pijakan tiap hari semakin goyah, jari-jemari yang biasa menggandeng tubuh ringkih mulai melepas.  

Queen terduduk di bantal lesehan dalam perpustakaan pribadinya lalu teringat tentang Gautama. Meremas sweter rajutnya, si gadis kembali mengingat malam hitam dengan dingin menyapa kulitnya. Dalam kamar mandi berbalut air dingin, Queen merencanakan kematian, sisi gila dari dirinya terkadang tidak terkendali. Orang-orang punya pikiran negatif mengenai hidupnya. Barangkali semua orang pernah menempatkan dirinya sendiri sebagai seorang pembunuh.

Beranjak dari tempat duduknya, Queen berjalan menelusuri rak bukunya, di sana tangannya bergerak cepat mengambil buku karya Hans Christian Andersen, si gadis menyukai dongeng-dongeng buatan si penulis kelahiran Denmark tersebut. “Kalau Samita boleh tahu, kenapa Queen suka dongeng?”

Ia mendongak lalu hening beberapa detik, meletakkan kembali mainannya, meraih buku gambarnya—menunjukkan pada Samita. “Berwarna. Queen suka warna. Ada banyak dan itu mirip pelangi,” ujarnya.

“Mama dan Papa sibuk. Jadi, tidak ada yang bisa mengisi warna untuk Queen,” ujarnya lesu dengan kepala tertunduk, akan tetapi ia kembali memandang Samita dengan senyuman. “Queen dan buku-buku sudah cukup.” Si kecil melanjutkan permainannya.

Pernah dengar kisah itu, Queen pertama kali mendapat buku itu dari teman sekelasnya. “Aku enggak suka buku,” ujarnya. Queen terima dengan suka cita lalu memeluk erat buku dongeng tersebut. Kemudian, mengucap kata terimakasih dengan riang.

Sebagian orang akan menolak kalau dirinya biasa saja, mereka yang terlahir sempurna tanpa catat akan selalu dipandang terbaik, sebaliknya seseorang dengan kekurangan akan selalu menjadi bahan permainan. Queen pernah melihat dan ia juga merasakan diposisi itu. Banyak dari orang-orang merubah dirinya agar terlihat semakin cantik, tetapi beberapa di antara mereka menerima keadaannya.

Tidak semua orang belajar mencintai dirinya, termasuk Queen. Ia menyakiti tubuhnya, meninggalkan bekas luka, mengonsumsi obat-obatan secara berlebihan. Kadang-kadang mengabaikan pola makan, si gadis juga sering berdiam diri dengan wajah sembab. Kematian paling nyata adalah ditinggal Philip sehingga pikirannya tidak terkunci untuk merawat diri.

“Queen,” panggil Leah. “Iya Leah, kenapa?” Si gadis menunggu. “Kak Senja,” Leah ragu. “Kak Senja kenapa?” Queen takut. “Kak Senja di rumah sakit,” ujarnya. Bahu Queen lemas. “Apa?” Ia tak percaya. Baru dua hari tidak bertemu.

“Queen!”

Leah berlari mengikuti. Dadanya gusar. “Nona!” Salah satu pelayan di sana berusaha menghentikan Queen. “Sampaikan pada Paman Harsa, Leah ikut bersama Queen,” ujarnya. Si pelayan mengangguk. Menetralkan detak jantungnya, Leah berhenti sebentar. Queen sudah berada dalam mobil pribadinya.

Dengan tungkai kaki yang tak berhenti bergerak, Queen menelusuri lorong rumah sakit dengan keadaan panik. “Kak Senja gimana?” tanyanya setiba di sana. Peluh memenuhi kening Queen, perasaannya kalut. “Lo tenang dulu,” terang Abian.

“Senja pasti baik-baik aja. Gue yakin,” ujar Restu. Ila menangis dalam pelukan kekasihnya. “Aku enggak mau kehilangan Senja,” bisiknya. Restu membisikan sesuatu yang hanya di dengar oleh Ila. “Kita enggak akan kehilangan siapapun.”

Queen menggenggam erat jemari Senja—punggung tangan pemuda itu menempel di pipi Queen. Keterangan dokter, Senja hanya kelelahan—laki-laki itu menghabiskan waktu di kamar, belajar untuk mempersiapkan ujiannya. “Queen kalau kakak pergi suatu hari nanti, kamu mau ikut?”

“Asal berdua, Queen enggak masalah,” ujarnya.

Please, bangun Kak. Aku kangen.”

Bibir tebal itu pucat. Raut wajah damai Senja membuat Queen semakin takut kalau salah satu di antara mereka tidak bisa bertemu lagi. Harsa akan membawanya pergi jauh. Ia akan memulai pengobatan di luar negeri. Papanya sudah mempersiapkan rencana itu dengan matang, Meera akan bersamanya.

“Queen pasti rindu,” ujarnya pelan. Gadis itu berdiri, ia mengusap pipi Senja lembut. Kemudian, labium lunak itu menyentuh kening Senja—salam perpisahan. Lusa ia akan berangkat. “Queen izin pergi.” Perlahan genggaman itu terlepas. Dadanya perih.

Membuka pintu kamar tersebut, Queen disambut dengan raut sendu Leah. “Gue bakalan rindu,” ujarnya lalu menangis sambil memeluk erat sahabatnya. Si gadis menggigit bibir bagian bawahnya kuat. “Leah harus terbiasa tanpa Queen nantinya,” imbuhnya. “Gue enggak sengaja dengar dari Kak Damar,” sambungnya.

“Kalau emang itu perlu, gue harus rela biar lo juga bahagia,” tuturnya. Belum sempat Queen membalas, Harsa berdiri tidak jauh lalu berujar. “Ayo, sayang kita pulang.”

“Queen pulang dulu.” Tidak bisa digambarkan bagaimana rasa keduanya. Perpisahan ini menyiksa kedua belah pihak. Luthfi menjatuhkan kepala Leah di dadanya—menyembunyikan air mata kekasihnya. “Dia pasti kembali.” Menghirup aroma tubuh pria kesayangannya, Leah meremas pakaian kekasihnya lalu menahan isak tangisnya.

“Papa.” Queen menghadap pria paruh baya itu dengan tatapan teduh. “Philip akan sangat sedih.” Telapak tangan besar itu di puncak kepalanya. Maniknya berkaca-kaca. “Queen mau sembuh,” ujarnya lalu memeluk Harsa. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang