Bab 5

19 2 0
                                    

Di lantai dua, gedung kembar—perpustakaan, Queen melihat lapangan. Di sana anak-anak kelas XI tengah berkumpul—jam pelajaran olahraga. Ia absen. Sudah menjadi kebiasaan seorang Queensha tak menghadiri kelas olahraga. Selain bukan hobinya, gadis itu tak menyukai seseorang di sana—guru olahraganya.

Damar menyukai Queen, akan tetapi bukan perasaan laki-laki terhadap perempuan, melainkan rasa sayang seorang kakak kepada adiknya. Gadis itu tak menyukai seseorang yang mencampuri urusan pribadinya. Cukup kepedulian seorang guru terhadap muridnya. Damar juga tak pernah menuntut banyak presensi Queen di kelasnya. Melihat perempuan itu tersenyum sudah membuat Damar lega. Paling tidak, gadis itu beradaptasi dengan baik.

Orang-orang di kelas membicarakannya. Teman-temannya secara terang-terangan mengomentari kehidupannya. Namun, ada juga yang memberinya dukungan. Queen hargai itu. Baik kesalahan dan juga kebaikan, tak ada penyesalan baginya dalam merasai sakit-sakit itu. Gadis itu membiarkan semua yang datang padanya berkembang. Bahkan, kalau itu sebenarnya tak pantas ia dapatkan.

Leah menarik sebuah kursi dan mendudukkan dirinya. Ia meletakkan sebotol mineral di atas meja. Queen membenarkan posisinya. Sempat terkejut lantaran jam kelas masih beroperasi. Ia pikir orang lain, melainkan sahabatnya. “Leah,” panggilnya. Gadis di seberangnya tersenyum.

“Pak Damar titip salam,” katanya.

Queen bungkam.

“Beliau peduli banget,” imbuh Leah. Queen menyoroti kedua bola mata hitam sahabatnya dengan perasaan sendu. Sejujurnya, ia tak ingin membebani orang lain dengan rasa-rasa yang menyerupai penyakit.

“Masih ingat apa yang terjadi di Seoul?” Leah mencoba mengingatkan gadis di depannya pada kesepakatan mereka. Queen hanya belum terbiasa hidup tanpa Philip meskipun sudah berlalu cukup lama. Namun, semua yang ia lewati membekas.

“Iya,” katanya pelan dengan kepala merunduk. Ia harus bisa.

“Aku pasti bisa,” kata Queen sembari menggenggam erat tangan Leah dengan senyuman terpatri indah di wajahnya.

“Kalau begitu gue pamit dulu. Masih ada 20 menit lagi kelas olahraga. Nanti lo langsung masuk kelas kalau anak-anak udah pada bubar.”

Queen mengangguk.

“Kalau butuh apa-apa panggil Luthfi. Oke?”

“Oke,” katanya. Barulah Leah pergi dari ruangan itu.

Gadis itu menghela napas. Pundaknya terasa berat. Mendadak kepalanya pusing. Ia beranjak, keluar dari tempat itu. Tungkainya berjalan ke arah ruang UKS. Sembari mengontrol dirinya, Queen berusaha mengingat apa yang akan ia lewati di hari pertama masuk sekolah setelah liburan usai. Biasanya datang tepat waktu. Membaca novel sebentar. Tak lupa pula menulis catatan tentang pelajaran. Datang ke ruang perpus. Kemudian, menikmati jam istirahat. Terakhir, pulang bersama Leah atau Luthfi.

Tiba di ruang UKS, tubuhnya ambruk. Di sana sepi, pikirnya. Ternyata seseorang menyadari kedatangannya. Raut wajahnya terkejut lantas segera berlari dan mengendong Queen. Di brankar, sosok pemuda itu merapikan anak rambut Queen dan ia tahu bahwa gadis di depannya adalah orang yang sama pernah ia jumpai.

“Queen,” katanya pelan. Ia membaca name tag gadis itu di almamater.

“Jadi, itu lo?” gumamnya. Ia menatap dalam gadis itu. Perasaannya tak tergambarkan.

Tak berselang lama datangnnya gadis itu, tiba-tiba pintu UKS diketuk dan ia tersadar tatkala seseorang mendorong pintu itu. Ia menoleh dan mendapati sahabatnya. “Abian?”

“Gue telpon, kenapa enggak diangkat?”

Langsung saja ia memeriksa saku celananya. Di sana ponselnya mode senyap. “Ponsel gue enggak getar. Ada apa?” tanyanya to do point.

“Itu Queen? Ngapain? Dia sakit?” cecar Abian. Rasanya sosok di depannya tak mengenal Queen, apalagi dekat.

“Gue enggan sengaja lihat dia pingsan di depan pintu UKS,” ucapnya. Abian mengangguk seolah mengerti.

“Eh, tapi dia baik-baik ajakan?”

Ia mengangguk.

“Oiya, Bram cariin lo. Ke mana aja, sih, lo?” kesalnya.

Sorry,” katanya dengan perasaan bersalah.

“Senja,” panggil Abian. Kemudian, kalimat berikutnya membuat laki-laki bernama Senja itu terbelalak.

“Apa?”

Senja kaget dan langsung berlari. Vanilla dilarikan ke rumah sakit akibat cedera di kepalanya. Gadis itu adalah tim cheerleader. Tim basket sedang mempersiapkan pertandingan antar sekolah dan tentu saja Vanilla sebagai anggota cheerleader harus ikut serta dalam memeriahkan pertunjukkan sekolah.

Selama latihan, semuanya berjalan lancar. Manakala gadis itu mengambil jeda untuk beristirahat, tiba-tiba saja dari arah berlawanan, sebuah bola basket membentur kepalanya. Vanilla yang tak sadar pun terkejut. Belum lagi ia punya penyakit yang cukup berisiko dalam merengut nyawanya. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang