Bab 18

6 1 0
                                    

Sebuah sayatan pada kulit, jauh lebih baik daripada membiarkan ternggorokanmu dicekik oleh air yang tenang—lautan.

Senja mengusap sampul buku novel itu. Kemudian, meletakkan kemabli ke atas ranjangnya. Langkah kakinya bergerak ke arah pintu. Pemuda itu memutar knop lalu keluar dari sana. Tatkala tungkainya berada di undakkan tangga, ia berhenti lantas memindai orang tersebut.

Sama-sama diam, keduanya memutuskan kontak mata. Tidak tahu harus memulai dari mana. Daripada suasana semakin canggung, keduanya lekas beranjak. Senja turun ke bawah, sedangkan laki-laki itu naik ke atas. Jam makan siang akan dimulai, ia pun mendatangi ruang makan. Di sana sudah tersedia. Senja menyeret kursi lalu duduk di sana.

Papa bersuara manakala tiba. “Hari ini, sekolah cuti?” tanyanya sembari membenarkan posisinya—mencari posisi nyaman.

“Iya,” jawabnya seadanya. “Uma, baru aja pulang,” katanya yang mengisi rungu orang di sana. “Latihan lagi?” tanyanya. “Iya. Aku senang, Uma bisa melakukannya,” katanya lagi. “Aku turut senang,” balasnya sembari tersenyum tipis. Kemudian, dari arah lain, laki-laki yang disapa Uma itu datang.

“Kak Uma!” teriak Si Kecil. Uma tersenyum. “Siang Princess,” sapanya lalu membubuhi kecupan di puncak kepala Si Kecil.

“Kalau begitu kita langsung mulai makan, Papa udah lapar,” katanya. Selama itu, atmosfer di sana membisu. Semunya menikmati makan siang dan fokus pada pikiran masing-masing. Adrea memberikan sepotong ayam lalu diletakkannya di atas nasi Senja—putra tirinya. Selanjutnya, ia bersuara. “Kamu harus banyak makan, Mama jarang banget lihat kamu makan di rumah,” katanya sembari tersenyum tulus.

“Makasih, Ma,” jawabnya. Senja kikuk. Ini bukan kali pertamanya. Namun, entah kenapa rasanya aneh. Mama di sana bukanlah ibunya. Bukan Brisa yang selalu mengomeli. Sejujurnya, benaknya ingin menyebutkan “Aku rindu Mama.” Bukan gengsi, Senja hanya takut kalau hatinya tak sekuat logam.

Di hadapan perempuan yang ia panggil Mama adalah kelemahannya. Pada hari semuanya berakhir, Senja satu-satunya yang tak menjumpai ibunya. Detik-detik itu, ia melarinkan diri. Tidak terima. Bagaimana anak usia muda sepertinya harus menyaksikan perpisahkan kedua orangtuanya? Kemudian, tiga hari selanjutnya, Sang Papa menikah lagi, lantas bagaimana dengannya?  Hatinya? Pernahkah ada orang bertanya padanya? Tidak! Senja sendiri.

“Senja udah siap.” Laki-laki itu beranjak. Meninggalkan ruang makan dan rencananya kembali ke kamar, akan tetapi suara pria paruh baya menghentikan tungkainya. “Papa mau bicara denganmu,” katanya. Senja berbalik. “Bicara apa?” tanyanya ketus. “Senja sibuk,” ketusnya.

“Sebentar saja. Tidak lama. Ini penting,” ujarnya lalu kedua manusia itu berjalan ke arah ruang kerja. “Mama mau ketemu,” tuturnya manakala duduk di kursi kebesarannya. “Papa tahukan—” ucapannya berhenti. “Hanya sebentar. Mama jauh-jauh dari Jerman mau ketemu kamu.”

“Benarkah?” Senja menunjukkan smirknya. “Kenapa baru sekarang?” Ia menuntut jawaban. “Senja,” ucapannya tercekat. “Senja boleh nolak kalau enggak maukan? Mama tahu kalau Senja enggak suka dipaksa,” ucapnya. Artur mengepal tangannya. “Kamu—” Belum selesai ia bicara, Senja lebih dulu menyela. “Apakah kalian masih punya muka? Bahkan setelah semuanya?” Ia marah.

Artur diam.

***

Si Kecil berlari riang, tetapi sampai di depan pintu kamar Sang Kakak, gadis itu mendadak bungkam. Wajahnya murung. “Kakak mau pergi, ya?” tanyanya dengan suara bergetar. Senja menoleh. “Iya.” Gadis kecil itu mati-matian menahan air matanya. “Ludra mau main,” cicitnya sembari meremas jemarinya. Gadis itu merunduk. Matanya berkaca-kaca. “Aludra main dengan Kak Uma, ya,” bujuknya. Gadis itu menggeleng lalu meraih dua lengan Senja yang berjongkok di hadapannya. “Mau mainnya dengan Kak Senja,” ucapnya sembari mengusap sudut matanya. “Kakak mau belajar,” kata Senja. “Enggak boleh,” katanya. Senja menatap pilu. “Gue harus pergi,” batinnya. Tak tega melihat Si Kecil senggugukan, ia berinisiatif membelikan sesuatu. Harapannya, Si Kecil mau mengerti. “Kakak beli ice cream mau?” tanyanya lembut. “Mau,” jawabnya dengan kedua tangan mengusap sudut matanya.

“Kita pergi sebentar. Abis itu pulang, tapi Ludra di rumah. Kakak ke luar, ya?” bujuknya lagi. Ia berdiri. “Enggak mau!” Gadis itu memeluk kakinya. Kemudian, menangis lagi. “Maunya dengan Kak Senja,” rengeknya. “Kenapa lo lemah banget, sih, Senja?” batinnya. “Oke. Kakak enggak jadi pergi, tapi Aludra maukan main bareng kakak di halaman belakang?” tanyanya. “Mau!” Gadis itu mengangguk.  

“Gue enggak boleh egois. Gue enggak boleh nyakiti orang lain,” batinnya sambil menggendong Aludra. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang