Bab 40

0 1 0
                                    

“Bram,” gumam Sakya. Kemudian, laki-laki itu berteriak. “Arrghh!” Abian datang—menarik lengan kekasihnya.  “Kendalikan diri, lo!” Restu bersuara. Suasana memuakkan. Bram tak akan pernah melepaskan Hector. “Sialan,” umpatnya.

“Lo harus tenang,” ujar Sakya kembali sambil meraih lengan sahabatnya dengan mata berkaca-kaca lalu mengusap punggung tangan sahabatnya itu. Abian diam. Vanilla dirawat dengan tubuh nyaris saja kehilangan nyawa.

“Gue enggak boleh lengah,” ujarnya pelan. Namun, didengar semua orang. Senja bersandar di dinding—pikirannya terbagi. Rautnya tak terbaca—marah atau tidaknnya, semua orang di sana tidak tahu.

“Bram!” pekik Sakya. Abian memeluk kekasihnya dengan tangan mengusap turun-naik—ia harap semua ini adalah mimpi. “Aku takut,” gumam Sakya dengan dadanya yang sakit.

“Semuanya baik-baik saja. Percaya sama aku,” ujar Abian berbisik di runggu wanitanya. “Aku enggak mau kehilangan siapapun,” ujarnya pelan. Restu meninggalkan tempat—ia pikir, mengejar Bram akan menghentikkan sesuatu.

Dokter keluar dari pintu bercat putih tulang itu, Senja berarak mendekat. “Bagaimana dengan Vanilla, Dok?” Senja harap semua terkendali. Raut wajah pria itu murung—tidak baik, firasat Senja. “Dia baik-baik ajakan?” Senja rasa dadanya terisi penuh. Rahangnya mengetat. Kepala tangannya keras.

“Tidak baik, tapi tidak buruk juga. Beruntung kalian cepat bertindak. Saya sarankan untuk beberapa hari dirawat. Kalian keluarganya?” Dokter itu balik bertanya. “Bukan, kami sahabatnya.”

“Segera kabari keluarganya. Kami membutuhkan persetujuan mereka,” ujar dokter tersebut. “Sahabat saya kenapa, dok?” Sakya bertanya dengan air mengalir di kedua belah pipinya.

“Ia harus segera dioperasi,” katanya. Senja menatap nanar. “O-operasi?” Sakya pikir, ia bisa saja salah dengar. Namun, melihat tanda itu, gadis itu mendadak lemas. Tungkainya melemah. “Sakya!” Abian mendekat lalu mendekap kekasihnya.

“Operasi,” gumam Senja dengan pening menghantam kepalanya. “Ila,” lanjutnya dengan nada lirih. Waktu berlalu, gadis itu tengah beristirahat dengan alat bantu napas, juga mesin yang terus menujukkan tanda bahwa si pemilik itu masih bernyawa.

“Jangan mati,” ujarnya dengan liquid terus membanjiri pipinya. “Jangan pergi. Gue belum jadi dokter. Lo harus kuat. Percaya sama gue, lo itu bakal baik-baik aja.” Senja menggenggam tangan sahabat kecilnya. Tadi keluarga si gadis sudah datang. Sama seperti dirinya, orangtua Vanilla terpukul.

Di sisi lain, Bram menegak air soda sampai tandas. Kepalanya penuh. Tubuhnya bersandar. Dering ponsel terus berbunyi—ia memilih abai. Mengusap wajahnya kasar, Bram menggeram dengan kaki, tangan, tubuh ingin melenyapkan Hector. “Bajingan!” Bram meninju tembok kamarnya.

“Ila, maafin gue,” ujarnya. Sakit. Rasa bersalah itu menyerangnya. Bram menenggelamkan kepalanya di antara dua lututnya. Penampilannya kacau. Raut wajah kusamnya menghiasi.

Di seberang tempat, Queen duduk di brankar. Leah melihat sahabatnya dibalik kaca transparan—pintu. Di dampingi Luthfi, pemuda itu merangkul kekasihnya yang menyorot sendu. “Queen,” gumamnya mendongak. Luthfi tersenyum tipis. “Semua baik-baik aja, sayang,” ujarnya menyakinkan. Leah menggeleng.

“Gagal,” gumamnya. Luthfi menggeleng—ia tidak setuju. Semuanya sudah berusaha. Ini bukan musim dingin, akan tetapi aroma yang melingkupi mereka terasa seperti negara empat musim.

Baju putih itu mengganggu pemandangan Luthfi. Bukan ini. Tidak. Tidak seperti ini. Akhirnya, semuanya kembali seperti di awal. Kehilangan, jatuh, terjebak, dan mati. Mata itu gelap—tidak ada cahaya. Queen kembali menyakiti dirinya. Di tengah malam bertandang, remang-remang Leah menemukan bercak darah di dalam kamar sahabatnya lalu di kamar mandi, Leah berteriak ketakutan.

“Queen!” Leah terduduk di lantai, kekasihnya datang dengan pintu terbuka kasar. Membekap mulutnya—tidak percaya. “Queen!” Luthfi kaget—syok. Wanitanya tak berkutik.

“Menyenangkan kalau aku mati? Begitu?” Pesan itu tertulis dengan darah. Kaca besar itu tampak menakutkan. Queen tidak sadar. Alam bawah sadarnya bereaksi akan masalalu yang masih tertinggal. Sakit-sakit itu terus menggerogoti tubuhnya. Hatinya perlahan kehilangan cahaya. Matanya mulai kehilangan warna.

Lukisan kisah-kisah semua manusia dengan segala deritanya. Queen dengan masalalunya. Senja dengan keluarganya. Leah dengan lingkungannya. Vanilla dengan sakitnya. Kemudian, orang-orang sekitar dengan teka-teki bak labirin.

Harsa tidak pernah tahu bila putri kecilnya akan seperti ini. Tidak ada dalam pikirannya. Ia pun tak pernah mengharapkan sakit-sakit itu merajai daksa si kecil. Tubuh rapuh itu tak akan kuat, pikirnya. Brisa nyaris kehilangan buah hatiya tatkala memilih pergi dari si kecil. Kadang orangtua tidak sepenuhnya salah. Namun, acap kali orang-orang bertemu dengan keluarga yang menyeramkan.

Meera pikir, satu atau dua kesalahan mungkin bisa dimaafkan, akan tetapi mendapati suaminya tengah menikmati labium merah muda dari perempuan lain di ruang kerja pribadi suaminya—rumah mereka, ia sadar kalau takdir tak akan membiar salah satu di antara mereka lolos dengan mudah.

Artur, deritanya tak kalah penting untuk diingat. Demi keluarga kecilnya, ia meninggalkan istri dan anaknya. Pujaan hatinya melabelinya dengan kata benci. Keluarganya menyiksanya. Ini bukan kebahagiaannya. Mengorbankan sesautu tidaklah mudah. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang