Bab 35

0 1 0
                                    

“Lo masih sakit, brengsek!” pekiknya. Si Gadis mendekat. Senja mendudukkan dirinya, nyaris mencium lantai, Vanilla bergerak cepat menahan tubuh sahabatnya. “Lo dikasih tahu malah bandel banget, sih,” omel Vanilla.

“Maaf,” sesalnya tatkala sudah terbaring di brangkar. Gadis itu duduk sembari menggenggam jemari sahabat kecilnya. “Lo pandai banget kalau gue sakit harus cepat kabarin, tapi lo sendiri kalau sakit malah ditahan,” dumalnya. Senja terkekeh kecil. “Masih bisa ketawa lo!” serunya kesal.

“Maaf, maaf,” ucapnya. “Btw, yang bawa gue ke sini siapa?” Vanilla diam sebentar. “Uma,” terangnya. Senja mengangguk. “Papa gue ada datang?” tanyanya lagi. “Ada barang nyokap lo,” tuturnya. Alih-alih merasa senang, Senja menyorot sendu. “Kapan lagi lo mau ketemu Mama Brisa?” tanya Vanilla dengan tatapan sedihnya. “Gue enggak mau,” ujarnya sambil menggeleng.

“Mama juga sayang lo, Ja,” kata Vanilla. Senja tetap menggeleng. “Gue mau pergi aja,” terangnya sembari bergerak menyingkirkan selimut. Vanilla menahan pemuda itu dengan dadanya yang sakit. “Lo enggak boleh lari,” katanya.

“Mama enggak butuh gue,” terangnya. Vanilla menggeleng. “Kalau Mama Brisa enggak butuh lo, kenapa dia nangis di luar sana?” Vanilla melontarkan tanya yang sebenarnya Senja sendiri tidak memahami dari kalimat tersebut. “Gue enggak tahu,” ujarnya pelan.

“Restu,” panggilnya manakala Si Laki-laki berdiri di depan pintu. “Lo enggak boleh egois, Ja,” terang Restu. “Beliau juga tersiksa. Lo bisa tanya pelan-pelan soal itu. Jangan main lari aja. Semua butuh kejelasan,” katanya dengan netra memandangi sahabatnya.

“Gue enggak minta lo sekarang buat bersuara. Nanti. Lo harus pulih dulu baru ikut kumpul bareng kita-kita. Lo juga enggak sendiri. Ada masalah cerita. Itu gunanya sahabatkan?” Senja bungkam. “Restu,” gumamnya.

“Lo juga harus tahu. Gara-gara panik dengan berita lo masuk rumah sakit, Abian hampir aja kecelakaan sampai dia khawatir banget dengar lo sakit,” ujarnya. “Sorry,” ucap Senja dengan kepala tertunduk. Lemah. sekarang sosok itu tak berdaya. Vanilla merengkuh tubuh sahabatnya. “Gue capek,” ujarnya dalam dekapan Vanilla. Gadis itu mengusap puncak kepala sahabatnya. “Lo enggak sendiri,” ucap Vanila lalu mengecup kepala pria itu.

“Sebaiknya, pasien istrirahat,” ujar Sang Dokter yang baru saja tiba di sana. Si Gadis di samping brankar merebahkan tubuh kokoh itu lalu menyelimuti Senja. “Anda harus istirahat.” Dokter mendekat. Kemudian, menyuntikkan obat tidur di katong impus Senja. Diam-diam, Bram di luar mendengar percakapan itu. Dadanya kembali dilanda sesak luar biasa.

“Tuhan. Kenapa semuanya tersiksa?” Laki-laki itu meninggalkan lorong dengan maniknya yang berkaca-kaca.

“Aku mau masuk,” ujarnya saat wanita muda di hadapannya menghalangi tungkainya bergerak masuk ke kamar inap putranya. “Senja harus istirahat.” Perempuan itu tetap pada pendiriannya. “Kamu juga punya putra pasti tahu rasanya,” terangnya. Brisa putus asa.

“Maaf, Kak, tapi kenyamanan Senja itu penting,” ujarnya. “Kamu bukan ibunya. Aku ibunya,” jelas Brisa dengan dada menahan amarah. Tangannya mengepal. “Senja juga putra aku,” balasnya. “Aku yang merawatnya,” ucapnya.

Brisa menggigit bibir bawahnya. Menahan gejolak besar di dalam sana. Ia tak pernah berpikir akan berakhir seperti ini. Bertemu istri Artur yang sebenarnya itu adalah posisinya. Seharusnya ia tak perlu mengalah demi perempuan itu di masa lalu. “Aku yang melahirkannya,” ucap Brisa dengan mata yang siap menumpahkan air bening di dua belah pipinya.

“Brisa,” panggil Artur lembut. Perempuan itu menoleh sebentar. “Dia putra aku, Artur,” ucapnya sambil mendongak. Sang Istri menatap dua insan itu dengan dada terluka. Artur menggerakkan jemarinya, mengusap liquid itu serta mengusir rona-rona sedih dari sana dengan senyumannya. “Aku janji. Kamu dan Senja akan bertemu. Sekarang pulang. Istirahat. Kamu juga harus baik-baik aja.”

“Aku antar sampai di depan mobil.” Artur mencoba segala mengenai hubungan ini. Bukan hanya Senja, Brisa, dan dirinya. Akan banyak orang-orang di sini terluka dengan semua kisah yang tak kunjung usai. Artur sadar bahwa semua sudah terlanjur jauh.

Selepas mengantar wanitanya di depan mobil, kini Artur berada di depan pintu kamar Senja dengan hening, udara malam sebagai temannya merenung. Kala itu, istrinya datang, pelan-pelan mengusap punggung tangan besar itu berharap semua baik-baik saja. Artur tersentak lalu tersenyum tipis sebagai tanggapan kehadiran istrinya. “Kata dokter, Senja harus dirawat untuk beberapa hari. Dia harus tenang dulu.”

“Hmm.” Artur tak berminat berbicara dengan dada yang dikuasai sesak-sesak. Adrea menjatuhkan kepalanya di punggung Sang Suami dengan tangan mungilnya melinggkari perut—memeluk dari belakang. Sejujurnya, mengenai rasa cinta untuk Sang Istri tidak pernah ada di kepalanya. Artur hanya menjalankan kewajibannya sebagai suami, ayah, dan parter untuk keluarga ini. “Aku hanya mencintai Brisa,” batinnya.

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang