Bab 44

0 1 0
                                    

Masih sama. Barang-barang itu tampak seperti sebelumnya. “Jaket, buku, dan bunga kering.” Damar membawa benda itu di hadapan Queen agar mengingat satu atau dua hal yang pernah Philip tinggalkan berupa pesan.

“Ini semua—” ucapannya terpotong—tubuhnya hampir beranjak. Sebelumnya bersandar di kepala ranjang. Namun, Damar datang dengan tangan merapikan kain selimut putih itu.

“Punya Philip. Semua itu kakak bawa biar kamu ingat bahwa kekasihmu tidak pernah pergi jauh. Sekalipun jasadnya berada di tanah.” Damar duduk di brankar dengan tangan merapikan anak rambut Queen lalu tersenyum simpul.

“Kakak yakin, Philip pernah bercerita atau paling tidak pernah meninggalkan pesan. Waktu terus berjalan dan kita semua harus tetap hidup. Walaupun kematian itu dekat.” Damar menatap lurus—mata gadis itu.

Sendu. Queen meremas kaos Damar pun di sana suasana menjadi hening. Selanjutnya, Damar mengganggam tangan Queen—memberi kekuatan. Mengusap punggung tangan si gadis, pelan-pelan Damar memantrai gadis itu dengan doa. “Tuhan, ambil semua yang bisa diambil, tapi sisakan satu jiwa untuk gadis ini.”

“Leah nanyai kamu. Bagaimana kabar kamu? Udah minum obat? Udah tidur teratur? Udah tertawa?” Leah tidak bisa bertemu dengan sahabatnya—mengingat kondisi Queen belum stabil. Takutnya, ia lepas kendali. Alhasil, hanya kabar melalui Damar pun informasi—sahabat Philip yang bisa ia terima.

“Aroma jaketnya masih sama. Kamu juga bisa baca buku diarinya. Bunga layunya kakak kasih vas bunga.” Tangan Damar sibuk dengan benda-benda itu. “Makasih banyak Kak,” ujar Queen. Damar menarik lengkungan itu. “Yang terbaik untuk kamu, Queen.”

“Leah belum bisa ke sini. Dia takut kalau keberadaannya akan ganggu kamu.” Damar mengambil jaketnya yang berada di badan sofa. “Kakak pergi dulu. Paling cepat sekitar jam tiga udah di sini,” katanya dengan mata menatap jam dinding pun tangannya berada di pundak kepala Queen.

Damar pergi. Sunyi. Angin berarak memenuhi ruangan itu. “Kak Philip punya buku diari?” tanya Queen. Si gadis tidak sengaja memergoki sang kekasih di ruang pribadinya. “Kamu dari mana?” tanyanya balik pun berdiri sembari menutup buku hariannya.

Berjalan mendekat, ia mengusap puncak kepala si gadis—di depan pintu kamar keduanya tengah tengelam dalam kisah romansa. “Jangan asal pergi. Walaupun di rumah kakak, kamu harus tetap izin dulu.”

“Maaf,” ujarnya manja pun kedua lengannya langsung memeluk tubuh kekasihnya. Philip terkekeh singkat. Kemudian, meninggalkan kecupan ringan di kepala gadisnya. “Kakak takut kamu itu terluka. Apapun bisa terjadi. Jadi, sebelum kejadian, kakak harus waspada.” Philip menghirup aroma citrus dari tubuh gadisnya. Queen mendongak dengan tangan melingkari pinggang kekasihnya.

“Oiya, tadi kakak tulis apa di buku diari?” Queen penasaran. “Rahasia.” Philip tertawa ringan. “Mukanya kok cemberut. Minta diunyel-unyel, ya?” Philip gemas.

“Kak Philip,” rengeknya lalu menyandarkan kepalanya di dada prinya. “Kamu lucu banget, sih. Jadi, tambah cinta.” Philip menggoda Queen sehingga gadis itu semakin ingin menenggelamkan wajahnya di balik kemeja kerja kekasihnya.

“Kamu boleh baca itu kalau kakak udah pergi jauh,” ujarnya sedikit menunduk. Si gadis menatap bingung. “Pergi jauh?” beonya. Philip mengangguk. “Mungkin perjalanan bisnis ke Dubai atau tempat lainnya.”

“Isinya apa?” Masih penasaran. “Kamu.” Philip memeluk erat kekasih mungilnya. “Queen enggak bisa napas!” Gadis itu sedikit memberontak. Philip melepaskan lalu mengecup singkat bibir ranum Queen.

“Kak Philip! Main curi aja!” kesalnya. “Ayo ke bawah. Nanti Mama malah ikut nimbrung lagi.” Keduanya turun.

“Kamu ke sunroom dulu, ya. Nanti kakak nyusul.” Philip mendekati ibunya. “Mama lagi buat apa?” tanyanya. Queen masih bisa mendengar. “Cemilan untuk kalian berdua.” Sang ibu menggoda putra sulungnya.

Melihat punggung si gadis, Philip ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya agar memiliki waktu luang berdua. Queen juga masih sekolah. Tentu akan sibuk belajar. Namun, tentu ada tanggal merah di kalender sehingga jadwal sekolah libur. “Ini kuenya.” Si pria meletakan nampan di atas meja bundar pun di sana—sunroom-nya dipenuhi tanaman hias.

Queen tersadar. Pipinya basah. “Kak Philip?” Si gadis menatap dalam. Rindu. Ingin segera mendekap. “Sayang kalau ditinggal,” katanya lalu tersenyum cerah.

“Tetap berbahagia. Kakak selalu melihatmu.” Philip pelan-pelan memudar. “Kak Philip!” Queen beranjak. “Ternyata mimpi?” gumamnya. Buku itu terjatuh dari pangkuannya. “Aku tadi tidur? Tapi itu kelihatan nyata,” ujarnya.

“Basah?” Si gadis mengusap belah pipinya kasar. “Aku nangis?” monolognya tak percaya.

“Apa orang mati bisa hidup lagi, ya?” Queen turun dari brankar. Meraih tiang infus. Kemudian, berjalan ke arah gorden tebal berwarna abu-abu. Mengintip dari balik jendela, Queen menemukan secercah cahaya rembulan. “Sesak Kak Philip,” ujarnya pelan.

“Queen ingin ikut,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. “Di luar dingin. Kenapa enggak langsung bilang biar kakak jemput,” ujarnya terdengar menahan emosi. “Kakak kerja,” cicitnya sembari merunduk dengan jemari bertautan—perasaan takut.

“Kalau Damar enggak bilang, kamu bakalan terjebak di sini. Besok pagi masih harus sekolah. Gimana kalau kamu diculik?” Philip menekan amarahnya. “Maaf,” ujar si gadis.

“Kamu masih kecil. Masih butuh pengawasan ketat. Kakak enggak akan marah kalau kamu langsung hubungi. Tahu tidak di sini ada penunggunya.” Philip merasakan tubuhnya dipeluk erat.

“Takut,” cicitnya dengan isak yang terdengar di rungu Philip. “Udah makan?” Gelengan itu membuat Philip mengecup puncak kepala gadisnya. Kita mampir dulu ke apartemen kakak.” Si pria lantas membawa gadisnya dalam rangkulannya.

“Banyak kenangan manis di antara kita,” ujarnya pelan. Pikirannya jatuh pada detik-detik dalam ruang penuh aroma bunga musim semi. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang