Bab 43

0 1 0
                                    

Dentuman keras—musik itu terdengar menyeramkan di telinga. Queen menutup telinganya. Ini kali pertama dirinya datang ke tempat itu. Ingin menikmati sisa-sisa waktunya, gadis itu melajukan tungkainya. Tiba di depan bartender, si gadis segera memesan satu botol minuman alkohol.

Ia terbiasa dengan aroma ini, akan tetapi tidak dengan tempat itu. Berbagai bau ada di sana—rokok, alkohol sampai wewangian parfum. Queen akui ia tidak suka. Namun, mengingat ini yang pertama, si gadis ingin tahu rasanya seperti apa.

Menyesap anggur—wine merah terang, Queen memindai sekitar. Banyak muda-mudi menghabiskan waktu di sini. Tidak jauh dari tempatnya duduk, sepasang kekasih, pikirnya. Tengah memadu kasih—mengabaikan sekitar. Orang-orang di sini tampak tak peduli. Kurang lebih seperti ini. “Ini hidup gue dan lo punya dunia sendiri. Jadi, jangan ikut campur.”

Queen menghabiskan dua botol wine, kepalanya terasa berat. Ia juga mengeluh sakit lantaran sesak mendominasi dadanya. Ia merasa gerah dan ingin pergi dari sana, akan tetapi tatkala kakinya melangkah, seseorang menubruknya. Si gadis hampir tumbang, beruntung pria itu sadar pun segera membopong Queen yang tak sadarkan diri.

Menjilat bibirnya sebentar lalu melepaskan tautan kancing bagian atas—Queen terbaring di kasur. Kemudian, di samping si gadis ada sosok pria asing. Kemeja pemuda itu terbuka, menampilkan dada bidang pun aroma musk menguar dari sana.

“Selamat menikmati pesta ini, Tama,” batinnya. Bergerak cepat, meninggalkan kamar, dua orang asing—Gautama dan Queen. Barangkali Queen mengenal Tama sebagai seorang novelis pun dengan penggemar yang banyak, sedangkan Tama tidak mengenal si gadis.

Penglihatan Gautama samar-samar, kepalanya pusing dan lebih parahnya lagi, ia tak ingat apapun. Alasan kenapa tubuhnya berada di sini? Di bawah kendali alkohol pun obat perangsang,  Tama bergerak mendekati si gadis lalu mengungkungnya. Kemudian, pelan-pelan menyesap kulit putih bersih itu.

Paginya, Queen bergerak. Tatkala tubuhnya berbalik—Tama memeluknya dari belakang. Ia terkejut. Membekap labiumnya, si gadis terdiam dengan pandangan sulit diartikan. “Kak Tama?” Menggigit bibir bawahnya, Queen beranjak, akan tetapi ia meringis. Sadar apa yang terjadi, gadis itu melepaskan kain tebal dari tubuhnya. Queen terdiam.

“Tanpa busana?” Lalu bercak darah ada di sana—Queen melihat itu diselimutnya. Meremas kain berwarna abu-abu itu, Queen menahan isaknya. Si gadis memungut pakaiannya, tungkainya berjalan ke arah kamar mandi. Berdiri tegak—tubuhnya menghadap cermin lalu beberapa tanda merah keunguan ada di sana, tulang selangka dan bahunya.

Queen memekik histeris. “Arghhh!” berjongkok dengan kedua tangan menutupi rungunya lalu menggeleng kepala. Di bawah shower, Queen berulang kali mengacak rambutnya serta menjambaknya. Memeluk tubuhnya sendiri, si gadis tampak ketakutan. Tubuhnya menggigil. Kemudian, tangisnya tak berhenti.

“Arghhh.” Frustasi. Queen terjebak di sana. Dalam kegelapan tak bercahaya. Sebuah ruang tempat ia terkunci. Sisa-sisa kewarasan membawa kakinya menjauh dari tempat neraka. Tamat. Ia berada di depan gerbang kematian. Semakin dekat. Tidak. Mungkin akan segera mati.  

Meninggalkan Gautama yang masih bergelut dengan mimpinya, gadis itu menerobos orang-orang—tidak peduli jika ia akan ditabrak. Memukul kepalanya—Queen mendengar suara berisik berasal dari sana. Tiba-tiba gambaran mobil meledak terlintas di kepalanya, gadis itu beranjak dari tempat. Tangisannya masih terdengar, Queen mengusap wajahnya kasar. “Kak Philip,” batinnya tersiksa.

Mengguyur tubuhnya dengan air, si gadis mengusap kasar kulitnya—menghapus jejak. Terdengar mengerikan bagi seorang siswi pun status remaja dengan kesehatan mental yang bermasalah. Queen menyedihkan dan kotor lantas pikiran-pikiran negatif bertandang, tungkainya lemas, tubuhnya tak berdaya. Terduduk di lantai dengan pakaian melekat utuh.

***

Menyesuaikan cahaya yang masuk ke maniknya, si gadis pelan-pelan memejam pun perlahan melihat sekitar. Tatkala terbangun, si gadis mencium aroma khas dari kamar inapnya, bercat putih tulang. Ia membenarkan posisi duduk—Queen melihat sebuah mantel di lengan sofa metalik.

Si gadis bergerak, akan tetapi nyeri di tangannya—infus (punggung tangan atau lipatan lengan atas dan bawah) sehingga menghentikan pergerakannya. Menghela napas berat lalu menjatuhkan tungkainya ke lantai sembari menarik tiang infus. Kemudian, menyeret kedua kakinya keluar dari sana.

Manakala pintu itu terbuka, aroma khas rumah sakit tercium pun kepalanya sedikit sakit. Gadis itu mendudukan dirinya di kursi tunggu—tubuhnya masih belum kuat. Pertama bangun tidak ada satu pun orang di sana. Ia tertawa miris. Perasaan pahit itu memenuhi tenggorokannya.

“Orang-orang tak akan pernah peduli. sekalipun itu yang terdekat. Sebab, kita dilahirkan untuk bertanggungjawab atas semua rasa sakit di tubuh masing-masing.”

Queen berdiri, di depannya Damar tengah menenteng dua paper bag pun bersuara. “Queen?” pemuda itu mendekat. “Kenapa di luar?” tanyanya setiba di hadapan gadis itu. Queen merunduk. Damar cemas. “Ada apa?” Ia memeluk si gadis.

Meremas kemeja biru Damar, Queen menenggelamkan wajahnya di dada pria itu. Mengelus pundak Queen lembut, Damar berhati-hati dalam berbicara. “Kakak nyakiti kamu, ya?” Sambutan berupa gelengan dari si gadis membuat Damar semakin mengerutkan keningnya. “Ada apa?” batinnya.

“Kita ke kamar dulu, ya? Kamu baru bangun. Jadi, jangan banyak gerak,” ujarnya lalu meletakkan paper bag di kursi. Kemudian, mengendong Queen ala bridal style.

Masih dengan tangis menghiasi perjumpaan itu, ibu jari Damar mengusap pelan dua belah pipi Queen lembut. Pelan-pelan menepuk lengan si gadis agar lebih tenang pun membenarkan letak selimut. “Kakak ambil paper bag dulu, ya. Kamu belum sarapankan? Kamu enggak suka makan bubur rumah sakitkan?” Tersenyum menimpali anggukan Queen, kaki Damar membuka pintu dan mengambil barang yang ditinggalkannya tadi.

“Kak Damar,” gumam Queen. Samar-samar terdengar tatkala jemarinya sibuk membuka paper bag itu. “Queen butuh sesuatu?” Damar diam manakala Queen menggeleng.

“Semuanya akan baik-baik aja,” ujarnya dengan tangan menggenggam satu punggung tangan Queen. Gadis itu menggeleng. “Aku mau kabur. Aku mau pergi jauh.” Queen hendak beranjak, akan tetapi tangan Damar menahan pundak Queen agar tetap di posisi semula.

“Masalah enggak akan selesai kalau kamu menghilang.” Damar mencoba yang terbaik. Di depannya seorang gadis mungil tengah ketakutan. Damar harus melakukannya. Philip berpesan, “Queen harus di bawah perlindungan lo. Lo harus ngelakuin itu sebagai bentuk hubungan persahabatan kita. Enggak ada yang bisa gue percaya kecuali lo, Damar.” []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang