Bab 31

7 1 0
                                    

Senja menutup buku novelnya. Di sampingnya, Queen tertidur. Gadis itu tampak damai. “Ini bukan yang pertama gue lihat lo tidur di mana pun itu tempatnya.” Pemuda itu meletakkan bukunya di atas meja. Cuaca hari ini cerah, suasana di sini tenang. Orang-orang sedang tidak banyak—lenggang.

“Bulu mata lo lentik juga, ya,” ujarnya. Kemudian, Senja melipat kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya. “Bibir lo pucat. Gue mau kasih warna merah di sana.” Senja terkekeh. “Jahat banget, ya gue,” ujarnya. “Kira-kira lo mau enggak, ya,” ucapnya sembari berpikir. “Kalau yang lain pasti enggak akan tolak tawaran gue,” ucapnya dengan smirk-nya.

“Sebenarnya, lo itu siapa? Kenapa ada banyak banget kesan lo tentang Gautama?” monolognya. “Lo suka dia atau gimana?” Senja kembali membenarkan duduknya.

“Lo itu seorang penulis? Benar bukan? Tebakkan gue enggak salahkan?” Senja membuka buku novel itu lagi. “Banyak banget pesan-pesan yang lo tandai di buku ini,” ujarnya sembari membuka satu per satu halaman di sana. “Kata-katanya bagus banget.”

Dua muda-mudi itu tengah menunggu sepasang kekasih yang masih mengurus kesibukkan lainnya. Sembari menunggu, Queen tak sadar tertidur, sedangkan Senja membaca novel. Gadis itu tak mengenali bukunya atau sebenarnya sudah lupa bukunya yang hilang? Senja tidak tahu.

Seingatnya, buku dalam genggamannya ini sudah hampir tiga bulan. Queen tidak ingat atau sudah melupakannya, Senja tidak pernah tahu. Surai panjang Sang Gadis tak sengaja menutup sebagian wajah Si jelita lalu jemari Senja merapikannya. “Lo kalau tidur kayak gini makin lucu. Kelihatan bayi,” tuturnya.  

Queen bergerak gelish. “Hampir,” ucapnya sembari menghembuskan napas. “Gue enggak mau lo tahu kalau selama ini gue diam-diam memperhatikan lo. ” Senja menatap Queen dalam dengan satu tangannya sebagai tumpuan bilah pipinya. Memindai sekitar, ia bergumam. “Untung sepi. Gue bisa lihat lo bebas kayak gini. Orang-orang juga pasti berpikir kalau gue pacar lo,” ujarnya seraya memainkan rambut panjang Si Gadis.

“Hidung lo bangir juga, ya,” ucapnya tanpa sadar. “Tiba-tiba gue ke ingat Ila,” ucapnya. Senja meraih gawainya. Di sana mencari kontak Vanilla. “Lo lagi apa?” Chatnya belum dibalas. Sekitar dua menit berlalu, ada balasannya. “Gue lagi kencan,”  terangnya. Senja membulatkan matanya. “Serius? Di mana? Biar gue jemput?”

Detik berikutnya, emot tertawa lepas sebagai balasan dari Vanilla. “Gue serius!” balasnya dengan emot menangis. “Dengan Papa.”

Senja sudah siap-siap akan menjemput sahabat kecilnya itu. “Jahat!” balasnya lagi. Vanilla kembali membalas dengan emot tertawa lepas. “Maaf buat lo panik,” balasnya lagi.

Senja beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, memanggil Vanilla. Ia rindu. “Ila, gue kangen,” ucapnya tertahan. Mengingat tempatnya berada, Senja mencari tempat aman untuk berkomunikasi dengan sahabatnya itu. Ia meninggalkan Queen sejenak di sana. Gadis itu masih sibuk dengan mimpinya.

Manakala Senja pergi, Queen terbangun. Ia mengucek matanya lalu melihat sekitar. “Kak Senja di mana?” batinnya. Kemudian, memindai sekitar, ia melihat buku novelnya. “Ini buku aku!” ucapnya girang. Detik selanjutnya, ia membungkam mulutnya.

“Aku kangen kamu, sayang,” ucapnya sambil mengusak buku tebal itu di kedua belah pipinya. Selanjutnya, mencium mesra buku novel tersayangnya. “Ini udah limit banget. Bakalan susah dapat buku ini,” monolognya. “Eh, tapi kamu datang dari mana?” tanyanya pada buku itu.

“Kamu enggak ada kaki. Siapa yang bawa kamu ke sini?” Gadis itu celingak-celinguk. “Mungkin orang baik.” Queen tersenyum simpul. Si gadis begitu girang. Ia memeluk bukunya. Itu tampak seperti orang gila. Senja di sudut sana terkekeh melihat tingkah laku Queen.

“Kamu tahu, aku mikir kamu itu tinggal di mana? Tempatnya nyaman atau enggak. Orang yang bawa kamu baik apa enggak. Aku khawatir. Leah ngomel-ngomel enggak jelas karena aku uring-uringan. Kamu enggak ada. aku kangen banget,” ujarnya dengan dada berbunga-bunga.

“Kertas kamu amankan? Engga ada yang sobekkan?” Gadis itu membuka perlahan seakan buku tebal itu adalah kaca yang akan mudah retak dan hancur.

“Capella, kamu tahu sakitnya aku tanpa kamu?” Queen ingin melanjutkan kalimatnya, tetapi Senja datang. “Lo lagi apa?” tanyanya sembari menarik kursinya. “Aku? ini!” Ia menunjuk buku novelnya. “Buku siapa?” tanya Senja setelah duduk. “Punya aku. ini terbatas. Kamu enggak akan dapat buku kayak gini lagi di toko buku atau gramedia mana pun,” jelasnya. Senja mengangguk seolah mengerti.

“Capella,” gumamnya sembari mengusap sampul toska tersebut penuh kasih sayang. “Lo bahagia banget, ya,” ujarnya. “Ini salah satu hidup aku,” terangnya. Senja menaikan satu alisnya. “Berharga dong,” balasnya. Queen mengangaguk. “Ini yang terakhir. Satu dan enggak ada kisah lainnya.” []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang