Bab 16

12 1 0
                                    

Leah memandangi sahabatnya dengan pandangan terluka. Di sana Queen duduk membeku. Tak bersuara. Gadis itu bermimpi buruk. Sudah dua hari Queen tinggal di apartemennya. Alasannya, satu. Keluarganya. Kakek dan Nenek mereka bertandang. Di saat semua orang ingin tampil sempurna di hadapan orang lain, Queen memisahkan diri.

Di sini adalah luka-luka yang semakin bebas merangkak kembali dalam pikirannya. Satu kesalahan lainnya, Queen menikmati semuanya. Kenangan manis dan seluruh perihal cinta terekam jelas di kepalanya. Philip memanjakan dirinya. Tangan-tangan itu merawatnya penuh kasih sayang. Labium prianya begitu mendoktrin kepalanya. Daksanya memeluk hangat tubuh mungilnya.

Philip semestanya. Pusat perhatiannya. Seluruh napas yang bersarang padanya kini adalah deritanya. Kemudian, pelan-pelan gadis itu membiarkan semuanya beranjak menyelimuti tubuhnya dengan gambaran kekasihnya yang kelewatan mendarah daging di benaknya. Queen tenggelam pada lautan bebas dengan kedua tangan yang tak bisa meraih permukaan pun dadanya sesak.

Leah kembali ke kamar. Di sana ia tidak lagi mendapati Queen duduk di depan meja rias. Dengan segala kepanikan yang membungbung di kepalanya, gadis itu beranjak secepat kilat dan membuka pintu kasar. Netranya menangkap presensi Queen di bathtub. Ia berteriak. “Queen!” Segera meraih tangan Queen dan membawanya keluar, tapi sayang tubuhnya luruh dengan darah mengenai piamanya. Leah tak kuasa.

“Sayang!” pekik Luthfi. Laki-laki itu menggendong Queen dan Leah yang tak berhenti menangis. Keduanya berjalan tergopoh-gopoh. Dengan sisa-sisa kewarasan yang ada, sepasang kekasih itu membawa Si Gadis ke rumah sakit.

“Queen,” panggil Leah sambil menepuk belah pipi sahabatnya lembut. “Jangan pergi. Please. Lo harus sadar,” katanya parau. Jangan tinggalin gue.” Leah mendekap tubuh sahabatnya. “Lo janji untuk sembuh,” katanya. Luthfi menjambak rambutnya denga satu tangan, sisanya yang mengendalikan kemudi. Dadanya sesak luar biasa. Sekali lagi adegan ini terulang.

“Darahnya banyak banget. Luthfi cepat,” katanya lemah. Tungkai prianya menekan pedal, semakin laju di tengah jalan sepi. Pada malam dengan bintang-bintang malu bertatap muka, dua insan itu dapat rasai jantung mereka nyaris lompat dari tempatnya. Queen masih bernapas.

“Queen.” Leah terus menggenggam jemari sahabatnya erat dengan brankar yang terus bergerak. “Please,” katanya pelan. Waktu dini hari, menikmati alam mimpi begitu syahdu. Namun, beberapa di antaranya ada yang merenung, menangis, melukai diri sendiri. Bahkan, parahnya ada kematian. Leah tak ingin, apalagi mendengar kabar yang mematikan seluruh sistem sarafnya.  

Di balik pintu bercat putih itu, Queen menyelami pedih-pedih yang mengbungkus tubuhnya tanpa ampun. Leah direngkuh kekasihnya dengan tubuh bergetar hebat. Tangisannya pun belum juga reda. Hatinya sakit. “Iya Leah pasti aku makan bekalnya.” Gadis itu ingat beberapa potongan kalimat yang pernah ia dengar dari sahabatnya tatkala Queen akan berpergian selama dua hari. Begitu khawatir, cemas, dan ingin menemani ke mana pun sahabatnya pergi.

“Pulang dari sana, kamu temani aku ke toko buku, ya,” katanya masih sibuk mengemas barangnya. “Ada satu buku yang harus aku reveiw,” lanjutnya. “Kak Gautama punya banyak buku,” katanya. “Nanti aku yang traktir. Kita makan di kafe Hologram,” imbuhnya. “Iya aku jaga kesehatan. Pakai baju hangat. Jangan lupa makan dan minuman yang udah kamu list. Terakhir, tidur tepat waktu. Aku ingat semuanya,” ucapnya.

Leah menghabiskan banyak waktu bersama Queen. Di awal tahun pertama, pertemuan mereka, Queen mencari sebuah bangku. Setiap tahunnya, sekolah itu mengadakan pentas penyambutan untuk penerimaan siswa. Ini sebuah acara yang unik. Apa yang terjadi di sana di luar orientasi sekolah. Anak-anak senior ingin adik-adik tingkatnya tahu mengenai tempat belajar baru mereka.

Leah yang kebetulan mendapati Queen celingak-celinguk memberanikan diri menepuk pelan pundak gadis asing itu. Akhirnya, Queen menoleh. “Iya, ada apa?” tanyanya lembut. “Bangku lo di samping gue,” katanya. “Oh, iya, makasih banyak,” kata Queen. Gadis berambut panjang itu mengikuti langkah gadis yang baru saja menyapanya.

“Ini bukan orientasi, ya?” tanya Leah dan  Queen menatap bingung. “Ya?” Leah merapikan anak rambut Queen. “Lo cantik banget,” pujinya. “Iya?” Queen masih bingung. “Lo cantik,” ulangnya. “Makasih,” kata Queen. “Oiya, pakai ini aja, biar rambut lo enggak terbang-terbang disapu angin,” ujar Leah sembari menyodorkan jepitan rambut. Queen hanya memandang. “Biar gue pasang,” lanjutnya. “Cantik banget.” Hari itu Leah tak henti-hentinya memandangi gadis di sampingnya terang-terangan.  “Nama gue Leah,” katanya memperkenalkan diri. “Aku Queen,” balasnya. “Save nomor gue, dong,” ucapnya. “Kabari gue kalau lo butuh bantuan,” tawarnya.

“Aku enggak mau kehilangan, Queen.” Isak tangis Leah masih terdengar. “Kamu enggak akan kehilangan Queen.” Luthfi tahu persabatan kekasihnya seperti apa. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang