Bab 6

24 2 0
                                    

Senja menggenggam jemari Vanilla—sahabat kecilnya lalu mengecupnya bertubi-tubi. Perasaannya kalut. Pikirannya juga takut. Seharusnya, ia bersama Vanilla. Ia tak boleh meninggalkan sahabat kecilnya sendirian walaupun ada Restu, Bram ataupun Abian.

“Sakya?” panggilnya dengan suara serak. Matanya berkaca-kaca. Gadis itu meletakkan paper bag di atas meja. Kemudian, melangkah ke arah Senja. Di sana gadis bernama Sakya bisa menangkap kedua netra sahabatnya sudah dipenuhi air mata.

“Jangan takut. Dokter bilang, Vanilla enggak apa-apa. Ini juga bukan salah lo,” katanya sembari mengusap punggung pemuda itu. Kepala Senja berada di perut Sakya, ia berusaha menyembunyikan liquidnya. Namun, Sakya menyadari itu bahwa Senja tak akan mudah memaafkan dirinya atas kelalaian menjaga Vanilla—sahabat mereka.

Sosok Vanila, Si Gadis Cantik—salah satu most wanted sekolah. Terkenal akan pesonannya. Keanggunan dan citra yang baik. Terlebih lagi merupakan salah satu siswi berprestasi. Selama berada di kelas XII, Vanila cukup banyak memberikan kontribusi terhadap kegiatan sekolah sekaligus kebanggaan kelasnya. Tidak sampai di situ, selama berada di kelas X, XI, Vanilla banyak berpartisipasi dalam pertunjukkan sekolah.

***

Senja termenung. “Lo juga harus makan,” kata Restu. Senja menggeleng.

“Gue enggak apa-apa,” katanya dengan suara parau.

“Cengeng banget, sih, lo,” kata Bram. Niatnya menghibur sahabatnya. Namun, raut wajah Senja semakin parah.

“Gue emang cengeng,” katanya dengan senggugukkan.

“Ya elah, Bram. Bukannya lo hibur malah tambah nangis anak orang,” timpal Abian.

“Sensitif banget,” kata Luthfi. Kebetulan pemuda itu berada di rumah sakit. Mereka sudah pulang sekolah.

“Eh, lo datang dari mana?” tanya Restu.

“Dari Mars,” katanya jengkel. Jelas-jelas Abian mengajaknya ke sini karena keduanya tak sengaja bertemu di lorong.

“Gue yang ajak,” sahut Abian.

“Lo ada masalah apa di rumah sakit? Keluarga lo sakit?” tanya Bram.

“Enggak. Gue ke sini gara-gara Gamma.”

“Gamma?” kaget Restu.

“Perasaan kalian enggak dekat-dekat banget, deh,” kata Bram.

“Gue sayang Gamma,” katanya. Luthfi jujur mengenai perasaannya.

“Lo?”

“Bukan yang lo pikirkan,” kata Luthfi berusaha menyanggah apa yang tengah dipikirkan teman-temannya itu.

“Gue dan Gamma saudara tiri,” jelasnya. Bram langsung menutup mulutnya.

“Serius lo?” tanya Restu memastikan. Di seberang mereka Luthfi mengangguk.

“Betah lo hidup bareng orang sinting?” tanya Restu lagi. Suasana hening untuk beberapa menit. Bukannya tersinggung, Luthfi memamerkan senyum tipisnya. Namun, sorot matanya terluka.

“Kalau gue pasti udah hengkang dari rumah,” ucap Bram.

Semua orang tahu siapa Gamma. Bagaimana perangainya. Keadaannya. Siapa-siapa orang di sampingnnya dan juga lingkungannya.

“Gamma seperti kita juga,” katanya.

“Semua manusia punya masalahnya,” kata Bram.

“Makan enggak?” Bram berusaha menyuap laki-laki yang masih membekap mulutnya. Senja tetap bersikeras menolak.

“Ujung-ujungnya lo sakit, kita juga yang repot. Daripada diomeli Sakya, mending nurut sama kita-kita,” ujar Abian.

***

Queen berdiri—membeku sambil menatap ke arah kakaknya. Leah menelponnya, memintanya untuk keluar. Bersamaan dengan itu Deluna datang dari arah pintu utama. Memutuskan kontak mata, Queen berjalan, mengabaikan kehadiran sang kakak. Deluna diam. Belum bersuara. Tatkala kaki Queen mendekati ambang pintu, Deluna berbicara.

“Begitu cara kamu berhadapan dengan orang yang lebih tua?” ujar Deluna tanpa menoleh. Queen tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Dadanya terasa panas. Ingin mengabaikan, lagi dan lagi Deluna memprovokasinya.

“Kamu harus tahu bahwa anak-anak dididik untuk menghormati orang yang lebih tua,” komentar Deluna. Kemudian, ia meninggalkan Queen sendirian di sana.

Leah mendengar semuanya. Segera masuk dan memeluk sahabatnya. Mengusap punggungnya. Membisikkan kata-kata baik agar gadis dalam rengkuhannya tak merusak apa yang selama ini ia dan Luthfi upayahkan.

“Lo kuat. Lo bisa,” kata Leah menyemangati sahabatnya.

“Tadi Luthfi dari tempat Pamannya. Ada beberapa oleh-oleh. Kita makan bareng yuk,” ajaknya sambil memegang kedua lengan Queen, Leah menyelami manik sahabatnya.

“Gue udah bilang bokap lo,” ujarnya. Detik selanjutnya, Leah menarik pelan lengan Queen tanpa menunggu jawaban dari sang empu.

“Udah pamit juga ke pelayan pribadi lo,” lanjutnya.

Keduanya keluar dari halaman—di dalam mobil, Leah menggenggam erat jemari sahabatnya. Kadang-kadang mengelus lembut punggung tangan Queen. Saat-saat seperti ini, gadis di sampingnya bisa saja hilang kendali. Terakhir, ia mendapati Queen di kamar mandi dengan tubuh diguyur air. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang