Bab 22

6 1 0
                                    

Damar berada di luar. Tujuannya di sini mengantar Queen pulang. Sekitar sejam berada di bawah pohon rindang di halaman depan—taman (meluapkan rindu pada Sang Sahabat—Philip), kini ia beranjak. “Tugas gue selesai,” gumamnya. Kedua tangannya berada di saku celana. Pakaiannya hari ini semi formal.

“Maaf, Tuan.” Seseorang berujar. “Kenapa?” tanyanya tatkala berhenti. “Tuan besar ingin bertemu Anda.”

Damar diam. Kemudian, menatap bangunan besar di sana. “Saya tak berniat berkunjung. Tugas saya hanya mengantar Queen pulang.”

“Tapi—”

“Katakan pada Paman Harsa, Philip meminta saya mengatar Queen pulang kalau gadis kecil itu bertemu dengan saya di jalan.”

“Tuan Besar—”

“Saya hanya membantu. Paman akan mengerti alasan saya,” ujarnya sembari menepuk pundak pelayan yang umurnya sudah mendekati setengah abad. Lantas tungkainya mendekati mobil sedan miliknya. Sebelum pergi, ia memandangi pohon rindang di sana—tempat di mana Philip menghabiskan waktu menunggu Queen.

Di dalam mobilnya—bangku belakang, Damar menatap layar ponselnya. Netranya memotret Philip dengan dada bergetar. “Sejujurnya, gue enggak pernah berpikir sepert ini,” batinnya. Ia kembali menyimpan gawainya di saku mantelnya. Kemudian, menyandarkan punggungnya dengan satu tangan berada di keningnya. Pikirannya jatuh pada hari itu.

“Damar, seandai gue pergi nanti, lo bisa bantu gue?”

Kala itu keduanya tengah rehat. Damar menoleh. “Emang lo mau pergi ke mana?” tanyanya. Kursinya bergeser. Ia beranjak dari pijakkannya. Tubuhnya membawa tungkai panjang itu mendekati Philip yang sedang terbaring di sofa hitam metalik.

“Gue mau pergi jauh,” katanya. Lalu membenarkan posisinya. “Iya, ke mana? Berapa lama?” cecar Damar. “Gue enggak tahu berapa lama, tapi bisa jadi gue enggak akan kembali.”

“Lo sinting!” Damar kesal, sedangkan Philip terkekeh. Ia duduk dengan satu kaki berada di atas pahanya. “Gue enggak bisa hidup tanpa Queen dan lo tahu ini,” katanya sambil bersitatap dengan Damar di seberangnya. 

“Justru karena lo enggak bisa hidup tanpa Queen, kenapa lo mau pergi? huh?” sarkasnya. “Ada hal yang harus gue selesaikan di luar sana,” ujarnya sembari menatap luar jendela. “Lo mau ke mana?” Damar geram. “Ke tempat yang jauh.” Philip berdiri. Pandangannya ke arah jendela. “Tempat di mana gue bisa lihat Queen setiap hari tanpa ada gangguan.” Damar tak percaya, pemuda seusia dengannya itu berkata demikian. Jauh dari ekspetasinya.

“Lo terlalu jauh,” gumamnya. Matanya terkatup.

***

Di meja kerjanya, Damar sibuk mengoreksi lembar jawab siswa. Hasil evaluasi materi pembelajaran olahraga di kelas. Ia fokus. Namun, alih-alih terganggu, pemuda itu tak sadar. Di dalam ruang guru, suasana cukup berisik karena ada beberapa guru-guru muda tengah bergosip. Ruang guru junior dan Senior terpisah.

Tatkala Damar menatap lurus, ia mendapati seorang gadis berdiri di depannya. “Sakya?” Lalu ia berpikir, berapa lama gadis itu berdiri di sana? “Ada apa?” tanyanya.

“Begini Pak, Vanilla kelas XII-1 tidak hadir.” Sakya menjelaskan kenapa ia berdiri di sana. “Kamu teman dekatnya, ya?” Ia mendongak. “Iya, Pak,” jawabnya. “Bukankan kamu salah satu teman dekatnya Senja juga?”

“Kok Bapak tahu?” tanya Sakya heran. “”Dia sepupu saya,”  ujarnya. Sakya mengangguk. “Ouh, ternyata Senja punya hubungan darah dengan Bapak,” ucapnya retoris. “Iya. Mengenai Vanilla teman kalian itu, sudah empat hari tidak datang dengan keterangan sakit. Hari ini, tepat di jam kelas saya, keempat kalinya dia tidak masuk. Sangat disayangkan. Nilainya akan turun. Mengingat kalian angkatan terakhir.”

“Alasan saya meminta salah satu di antara kalian menjumpai saya di ruang ini adalah modul. Tolong berikan modul ini pada Vanilla. Sewaktu modul ini diberikan ke kalian, Vanilla tidak masuk. Bahkan, sampai jam pelajaran saya.”

“Baik, Pak.”

“Sampaikan salam saya. Cepat sembuh,” katanya.

“Baik, Pak.” Manakala Sakya hendak undur diri, Damar bersuara. “Oiya, satu lagi. Minta Senja menelpon saya. Ada hal penting. Terakhir, semoga kalian lulus dengan nilai memuaskan,” ucapnya lalu tersenyum tulus.

“Baik, Pak. Terima kasih,” ucap Sakya. Kemudian, gadis itu keluar dari sana. Damar menyandarkan punggungnya. Lantas memperhatikan sekitar. Dalam benaknya. “Ramai.”

Segera ia merapikan barang-barang di atas meja kerjanya—posisinya berdiri. Setelah itu, Damar keluar dengan membawa sebotol air mineral. Ia akan ke gedung teater. Ada latihan pentas drama hari ini. Seingatnya, tatkala melihat berita di buletin sekolah, kisah yang akan diceritakan mengenai Othello—percintaan seorang Jenderal. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang