Bab 4

17 2 0
                                    

Queen menutup bukunya. Kemudian, menoleh ke arah ranjang. Beranjak dari tempatnya—meja belajar. Gadis itu melangkahkan kakinya ke arah tempat tidur. Ia mendudukan diri. Sudah dua hari di sana—rumah. Tak bisa ia gambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini. Di sini kekasihnya memeluknya. Mengucapkan selamat malam.

Mendadak dadanya terasa nyeri. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat. Ia melamun dengan pikiran yang mementaskan kehadiran kekasihnya di ruangan itu. Queen merindukannya. Tak bisa dipungkiri bahwa ia begitu mendalami rasa luka itu dengan teramat baik. Tangannya mengepal. Apakah ia bisa menepati janjinya? Apakah kesepakatannya terlaksana? Bisakah ia bertahan sedikit lebih lama?

“Kamu harus tidur, Queen,” katanya. Gadis itu mengingat konversasi manakala Philip masih  bersamanya.

“Mimpi yang indah,” lanjutnya. Queen menatap dalam kekasihnya itu.

Selanjutnya, gadis itu menyuarakan sesuatu yang ada di kepalanya. “Kakak juga harus tidur.”

Pemuda itu menggeleng. “Belum bisa kalau kamu masih terjaga.”

“Kalau begitu Queen tidur sekarang.”

Pemuda itu tersenyum.

“Tidurlah. Kakak akan tidur kalau kamu juga tidur,” katanya. Queen dapat rasai jika laki-laki itu begitu menjaganya.

“Selamat malam, Kak,” ucap Queen tatkala tubuhnya sudah terbaring. Netranya memandangi gerak-gerik kekasihnya. Philip duduk di tepi kasur dengan tangan mengusap kepala perempuannya juga menyelimuti gadis itu dengan perasaan tulus.

“Kakak mencintaimu,” bisiknya. Kemudian, mengecupi kepala gadisnya.

***

Sekolah akan dimulai lusa dan ia masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan kembali dirinya. Selama sebulan di Seoul, Queen menyendiri dengan mengurung diri di kamar—apartemen. Sesekali Leah mengetuk pintu kamarnya. Bertanya atau memastikan keadaannya baik-baik saja. Selama di sana, ia menenggelamkan dirinya dalam bayangan masalalu.

Queen mendudukkan dirinya di sofa panjang dengan  kedua lutut ditekuk. Gadis itu kembali memikirkan masalalu. Membayangkan Philip. Begitu banyak waktu terpakai hanya mengulang kembali apa yang telah ia rekam di kepala. Queen mendambakan dirinya dalam dekapan kekasihnya. Rasanya ingin mati, akan tetapi tak semudah itu. Keluarganya, sahabatnya, dan terakhir pesan Philip. Ia harus tetap kuat.

Di atas meja—ruang santai, Queen meraih sebuah buku. Novel berjudul kisah putri kecil dengan kakaknya. Sejenak ia tersenyum miris. “Kakak?” batinnya.

Di sana diceritakan sang kakak begitu mencintai adiknya. Segala upayah dilakukan agar sang adik hidup lebih baik. Bahkan, sang kakak menciptakan dunia yang hanya dihuni oleh keduanya. Sang adik adalah pilarnya. Pondasi—alasannya bertahan. Namun, nyatanya kisah itu tak berarti bagi Queen.

“Aku enggak punya Kakak,” gumamnya sembari menutup buku itu.

“Tidak ada gunanya memikirkan orang lain dalam hidupmu,” katanya tatkala telah berdiri dengan pandangan lurus.

“Aku membencinya sampai ketulang-tulang.”

Queen meninggalkan ruang santai. Gadis itu pergi ke perpustakaan—ruang pribadinya. Membuka pintu, gadis itu masuk dengan kedua matanya memindai sekitar. Di sini ia banyak menghabiskan waktu. Belajar, menulis, membaca, dan menangis. Gadis itu mengurung diri dalam sebuah kotak yang tak terlalu besar dengan setiap rak-rak menyimpan kenangan.

Jemarinya mengambil satu buku. Kemudian, membukanya secara perlahan. Di sebuah halaman yang ia tandai—pengingat untuk dirinya sendiri. Queen kembali membacanya dengan suara pelan.

“Jangan biarkan kepalamu menggerogoti hatimu.”

Kalimat selanjutnya, Queen mengingat jelas apa yang tertulis di sana. “Kematian adalah segalanya saat kamu ingin menyerah.”

Pada kalimat berikutnya, manik gadis itu berkaca-kaca. “Seorang pendosa harus dihukum meski ia bagian dalam hidupmu.”

“Aku ingin menghancurkannya,” gumam Queen.

Mengusap belah pipinya dengan kasar, Queen melihat kembali judul novel tersebut. “Dark Romance: Main Road,” gumamnya.

“Seriesnya bagus,” kata Queen.

Menatap langit-langit, ia teringat adegan teater Cupid dan Psyche. Dalam gambar yang ia tangkap selama menonton itu, sosok perempuan bernama Psyche begitu dicintai oleh Cupid. Bahkan, keduanya tersiksa akan keadaan. Selama pentas seni itu, Queen tak pernah melepaskan pandangannya. Ceritanya menyentuh. Dua orang yang saling mencintai. Namun, posisi mereka tak memungkinkan untuk bersatu. Mengingat di kedua belah pihak banyak orang-orang menginginkan kehancuran mereka.

Dalam gedung teater, Queen bersama siswa-siswi lainnya menyaksikan sebuah kehidupan percintaan dewa-dewi Yunani. Itu pertunjukkan akhir pekan di bulan bahasa. Sebuah seni bernuansa romantis. Namun, gelap.  []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang