Bab 13

9 1 0
                                    

Queen memotong steaknya. Detik berikutnya, suara Sang Ibu terdengar. “Sekolah kamu gimana, sayang?” gerakannya pun berhenti. Menatap kedua orangtuanya lalu tersenyum tipis. “Baik-baik aja,” katanya. “Selasa kamu ikut pergikan?” tanyanya lembut. “Queen sibuk, Ma,” jawabnya. Dengar itu, air muka ibunya tampak lesu. “Tapikan, sayang—” ucapannya berhenti karena putri bungsunya menyela. “Ada banyak jadwal dan Queen harus pergi.”

“Kamu bisa tunda, Queen. Prioritaskan keluarga,” timpalnya. Deluna setengah mati berusaha meredam amarahnya. “Kalau emang putri kecil kita enggak bisa, enggak usah dipaksa, Ma,” ujar Sang Papa. Deluna mencengkram erat pisau dan garpunya. Dadanya mendidih. “Kenapa Papa selalu kasih Queen kelonggaran? Dia udah—” Deluna berhenti. Sebab, papanya menatap tajam dirinya. “Kamu tahu, sayang, kalau adik kamu bukan kamu,” katanya.

“Kamu punya banyak waktu untuk kami, Papa dan Mama bangga dan kamu adalah wajah keluarga kita, tapi Queen bukan kamu. Beberapa kali melanggar kode etik keluarga kita, belum tentu harus diasing. Dia putri Papa,” katanya. “Pa.” Ia menyentuh lengah suaminya. Mendadak suasana makan malam menjadi panas. “Kamu tahu standar yang keluarga kamu buat itu berdampak pada putri kita. Deluna berkerja keras agar kakek-neneknya bahagia dan Queen, Si Kecil bukan boneka yang harus melakukan apa yang mereka mau,” katanya menusuk hati istrinya.

Kemudian, ia kembali bersuara. “Kita keluarga dan aku butuh kamu. Apa kamu enggak bisa lepas dari Papa dan Mama kamu?” katanya pelan dengan tenggorokan yang terasa pahit. “Anak-anak enggak tahu dan aku pura-pura mengerti agar kamu nyaman. Kamu enggak bahagia, sayang. Lihat mereka, Queen dan Deluna. Papa dan Mama kamu punya pengaruh yang bisa merusak semuanya.”

“Kamu enggak punyak hak ngomong begitu tentang keluarga aku,” katanya. Wanita itu tak tinggal diam. “Mereka orangtua aku,” katanya tak terima. “Luna dan Queen anak aku,” lanjutnya dengan matanya berkaca-kaca. Gadis di seberang mereka—Queen tidak bisa mengomentari kedua orangtuanya. Di sini semua orang salah. Jujur Queen tidak menyukai keluarga ibunya lantaran selalu didesak seperti Deluna yang bisa ini-itu dalam menampilkan citra keluarga baik. Namun, perihal kedua orangtuanya juga Queen tidak suka karena keduanya sibuk. Ia kekurangan kasih sayang dan perhatian. Deluna? Queen sudah bersumpah akan menghancurkan kakaknya samapi ketulang-tulang kalau selalu mencampuri urusannya.

Semenjak Philip pergi dan ia mengetahui fakta yang sebenarnya, gadis itu sudah membenci Deluna. Sedikit pun tak ada rasa untuk merasai kebersamaan ini. Queen terlampau mengutuk keluarganya sendiri. Tempat tinggalnya. Kenapa semua orang egois? Kenapa tidak ada satu pun orang mau mengerti perihal hati yang terluka? Kenapa tidak ada yang mau memperbaiki? Kenapa? Queen bertanya-tanya. 

“Pa,” panggilnya lembut dan menyita perhatian semua orang di meja makan. “Queen mau pulang,” ucapnya dan berdiri. “Sayang,” ucapnya spontan—ibunya. “Biar Papa antar.” Laki-laki itu beranjak dan meletakkan uang sebagai tanda pembayaran. Istrinya dan Deluna melotot tak percaya akan aksi pria paruh baya yang sedang termakan emosi itu. “Ayo, kita pulang,” katanya sambil meraih jemari Queen. Gadis itu menatap ibu dan kakanya bergantian. Ia tidak suka situasi seperti ini.

Di dalam mobil hening. Netranya menggambarkan segaris kesedihan di sana. Belum lagi Sang Papa tak bersuara pasca keluar dari tempat makan Prancis itu. “Pa,” panggilnya serak. “Kita bicara di rumah,” ujarnya. Queen menatap papanya dengan hati yang pilu. Masalah seperti ini sering terjadi. Kenapa orang-orang menetapkan standar dalam kehidupan orang lain, terlebih pada anaknya sendiri? Kenapa hak-hak mereka dirampas? Ke mana perginya kebebasan yang seharusnya mereka dapatkan?

Tiba di halaman, Queen keluar manakala Sang Papa sudah keluar. Queen mengejar Papanya yang sedang kalut. “Papa!” Langkah kaki mereka berhenti tatkala Queen memeluk Papanya dari arah belakang. “Papa,” ucapnya sambil menahan isak tangis lalu gadis itu menenggelamkan wajahnya di punggung papanya. Tangan besar itu mengelus puncak kepalanya. Kemudian, mencium bertubi-tubi puncak kepala anaknya sambil bergumam meminta maaf. Dalam pelukkan yang berlangsung itu keduanya merasai bahwa keegoisan sedang menguasi maka untuk memutuskan itu keduanya menangis.

“Papa minta maaf, sayang,” katanya penuh sesal. Queen menggeleng dalam pelukan papanya. “Queen yang nakal.”

“Enggak sayang,” katanya dengan suara bergetar. “Kamu enggak salah,” lanjutnya. “Kamu putri Papa yang berharga. Luna juga. Kalian kehidupan Papa.” []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang