Bab 14

9 1 0
                                    

Queen menelungkupkan kepalanya di atas kedua lipatan tangannya. Sorot mata gadis itu sendu pun ia sendiri di sana. Jam kelas masih berlangsung—mata pelajaran pertama. Leah berada di kelas. Tadi ia mengatakan pada sahabatnya kalau dirinya kurang sehata dan akan beristirahat di UKS. Namun, alilh-alih ke sana, ia malah melesatkan tungkainya ke kantin sekolah.

Senja menarik kursi itu pelan sehingga gadis di depannya tidak menyadari presensinya. Di sana ia meletakkan sebotol soda sambil menatap daksa mungil yang sibuk menghela napas berulang kali. Ia baru saja keluar dari ruang osis. Walaupun bukan bagian dari organisasi itu lagi, mengingat jabatannya telah berakhir lantaran sekarang ia berada di tahun terakhir. Ia akan tetap datang memberikan bantuan apabila adik tingkatnya membutuhkannya. Rasanya tidak nyaman menolak ajakan orang lain, terlebih orang yang ia kenal. Sebab, itu berada di ruang osis itu tidak buruk.

“Lo sakit?” tanya Senja pelan. Gadis itu belum berpaling. Masih di posisi awal. “Queen,” panggilnya sambil mengetuk meja. “Siapa?” tanya Queen balik. Kemudian, membetulkan posisi duduknya. “Kamu bolos?” tanyanya retorika. “Enggak juga, sih,” katanya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kalau enggak bolos apa?” Entah kenapa, Senja mendengar itu seperti kicauan bayi. Terlihat polos. “Terus lo di sini ngapain?” Senja melontar tanya. Gadis di depannya refleks menggigit bibir bawahnya. “Sakit?” gadis itu ragu menjawabnya. “Lo sakit? Tadi gue tanya malah diam,” katanya terdengar kesal. Gadis itu mengerucutkan bibirnya. “Kok aku dimarahi, sih,” ucapnya tak terima. Namun, terdengar seperti rengekkan.

Senja terkekeh. “Lo lucu juga, ya kalau ngambek,” kata Senja lalu Queen mengembungkan dua belah pipinya. “Mirip ikan buntal,” lanjut Senja sambil terkekeh. “Kamu lagi jelekin aku, ya,” kata Queen yang matanya berkaca-kaca dan siap menangis. Senja melihat itu segera menggeleng pun beranjak sambil berujar. “Enggak kok, enggak,” katanya. Kemudian, mendekap tubuh yang bergetar itu. Ia mengusap punggung Queen lembut. Senja baru saja sadar kalau gadis di hadapannya itu berada di situasi yang kurang baik. Sebab itu, kenapa Queen menangis.

Sorry, gue enggak bermaksud gitu. Lo lucu, gue suka lihatnya.” Ia mengelus puncak kepala Queen. “Maafin gue. Gue enggak tahu lo lagi sensitif,” ujarnya. “Lo boleh marah atau pukul gue juga enggak apa-apa,” lanjutnya.

***

Laki-laki bermata monoloid itu mengusap pipi Queen lembut. “Udah, enggak usah nangis,” katanya membujuk. “Tapi air matanya turun terus,” isaknya. Senja merangkup wajah Queen lalu menghilangkan jejak-jejak di pipi gadis itu. “Jangan nangis, nanti gue ikutan nangis juga,” timpalnya.

“Enggak mau berhenti,” balasnya cepat. “Gue traktir ice cream, mau enggak?” Senja tersenyum manakala gadis itu mengangguk cepat. “Giliran traktir langsung mau.” Kemudian, Queen menjawab lugu. “Gratis.”

“Ngomong-ngomong kita ngapain di sini?” tanya Queen bingung. Keluar dari kantin, mereka pergi ke rooftop. “Udaranya di sini bagus. Sejuk. Bisa jadi karena tempatnya di atas makanya anginnya enak dinikmati,” ungkapnya.

“Benar juga, sih,” imbuh Queen. “Aku jarang di sini. Soalnya, jauh dari gedung kelas.” Queen memindai sekitarnya. Mereka duduk di atas meja yang dirapatkan di dekat pembatas. “Gue sering disi. Misalnya, kalau lagi suntuk ke sini atau lagi ingin sendiri ke sini,” katanya dengan netra menatap ke arah lain.

“Oiya, masalah lo yang di labor itu udah clear. Gamma diskor. Anak-anak yang lain juga enggak terlalu fokus ke lo,” katanya. “Tapi tetap aja,” ucapannya digantung. Senja menatap Queen yang merunduk sambil mengaduk minumannya. Laki-laki itu meraih dua tangan Queen dan tersenyum manis bak gulali.

“Kamu enggak sibuk?” tanya Queen yang baru saja sadar kalau mereka di sekolah. “Tadi sih. Sekarang udah selesai. Tugas baru gue harus jagain lo,” katanya. “Queen bukan anak kecil,” balasnya. “Di mata gue, lo itu anak kecil.” []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang