🌼Empat🌼

49.9K 5.9K 263
                                    


"Ka Lingga ngapain kesini?" Sekar menepuk-nepuk baju Lingga yang terkena debu sehabis manjat tembok.

"Hehehehe mau ketemu sama Sekar lah" jawabnya mengedipkan mata.

"Ya tapi jangan manjat juga dong. Nanti ka Lingga jatuh terus gak sadarkan diri sama kayak Sekar waktu itu gimana?" Cerocos Sekar pada Lingga yang kini ikutan duduk di bangku taman rumah pelayan.

"Sekar pernah jatuh terus pingsan?" Sekar mengangguk polos. "Berapa lama pingsannya?" Tanya Lingga lagi.

"Kata bi Arum ada satu hari ka" mata Lingga membesar kala mendapatkan fakta tersebut.

"Terus bibi gak ada ngelapor sama ayahanda?" Tanya Lingga tak percaya menatap bi Arum yang baru saja datang dari dapur membawakan makanan dan minuman.

"Eh? Ngelapor apaan tuan?" Bingung bi Arum.

"Lapor waktu Sekar gak sadarkan diri sehabis jatuh dari tembok" bi Arum hanya menghembuskan napas.

"Bukannya bibi gak mau lapor tuan, hanya saja sejak dulu tuan Biduar tidak perduli dengan nona Sekar. Bahkan dahulu nona pernah sakit parah dan bibi ngelapor, tuan hanya acuh dan tak mau menanggapi" jujur bi Arum.

Sudah dia katakan bukan kalau tuan besarnya itu orang yang kejam? Bahkan anaknya yang baru lahir saja diasingkan karena dikira bakalan menjadi aib dan juga fitnah.

Lingga menggeram mendengar fakta berikutnya lagi. "Memangnya apa salah Sekar sehingga diasingkan bi?"

"Karena Sekar berbeda" ini Sekar yang menjawab, dia menatap sendu kearah Lingga.

"Berbeda apanya?"

"Kakak tidak lihat warna kulit juga rambut kita itu jauh berbeda? Apalagi warna bola mata. Kalau kata tuan Biduar, Sekar itu aib dan juga fitnah" ucap Sekar pura-pura sedih.

Dia harus berekting sekarang agar mendapat simpati dari salah satu anggota keluarga Biduar. Sudah seharusnya Sekar mencari sekutu agar dia tidak terkurung selamanya didalam rumah yang bertembok tinggi ini.

Yah walaupun sebenarnya tanpa Sekar minta Lingga kini perlahan sudah mulai memihak dirinya.

"Ayahanda berkata begitu?"

"Iya tuan. Makanya setelah non Sekar lahir, dia diasingkan dari kediaman utama dan terkurung disini hingga sekarang. Bahkan tidak ada yang mengenal nona Sekar selain kami yang menjaganya. Bahkan saya yakin tuan Biduar sendiri baru mengetahui wajah non Sekar sejak hari dia mengundang makan malam"

Lagi-lagi Lingga menganga mendengar fakta bertubi-tubi yang baru saja ia dapatkan. Ternyata ayahanda yang dibanggakan banyak orang itu adalah orang yang sangat kejam. Bahkan putrinya sendiri ia asingkan.

"Ayahanda sudah sangat keterlaluan" Lingga kengepalkan tangannya. Sedangkan Sekar tertawa didalam hati.

Perlu diketahui jarak umur antara Sekar dengan Lingga hanya selisih tiga tahun. Kalau Sekar sekarang berumur lima tahun, maka Lingga delapan tahun.

Sedangkan dengan Abisatya selisih sembilan tahun. Usianya kini 14 tahun. Lalu dengan Gardana selisih 6 tahun. Usianya kini 11 tahun. Jadi secara keseluruhan beda usia mereka selalu berjarak 3 tahun.

"Gapapa ka, emang benar kan kalau Sekar itu berbeda?" Ucap Sekar dengan wajah memerah menahan tangis.

Bagus lanjutkan Stefani, cari cara agar kau bebas dari tembok tinggi ini.

"Jangan sedih dong" Lingga mengelus wajah kemerahan milik Sekar. "Nanti Kakak cari cara biar Sekar keluar dari sini, yah?" Sekar hanya menganggukkan kepalanya.

"MMM tapi gak usah deh ka" ucap Sekar ragu-ragu.

"Loh kenapa?" Bingung Lingga.

"Sekar takut nanti Kakak malah kena marah sama tuan Biduar" Lingga menghela nafas.

"Sekar itu tetap anak ayahanda juga. Jadi Sekar harus bisa bebas dan diakui oleh semua orang sama seperti kakak dan yang lainnya. Jadi Sekar gak usah khawatirkan kakak. Memang sudah saatnya Sekar keluar dari sini"

Sekar terharu mendengar penuturan Lo Lingga. Ia reflek memeluk erat badan Lingga. "Makasih kak Lingga" ucapnya tulus.

"Oh jangan nangis dong. Wajah kamu memerah tau kalau lagi nangis gini" Lingga menghapus air mata Sekar.

Wajarlah kulit putihnya yang pucat itu pasti akan memerah apabila emosi dan menangis. Satu lagi kelemahan kulit Sekar, ia tidak bisa terkena sinar matahari lama.

🍁🏵️🍂

Ketika selesai makan malam, Lingga membuka suara. Sebelumnya juga dia sudah menatap sinis kearah ayahandanya. Biduar bukannya tidak tau, dia hanya menunggu apa yang akan dibicarakan oleh putra bungsunya yang selalu membantah itu.

"Bicaralah Lingga, sejak tadi aku lihat matamu hampir saja keluar setiap kali menatap ayahanda. Katakan apa yang kau pikirkan hingga hidungmu saja kembang kempis karena menahan amarah sejak tadi" putus Biduar yang sudah tidak tahan ingin mendengar ocehan putra bungsunya itu.

Abisatya dan juga Gardana menatap bingung kearah Lingga. Keduanya menggidikkan bahu tak paham ketika saling berpandangan.

"Aku ingin ayahanda membebaskan Sekar dari kandang sialan itu!" Putusnya dengan emosi menggebu. Biduar mengerutkan dahinya. "Ayahanda tidak usah pura-pura bodoh, karena aku tau ayahanda pasti mengerti maksudku"

"Jaga ucapanmu Lingga!" Bentak Abisatya saat mendengar nada bicara adiknya yang tidak ada sopan nya sama sekali ketika berbicara dengan ayahanda mereka.

"Kau diam saja Abistya! Kalau kau tidak tau apa yang aku bicarakan lebih baik tutup saja mulut penjilatmu itu!" Abisatya hendak menjawab namun keburu dipotong oleh Biduar.

"Lanjutkan Lingga" ucapnya datar.

"Saya tau ayahanda paham maksud saya. Sekar juga manusia ayah, bahkan dia adalah putrimu sendiri. Putri satu-satunya milik ayahanda. Sudah cukup ayah tidak mengakuinya sebagai anak dan bahkan mengakuinya sebagai aib dan pembawa fitnah. Maka sekarang ijinkan dia bebas ayah, bebas dari tembok penghalang yang menutupi pandangan matanya untuk melihat dunia luar"

Semua orang terdiam. Bahkan Abisatya dan juga Gardana menggeleng tak percaya akan fakta yang baru saja merek dengar.

"Ayah tau apa permintaan Sekar padaku tadi?" Biduar menaikkan alisnya. "Dia minta agar aku tidak usah meminta ayah untuk mengasihaninya, dia takut ayah akan murka padaku kalau aku meminta ayah melepaskannya" Lingga terdiam lalu tertawa hambar kemudian.

"Bahkan anak kecil itu terlalu dewasa menurutku. Kalian tau apalagi yang dia bilang padaku tadi?" Lingga menatap ayah lalu kedua saudaranya. "Dia berharap kalau ayah memang tidak mau mengeluarkannya dari sana, setidaknya bangun untuk dia sebuah perpustakaan yang memiliki banyak buku termasuk buku yang membahas tentang ilmu kesehatan".

Mata Lingga kini menatap tajam mata ayahnya. "Dia bilang ingin mempelajari obat-obatan agar bisa menyembuhkan orang yang membutuhkan pertolongannya agar tidak di asingkan karena sebuah penyakit yang dianggap aib oleh orang banyak"

Seketika badan Biduar membeku. Hatinya terasa dihujam banyak jarum mendengar penjelasan dan keinginan putri yang selama ini ia kucilkan.

"Kalau memang betul seperti itu faktanya, maka aku benar-benar kecewa dengan ayahanda" sela Abisatya . Biasanya dia adalah orang yang sangat membela ayahandanya walaupun banyak yang menyalahkan nya. Tapi kali ini ia berani tidak sependapat dengannya.

"Gardana juga kecewa dengan ayah" Biduar makin memasang wajah datar kala melihat pertentangan dari ketiga putranya.

"Baiklah kalau itu yang kalian mau" putusnya setelah berpikir lama.





Hah.... Akhirnya bisa up juga.

Jangan lupa votenya yah

SEKAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang