🌼Tiga Puluh Empat 🌼

17.5K 2.3K 53
                                    


Saat ini Langit sedang santai sambil menikmati teh melati pemberian Sekar. Seperti tidak rela untuk segera menghabiskannya. Bahkan senyumnya sejak tadi tidak luntur ketika ia selesai menyeduh teh melati tersebut.

"Ayolah tuan..., Itu hanya teh. Kenapa anda berlebihan sekali?" Dimas bergidik melihat tingkah konyol tuannya.

"Kau tidak tau apa-apa Dimas! Jadi tutup saja mulutmu disitu" Dimas menye-menye mendengarkan omongan tuannya.

"Kau begitu karena sedang iri bukan?" Tawa Langit meremehkan.

"Cih. Untuk apa pula aku iri dengan teh pemberian nona Sekar pada tuan"

"Halah bilang aja iya. Kan kau tidak ada yang memberimu teh spesial atau apapun itu. Iyakan?" Dimas memutar bola matanya malas.

Punya majikan ko begitu amat.

"Kau gak usah menggerutu disitu Dimas. Kalau mau ada yang memberimu sesuatu makanya cari wanita sana" Langit mengibaskan tangannya.

"Karena siapa juga aku tidak bisa mencari wanita heh? Bukankah setiap waktu saya harus ada di samping anda yang mulia Langit?"

Langit meletakkan cangkir tehnya yang sudah kosong.

"Ah ternyata begitu. Baguslah kalau kau tidak memiliki wanita, bisa bahaya kalau kau memiliki mereka" jelas saja Dimas tidak terima akan penuturan tuannya.

"Apa maksud anda tuan?"

"Aiihhh kau belum paham juga yah" Langit bangkit dari duduknya.

"Kalau kau punya wanita yang dicintai saat ini, yang ada aku kau telantarkan. Dan aku tidak mau kau begitu. Disini, aku yang harus kau prioritaskan" putusnya.

Ingin sekali saat ini Dimas menghajar tuannya yang kalau bicara selalu saja tidak pernah disaring kalau berbicara dengannya.

"Sudah tau tidak akan bisa apa-apa tanpa saya, masih saja mencari-cari alasan agar saya menjadi emosi" dengus Dimas.

"Itu sudah resiko menjadi kau Dimas. Kau gak terima heh! "

Lagi-lagi Dimas hanya mendengus dan memperbanyak sabar menghadapi tuannya.

"Tuan muda!..." Panggil seseorang dengan terburu-buru.

"Apa, ada apa?" Langit bangkit dari duduknya kala mendapati asisten yang selalu mendampingi ayahnya tergesa-gesa memanggilnya.

"Yang mulia....hosh hosh " sang asisten mengatur napasnya.

"Pelan-pelan saja"

"Itu..., Yang mulia Presiden tiba-tiba jatuh pingsan yang mulia"

"Maksudmu ayah?" Tanya Langit tak percaya.

"Iya benar yang mulia"

Tanpa banyak tanya lagi, Langit buru-buru bergegas menuju kamar pribadi ayahnya. Wajahnya benar-benar kelihatan khawatir sekali.

Para penjaga memberi hormat kala Langit memasuki ruangan pribadi ayahnya.

"Yang mulia sedang diperiksa oleh tabib di dalam tuan" ucap mereka tanpa Langit tanya. Langit hanya mengangguk sekilas, kemudian melanjutkan langkahnya untuk memasuki kamar sang ayah.

"Bagaimana keadaannya?" Ucapnya langsung ketika menemui para tabib yang sedang memeriksa Arthur.

"Yang mulia Presiden hanya sedang kecapekan tuan. Lalu juga sepertinya maag nya kambuh, mungkin karena sering telat makan" Langit menghembuskan napas lega.

SEKAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang