🌼Sembilan belas🌼

27.6K 3.3K 43
                                    


Lingga keluar dari ruang makan dengan emosi yang sudah di ubun-ubun. Ia kesal dengan adiknya. Bukan. Bukan karena ia benci, hanya saja menurutnya perlakuan Sekar itu berlebihan.

Bagaimana kalau nanti orang-orang malah memanfaatkan karena dia baik? . Lingga menendang angin saking kesalnya.

"Apa salahnya mendengarkan kata-kata ku coba? Aku kan cuman tidak tidak ingin kenapa-kenapa. Ayahanda juga, selalu saja menuruti kemauan konyolnya!"

Lingga membanting pintu kamar, membuat pelayan pribadinya berjengkit kaget.

"Astaga naga, untung saja jantungku tidak copot" sang pelayan mengelus dada.

🏵️

"Tak bisa kah kamu mengurungkan niat untuk mengajari anak-anak kurang mampu itu Sekar?" Kini ketiganya sedang duduk diruang santai, minus Lingga yang langsung kabur ketika berdebat dengan Sekar.

"Tidak bisa pah! Emang apa salahnya kalau Sekar mengajari mereka? Sekar kan tidak merugikan siapa pun" Biduar memijit pelipisnya, pusing kalau sudah berdebat dengan Sekar.

"Maksud papah, apa kamu tidak akan capek kalau mengajari mereka? Mereka itu tidak tau apa-apa loh" bujuk Biduar kembali.

"Justru karena mereka tidak tau apa-apa makanya Sekar ingin mengajari mereka papah" gregetnya. "Lagian Sekar bakalan membagi waktu dengan baik kok, papah sama yang lain tenang aja yah" mohon Sekar kemudian.

"Dimana kamu akan mengajari mereka?" Gardana ikut dalam obrolan mereka.

"Kalau menurut kakak bagusnya dimana? Apa aku buat di kediaman saja?"

"TIDAK!" jawab keduanya bersamaan. Bibir Sekar mengerucut melihat kekompakan keduanya.

"Jadi dimana...?" Rengeknya.

"Yah gak tau. Kamu pikirkan lah dahulu, kan yang mau mengajari mereka kamu, kakak kayaknya gak bakalan bisa bantu. Sekolah kakak sedang sibuk-sibuknya"

"Pah..." Biduar menggidikkan bahunya. "Iihhh kalian mah gitu" rengeknya kembali.

"Itu tanggung jawab kamu Sekar. Kamu yang bakalan mengerjakan, papah cuma memberi kamu ijin. Masalah tempat dan waktunya, papah tidak mau ikut campur. Tapi yang jelas, untuk sementara ini kamu tidak di perkenankan keluar dari rumah"

Sekar menghela napas, mau tak mau ia menyetujui saja. Toh dia yang merengek meminta pekerjaan ini. Bagaimanalah, ia sudah terlanjur bersumpah waktu itu dihadapan Langit. Mana mungkin kan dia ingkar, apalagi sepertinya langit diatas sana hari itu juga kayaknya mengijinkan, buktinya sampai mengeluarkan petir segala.

"Aku musti buat tempat mengajar dimana yah?" Sekar membuka lebar jendela kamarnya, menghirup udara malam yang kini mulai dingin menembus kemeja yang ia kenakan.

Pagi harinya Sekar kembali berolahraga bagaimana semestinya setiap hari. Ketika putaran kedua ia melihat Lingga yang sedang duduk termenung di jendela kamarnya.

"Oii kak, ngapain?" Teriak Sekar. Yang ditanya hanya diam.

Sekar mendekat lalu kembali mengajaknya bicara.

"Ngambek pasti yah?" Sekar mencolek lengannya dan tetap saja Lingga tidak bergeming.

"Dih apaan coba pake acara ngambek segala? Udah kayak anak gadis aja" Sekar lagi-lagi mencolek lengan Lingga, namun yang di ganggu tetap diam.

"Yasudah kalau gak mau ngomong, aku gak bakalan rugi kok" Sekar menatap sinis laki-laki didepannya.

"Haahh aku nanti siapin jamuan apa yah untuk Rama? Minggu lalu kita gagal belajar bersama karena gempa, ck enaknya ngasih apa yah nanti?" Sekar pura-pura berpikir didekat sang kakak.

SEKAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang