Sejak tadi Sekar tidak berhenti menggerutu. Pasalnya ketika ia sedang menikmati waktu berdua dengan Biduar saat menjelaskan banyak hal padanya di perpustakaan, seorang laki-laki yang Sekar yakini adalah sekretaris papahnya datang menjemput, katanya ada pertemuan di istana presiden."Menyebalkan sekali, padahal aku belum puas dengan penjelasan papah" bibir mungilnya terus-terusan bergumam.
Ia memandangi kedua pengawal yang menunggu di pintu gerbang. Ingin sekali Sekar menerobos keluar, dia benar-benar bosan disini. Tidak ada kawan sama sekali.
Ketiga kakaknya sedang sekolah, siang baru kembali. Sorenya mereka bertiga bakal ada tambahan pelajaran juga, membuat Sekar uring-uringan tidak jelas.
"Nona mau kemana?" Tanya salah satu pengawal karena Sekar sejak tadi mendekat kearah mereka dan mencuri-curi pandang kearah luar.
"Aku cuman mau lihat-lihat saja, boleh yah?" Pinta Sekar dengan wajah memelas.
"Tidak boleh nona. Tuan tidak mengijinkan nona untuk keluar dari kediaman" Sekar makin menggerutu.
"Oke baiklah aku tidak akan keluar. Tapi ijinkan aku melihat-lihat dari gerbang saja, kalian boleh memperhatikan setiap gerak-gerikku" kesal Sekar.
Keduanya berbisik sebentar lalu menyetujui permintaan nona kecil mereka.
Dengan wajah bahagia, Sekar mengintip dari celah pagar yang terbuat dari besi.
"Waaahh diluar juga sepi yah?" Gumam Sekar.
"Iya jelas saja nona. Karena kediaman pak menteri Biduar hanya terdiri satu rumah ini saja" jelas pengawal. Mata Sekar melotot mendengarnya.
"Terus bagaimana dengan rumah warga lain?"
"Mereka ada di komplek lain nona. Yang jelasnya kediaman ini jauh dari kerumunan warga" Sekar mengangguk-anggukkan kepala.
"Mmmm apakah lingkungan perumahan disini dibeda-bedakan?" Tanya Sekar kembali.
"Maksudnya nona?"
"Ahh maksud aku, apakah lingkungan kasta rendah dan kasta tinggi dibedakan juga?"
"Itu pasti jelas nona. Kedudukan semua warga di negara ini dibedakan oleh kasta yang mereka miliki"
Sekar berdecak didalam hati.
Sungguh tatanan kehidupan disini belum merdeka sama sekali. Yah walaupun di duniaku dahulu juga masih ada yang seperti ini, namun setidaknya disana sudah ada sistem demokrasi, jadi setiap warga punya hak masing-masing tanpa harus pandang bulu.
Cukup lama Sekar berdiam diri di depan gerbang. Badannya memang disana, tapi pikirannya telah melang-lang buana hingga ke kota Gaza. Kota yang telah menjadi tempat terakhir kali ia menghirup napas di dunianya dahulu.
Bagaimana aku bisa melanjutkan cita-cita ku untuk mengobati banyak umat manusia selama aku hidup? Padahal Tuhan sudah mengijinkan aku hidup untuk kedua kalinya.
Dari kejauhan kereta yang dinaiki oleh Abisatya, Lingga dan juga Gardana telah berjalan menuju kediaman.
"Bukankah itu si Pucat?" Tanya Abisatya pada kedua saudaranya.
Lingga dan Gardana menoleh dari dalam kreta. Dan benar saja, Sekar sudah berdiri sambil memeluk pintu pagar dengan pandangan kosong.
"Ngapain dia disana?" Bingung Gardana. Abisatya juga Lingga menggeleng tidak tau.
"Oiii Pucat! Ngapain kamu?" Teriak Abisatya kala kreta sudah mendekati gerbang.
Sekar yang mendengar suara Abisatya memanggilnya pucat, kini mendelik sebal. Dia menepi dari gerbang ketika pengawal hendak membukanya untuk kereta saudaranya masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKAR
FantasyGenre : Fiksi Stefani Arsita Prameswari seorang dokter yang namanya sudah sangat dikenal di seluruh penjuru negri. Tertembak oleh tentara sekutu saat sedang menjalankan tugasnya menjadi seorang relawan disebuah negara yang terkena konflik. Dipengh...