SECTION 8. TISSUE

35 14 0
                                    

Suasana riuh kembali terdengar di koridor sekolah. Beberapa siswa-siswi berlarian dengan buru-buru. Mereka meneriaki hal-hal konyol. Narendra tidak memahami maksudnya. Siswa-siswi lainnya juga ikut diam saja. Menikmati pagi menjelang siang dengan keriuhan.

"Itu kelompok seni."

"Emang ada apaan, Tom?" tanya Prasetya penasaran. Tangan kanannya masih menggenggam bakso tusuk lalu mengunyahnya perlahan sedangkan matanya masih terus menatap mereka yang berlarian.

"Katanya sih ada pentas seni. Eh, maksudnya perlombaan seni gitulah. Gak ngerti juga."

"Lo tau dari siapa?"

"Nebak doang." jelas Tommy santai. Tak ada ekspresi bersalah.

"Sialan. Kalau ternyata mereka lagi demo gimana?"

"Demo apaan?"

"Demo nurunin kepala sekolah. Sampai sekarang aja gue belum tau wajah kepala sekolah kita kayak apa."

"Sepenting apa si Lo ini, Gus? Sampe kepala sekolah harus menampakkan diri di depan muka Lo."

"Gini-gini gue siswa Akal Bangsa, loh."

"Dan kepala sekolah ada pemilik sekolah ini." Tommy membentak.

"Si Tommy bego amat, ya, Ndra. Ngapain juga ditanggepin banyolan gue." celetuk Prasetya yang langsung memukul punggung Narendra. Seketika Narendra merasakan sakit yang luar biasa. Ia langsung bereaksi dengan makna kesakitan.

"Pras, jangan pukul gue. Masih ada memar."

"Sorry, Ndra. Gue gak tau. Masih sakit gak?"

"Lo kenapa, Ndra?" Tommy bergidik menyeringai.

"Ada memar sedikit. Jangan sembarangan, uyy."

"Seriusan?" Prasetya meyakinkan kembali. Matanya memunculkan ekspresi menyesal. Narendra mengangguk.

"Lo yakin nanti bisa ngadepin si senior itu?"

"Dia gak bakal bisa mukul gue," jawab Narendra "Gue tau dia bisa mukul gue. Tapi, soal mental. Mentalnya lemah."

"Maksud Lo?" tanya Prasetya tak mengerti.

"Dia bakal mikir seribu kali sebelum bertindak. Itu yang ngebuat dia gak berkembang. Selalu takut."

"Ternyata Lo cerdas juga."

Suara lonceng terdengar cukup keras dan memekakkan telinga siswa-siswi baru. Sekolah berlantai tiga itu memang menjadi tempat belajar favorit di kota ini. Siswa-siswi kelas XII dan XII langsung berlarian masuk ke kelas. Sedangkan siswa-siswi baru langsung menuju aula sekolah.

"Anak-anak" kata salah satu guru perempuan yang mengajar matematika. Ia ditugasi untuk memimpin pembagian kelas di Aula. "Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi kalian. Ibu akan memberikan berkas sekolah."

Narendra duduk bersebelahan dengan Tommy dan Prasetya. Ketiganya seperti tiga pentol korek. Tommy sibuk menjahili Prasetya.

"Pras, coba, geh. Rasain!" titah Tommy yang menyodorkan jari telunjuknya.

"Males amat. Ngapain juga mesti jilatin telunjuk Lo. Kuman semua."

"Ih, ngeyel. Rasanya kayak permen."

"Diem. Gue tempeleng pala Lo!"

Narendra tak menggubris keduanya. Matanya masih jelalatan mencari keberadaan gadis yang kemarin menyiramnya dengan segelas air. Riuh siswa-siswi baru memang menjadi musik yang mengiringi kejadian saat itu.

***

Karmila sedang menghabiskan semangkuk baksonya saat Rajeng mengoceh tak jelas.

"Bisa-bisanya gue sekelas sama Siska."

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang