SECTION 22. DECEMBER 2015

24 9 0
                                    

Sekumpulan manusia berjalan menyusuri jalanan. Hati mereka berdebar-debar. Sebuah harapan akan kemajuan daerah tampak bersinar dari relung wajah hangat mereka. Sepanjang perjalanan; bilah-bilah bambu yang dikaitkan dengan bendera bergambar wajah sepasang manusia berdiri kokoh. Masing-masing bilah bambu berjarak sekitar satu meter.

Suara-suara gegap gempita dari para pendukung bakal calon kepala daerah menggema hingga ke setiap titik. Tak ada satu pun yang mau mengalah; seakan-akan calon kepala daerah yang mereka pilih akan menang.

Tampak para warga menunggu giliran untuk melaksanakan hak pilih. Mereka saling bercengkrama tentang keluarga, romansa, ataupun kabar miring tentang calon kepala daerah. Mereka menunggu antrian sesuai nomor giliran. Warga yang datang lebih awal memiliki kesempatan lebih awal juga untuk segera melaksanakan hak pilih. Empat orang warga tampak berbaris di depan panggung. Keempat warga tersebut sama-sama bersembunyi di balik sebuah kotak bersisi tiga. Ekspresi khawatir, senang, takut, dan was-was terpancar dengan jelas dari wajah mereka. Mereka kini tengah berada di satu persimpangan jalan yang menentukan. Mereka akan memilih seorang pemimpin yang akan memimpin daerah yang mereka pijaki. Bayang-bayang korupsi, kolusi, dan nepotisme masih terus menjalar ke setiap logika warga. Buat apa pula kita memilih? Toh ujung-ujungnya korupsi juga. Hal inilah yang memang sepertinya sudah tertanam dengan jelas bagi warga.

Setelah selesai melakukan pencoblosan; keempat warga itu langsung mendatangi meja selanjutnya untuk melakukan bukti pencoblosan. Mereka memasukkan jari kelingking ke sebuah botol kecil.

Salah satu dari mereka; Pak Amat. Pria lanjut usia tampak kegirangan saat melihat kelingkingnya berwarna biru. Entah apa yang membuatnya tampak bahagia. Yang jelas ekspresinya begitu apik. Senyum dari bibirnya yang tipis dan kerutan kulitnya tampak kembali menebal.

"Ngapain toh, Mbah?" tanya Jamal; petugas TPS. Pipinya baru saja dicolek oleh Pak Amat secara tiba-tiba.

"Mal," ujar si Mbah Amat mengenang. Kini seluruh jagat raya terfokus mendengar koar Mbah Amat, "aku sudah beberapa kali melakukan pencoblosan."

"Ya iyalah Mbah sudah beberapa kali," potong Siti dari ujung kursi sana, "La wong anak-anak si Mbah saja ada 13."

Sontak hal tersebut membuat yang lainnya tertawa terbahak-bahak.

"Usia si Mbah sudah tua, Mal." Mbah Amat kembali bercerita.

"Mbah hanya ingin mendapatkan jaminan kesehatan yang layak, Mal."

"Ya, Mbah tadi milih nomor satu, bukan, Mbah? Pokoknya Joss itu, Mbah." ujar Jamal pelan-pelan mendekat ke telinga Mbah Amat.

"La, aku tadi milihnya nomor tiga, Mal."

"Waduh, kalau calon nomor tiga gak jamin untuk kesehatan Mbah, Mbah."

"La jadinya kepiye, to?" tanya Mbah Amat khawatir, "apakah bisa diulang, Mal? Aku tak nyoblos nomor satu."

"Ya sudah tidak bisa, to, Mbah."

Tampak Mbah Amat langsung gemetar ketakutan. Informasi dari Jamal tadi membuatnya bimbang. Ia bahkan tidak melangkah pergi.

"Yo.. sedulur jangan lupa nyoblos nomor satu, ya!" teriak Mbah Amat tiba-tiba di depan kerumuman.

Jamal langsung menutup wajahnya menahan malu. Rekan petugas TPS langsung melirik ke arah Jamal. Pria bertubuh gempal itu langsung menarik paksa Mbah Amat agar segera pergi.

"La kepiye, to, Mal," celetuk Mbah Amat saat digandeng Jamal, "Si Mbah ini mau nyoblos lagi."

"Wes, Mbah," potong Jamal lagi, "nyoblos-nyoblos nya di rumah aja. Kae Lo, Mbah Lastri wes nunggu di rumah."

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang