SECTION 37. GRANADA BOOKSTORE

16 9 0
                                    

Karmila, Rajeng, dan Hanin tengah berdiskusi di suatu tempat yang sunyi tanpa mengundang Sylvia. Ketiganya kompak akan melakukan suatu hal; interogasi.

"Sebenarnya dia masih anggep kita temen gak, sih?" Hanin mengoceh sendiri. Memulai perdebatan panjang.

"Fix! Dia itu pulang, Nin." Karmila mencoba membela Sylvia. Rajeng sibuk mengurusi rambutnya yang acak-acakan.

"Udah, deh. Gak ada guna juga kalian ribut-ribut. Mendingan kita seret aja di ke gudang sekolah. Kita buat dia jadi rempeyek."

"Lo bener, Jeng." Hanin membelalak. "Karmila, Lo ajak Sylvia. Pura-pura aja kalau mau ke kantin."

"Kenapa harus gue, sih? Kan, Lo yang sekelas sama dia, Jeng."

"Gak usah macem-macem Lo sama gue. Gue mager, Kar."

Karmila menyetujui perintah dari Hanin dan Rajeng. Ia langsung menuju kelas untuk menjemput Sylvia. Hanin dan Rajeng langsung menuju gudang sekolah.

Karmila nampak kebingungan saat sampai di kelas. Sylvia tidak ada di kelas. Hanya Bagaskara.

"Woy, bruntusan!" teriak Karmila dari pintu. Bagaskara tak menanggapi omongan dari Karmila.

"Lo gak punya kuping atau gimana, sih?" tanya Karmila berjalan mendekat ke arah Bagaskara.

"Lo ngapain sendirian di kelas? Gak ada kawan Lo ya?" tanya Karmila melihat seisi ruangan. "Nah, Lo aja duduk sendiri."

Bagaskara tak bergeming, ia masih berlanjut membuka lembaran buku yang ia pegang.

"Sombong amat, sih, Lo. Bruntusan aja belagu."

Karmila berjalan pergi menjauh. Bagaskara tak bergeming sedikitpun. Tatapannya tak beralih dari bacaan bukunya.

Ingat, Gas. Berbuat baiklah saat orang-orang memperlakukanmu tidak baik.

Seketika nasihat Bapaknya terlintas dalam benak Bagaskara. Sebuah nasihat yang membuat hatinya luluh.

"Kar," teriak Bagaskara sembari memandang Karmila, "Sylvia dipanggil sama Pak Laksama."

Karmila hanya menoleh kecil lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih. Bagaskara tak kecewa. Ia kembali melanjutkan bacaan bukunya.

Tak beberapa lama kemudian, saat Narendra menutup bukunya. Narendra mendatangi kelas dengan keadaan tersengal-sengal.

"Sylvia mana?" tanya laki-laki itu di dekat Bagaskara.

"Lo kenapa liatin gue kayak gitu?"

Bagaskara menatap Narendra dengan penuh harapan. Narendra tidak menggubris.

"Sinting!" ujar Narendra begitu saja kemudian pergi meninggalkan Bagaskara sendirian di kelas. Bagaskara bisa melihat jelas bahwa ada satu ekspresi takut dan khawatir di wajah Narendra. Bagaskara melanjutkan membaca buku yang lain.

***

"Saya harus mempelajari itu semua, Pak?" tanya Sylvia kepada Pak Laksama.

"Kamu, kan, terkenal pintar. Dulu waktu SMP kamu kan sering juara olimpiade, kan?" Pak Laksama memberikan beberapa buku olimpiade.

"Iya, Pak. Tapi, di SMA ini kayaknya saya mau berhenti aja, Pak."

"Lah, kok, gitu? Pokoknya kamu harus ikut olimpiade, ya!" titah Pak Laksama, "kamu coba beli buku-buku lain juga, ya. Kamu juga harus ikut lomba debat."

"Ada banyak beasiswa buat kamu."

"Tapi, Pak." sela Sylvia.

"Nanti saya yang anterin Sylvia beli buku-buku itu, Pak." ujar Narendra tiba-tiba di depan pintu.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang