SECTION 48. I'M SORRY

7 6 0
                                    

Sudah hampir tiga hari ini Narendra dan Sylvia tidak saling menyapa bahkan bertemu. Mereka selalu berusaha menghindari satu sama lain. Meskipun, Sylvia kerap kali mencuri-curi pandang saat berjalan tepat di depan kelas Narendra atau saat malam hari gadis itu selalu menelpon Hanin untuk menceritakan kejadian unik di kelas.

"Lo serius, Han?" tanya Sylvia dikamarnya saat menelpon.

"Iya," jawab Hanin di ujung sana dengan nada semangat, "Masa dia ngiket itu lo, apasih, yang di celana buat slot masukin ikat pinggang. Apaan namanya, Sylv?"

"Aduh.. apa, ya? Lupa juga gue, Han."

"Ya intinya itu, ya. Dia ngiket di meja belakang. Jadi, pas Sbastian si anak culun itu maju eh ketarik dong meja belakangnya. Mana meja gue lagi. Gila gak, sih? Gue juga baru tahu setelah kejadian."

"Terus..terus?" tanya Sylvia dengan nada semangat, "Kok di kelas bisa tahu kalau Narendra pelakunya, Han?"

"Ya lo tau sendiri lah," jawab Hanin kesal. Suara hembusan nafas Sylvia terdengar cukup jelas. Hembusan nafas yang memberikan kesan penasaran dan penuh tanda tanya. "Tommy berkhianat."

"Terus gimana? Narendra kena hukuman?"

"Pastilah."

"Si Tommy?"

"Ya ikutan kena hukuman juga, Sylv. Mereka kan sepakat sepaket!" jawab Hanin terdengar cukup jelas sedangkan bisikan membisu dari Sylvia diujung sana mengisyaratkan satu momen kebahagiaan yang tiada tara.

"Sylv," bisik Hanin tiba-tiba. Sylvia terdiam beberapa saat karena panggilan itu terdengar misterius dan memberikan kesan mendalam. "Lo suka sama Narendra, ya?"

"Gua gak bisa nemuin alasan kenapa gue harus membenci dia, Han." jawab Sylvia tanpa ragu dan penuh dengan api membara.

"Berati," Hanin terdiam sejenak, "Lo beneran suka sama dia?"

"Ya gitu, deh." jawab Sylvia diakhiri dengan senyuman tipis yang manis. Tak beberapa lama kemudian, Sylvia menutup panggilan suara lalu memutuskan untuk tidur dan berharap Narendra datang ke mimpinya.

***

Rajeng, Karmila, dan Hanin tengah duduk santai di depan kantor guru sembari celingak-celinguk ke arah siswa-siswi Akal Bangsa yang berlalu lalang di sekitaran depan kantor guru. Sylvia baru saja memasuki kantor dengan wajah getir dan takut. Lagi lagi ia dipanggil oleh guru dan guru yang sama dengan seperti sebelumnya; Pak Laksama.

Rajeng mencolek tangan Hanin mengisyaratkan sesuatu, "Lo haus gak?"

"Iya." jawab Hanin singkat. Karmila tampak serius dengan tatapannya yang tajam ke arah siswa-siswi yang berlalu lalang.

"Gue mau kasih tau ke lo orang," ujar Karmila tiba-tiba seketika saat ia akhirnya membalikkan badan menatap kedua temannya. "Gue yakin kalau Sylvia itu suka sama Narendra. Lo orang yakin gak?"

Rajeng dan Hanin langsung membisu. Mereka seakan bingung harus menjawab apa. Apa yang baru saja disampaikan oleh Karmila itu sudah diketahui oleh Rajeng dan Hanin. Rajeng dan Hanin sama-sama berpandangan. "Bagaimana ini? Rajeng telat banget!" pikir Hanin.

"Oh, iya? Jelas-jelas mereka itu musuhan, Kar."

"Itu dulu. Kita, kan, kemaren main ke rumahnya."

"Rajeng butuh kawan." jawab Hanin langsung menyenggol Rajeng.

"Iya, Kar. Gue butuh kawan mau ke rumah Narendra."

"Kenapa lo ngajak Sylvia? Kenapa gak yang lain? Lo mau ngapain ke rumah Narendra. Lo kan bukan sekelompok sama kita. Kita juga gak sekelas, kan?"

"Itu gak penting. Mendingan-" sela Rajeng yang kemudian diam saat Sylvia berjalan lesu ke arah mereka. Hanin dan yang lainnya langsung khawatir dengan keadaan Sylvia yang lesu tak bergairah.

"Lo udah dapet maaf dari Narendra?" tanya Rajeng.

Sylvia menggeleng, "Boro-boro gue dapet maaf. Dia malah ngasih ceramah yang panjang banget."

"Dia ceramah apaan, Sylv?"

"Itu gak penting. Sekarang ada yang lebih penting. Pak Laksama ngasih tau gue kalau besok gue harus ikutan olimpiade."

"Mendadak banget, sih."

"Iya makanya itu."

"Tapi, kita yakin pasti lo bisa ngelakuin ini semua, Sylv. Lo pasti menang!" ujar Hanin tersenyum lalu keempat gadis belia itu berpelukan layaknya teletubies.

"Iya. Gue emang harus memenangkan lomba olimpiade itu. Do'ain, ya!" Sylvia meminta dengan nada penuh harapan.

"Bentar-bentar. Kita masak-masak, yuk!" Karmila menyumbang ide, "Masaknya di rumah gue. Gimana?"

"Okedeh. Sore ini bisa gak? Malamnya gue mau istirahat, Kar. Jam sepuluh besok harus langsung ke lokasi olimpiade."

"Okedeh." jawab Karmila setuju. Rajeng dan Hanin tak membantah langsung mengiyakan ajakan itu.

Setelah pulang sekolah, mereka berempat langsung pergi menuju rumah Karmila. Rumah Karmila tidak terlalu jauh sehingga perjalanan mereka hanya memakan waktu beberapa menit. Rumah Karmila tampak jauh lebih besar dari rumah-rumah tetangga. Di depan rumah terdapat sebuah ruko tempat rumah makan. Ibu Karmila memang mendirikan usaha rumah makan di rumah makan, Ibu Karmila juga bertindak sebagai juru masak utama.

Keempat gadis itu langsung menuju dapur dan mulai agenda masak-masak. Semuanya berjalan dengan lancar dibawah komando Karmila. Sikap, kepribadian, dan keahlian sepertinya diturunkan dari ibunya yang memang sangat jago masak. Karmila sempat menyindir Hanin bahwa perempuan harus tahu macam-macam bumbu dapur agar kelak saat dites oleh calon mertua tak gugup.

"Masakan lo emang enak, Kar." Hanin memuji-muji masakan hasil kerja keras Karmila. "Gak sia-sia gue berkawan sama lo, Kar."

"Biasa aja kalik, Han." jawab Karmila tak meninggi. Karmila menjelaskan bahwa kemampuannya ini bukan semata-mata turunan dari ibunya, melainkan dari sebuah proses belajar yang lumayan panjang.

"Gue setiap hari dimarahin kalau masak, Han." Karmila bercerita, "mulai dari hambar-lah, asin-lah, kemanisan-lah, gak ada rasa-lah. Ini-itu. Ah, pusing tau!"

"Sumpah, ih! Gue juga gak bakalan bisa masak beginian." ujar Rajeng tak berhenti-henti mencicipi masakan Karmila.

"Kapan-kapan ajarin aku masak, ya, Kar." pinta Sylvia tenang. Keempat sahabat itu langsung menghabiskan masakan hasil karya Karmila yang dipuji habis-habisan oleh keempat sahabatnya.

***


                                                             Tuan yang sedang jatuh cinta!

                                                                                   -Prayoga R-

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang