SECTION 46. SCHOOL WORK

8 7 4
                                    

Narendra mengingati satu pemandangan unik di ujung sana; langit biru. Tentang dua ekor burung yang beterbangan beriringan menghempas semuanya. Sejak awal, Narendra sudah mengira bahwa ayahnya akan pergi seperti biasa. Tidak pulang ke rumah. Pagi ini; sekitar pukul sembilan, Karmila, Tommy, dan Hanin akan ke rumah Narendra untuk mengerjakan tugas kelompok. Narendra mengingat-ingat kembali kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu; di SMA Citra Bangsa.

"Pak Laksama gak nganterin kamu, Sylv?" tanya Narendra sembari celingal-celinguk melihat orang-orang sebaya berlalu lalang mengenakan seragam dari sekolah masing-masing.

"Enggak, Ndra. Gak bisa beliau." jawab Sylvia getir. Ia seakan tidak berani memandang wajah Narendra karena baginya hari ini tampak beda. Wajah Narendra tampak berseri-seri. Apakah Narendra juga merasakan kebahagiaan yang sama? Sylvia mencoba menerka-nerka.

"Aku belum siap," ujar Narendra terbata-bata dan sangat tiba-tiba. Sylvia tidak mengerti maksud dari ujaran itu. Bagi Sylvia, itu adalah sebuah misteri yang sedari dini harus ia pecahkan. Lagi-lagi tugasnya bertambah. 'Aku belum siap' yang dimaksudkan Narendra belum siap seperti apa? Gadis itu membayangkan yang tidak-tidak.

"Maksudnya?" Sylvia memberanikan diri bertanya tentang hal itu.

"Aku belum siap memulainya," Narendra terdiam. Wajah Ariska tiba-tiba menghantam pikirannya secara tiba-tiba. Kerinduannya menggebu-gebu. "Kita mulai seolah-olah kita tidak pernah kenal dan selama kita bertemu anggap saja kalau kita masih kenalan."

"Ndra," potong Sylvia dengan wajah gugup, "sejelas-jelasnya kamu bicara, aku belum bisa mengerti kejelasan maksud dari bicara kamu."

"Semua ini cuma soal waktu," jawab Narendra mengalihkan bicara. Narendra membiarkan Sylvia larut dan tenggelam bersama rasa penasaran. Sylvia memunculkan satu ekspresi kesal. Tangannya menyambar tas di dekatnya.

"Cuma soal waktu? Iya, waktu emang kenapa?" tanya Sylvia agak sebal. Tangan kanannya meraih sebatang pensil dan sebuah pena. Wajah Narendra menjemu pada satu titik yang mungkin hanya ia seorang yang bisa rasakan.

"Kamu harus bisa menafsirkan sendiri. Selamat bekerja dan semoga menang," ujar lelaki itu yang hanya dibalas anggukan kecil, "Kamu kompetisi apa emangnya?"

"Ini cuma soal waktu." desis Sylvia meledek. Narendra getir dan bertanya-tanya. "Ntar kamu juga bakal tahu aku ikut kompetisi apa!" tutup Sylvia yang langsung berlalu menuju kelas pelaksanaan kompetisi.

Narendra bisa memperhatikan beberapa siswa sekolah Citra Bangsa yang sedang melaksanakan olahraga sepak bola. Beberapa siswi berwajah bening tampak sedang berlatih melakukan gerak-gerak yang Narendra bisa pahami itu sebuah gerakan cheerleaders. Tak beberapa lama kemudian, seorang kenalan Narendra mendekatinya dan mengajak ngobrol membahas sekolah. Bel sekolah Citra Bangsa tampak berbunyi cukup keras. Siswa-siswi Citra Bangsa menghentikan kegiatannya lalu mulai memasuki kelas masing-masing.

Narendra bosan dengan apa yang sedang dilakukannya, berdiam diri seakan-akan dirinya sungguh sangat tidak berguna. Matanya menelisik tajam ke arah kelas yang sedang digunakan pelaksanaan kompetisi.

"Dia lagi kompetisi apa, sih?" pikir Narendra bertanya-tanya. Penjagaan kelas cukup ketat dengan tiga orang pendamping kompetisi. "Matematika? IPS? Biologi? Fisika? Karikatur? Cerita pendek? Nge-gambar?" sambungnya bertanya-tanya.

Lelaki itu baru saja berpikir tentang menggambar? Jika benar kompetisi itu adalah kompetisi menggambar, sebagus apakah gambaran Sylvia. Narendra semakin penasaran dengan hal tersebut.

"Gambaran dia kayak apa, sih? Seharusnya mah kalau soal nge-gambar, gue jagonya!" pikir Narendra sembari mengingat kembali jejak-jejak pensil dan krayon di atas kertas gambarnya. Narendra sangat menyenangi kegiatan menggambar bahkan sejak kecil. Gambar abstrak dan tidak jelas menjadi model penggambaran paling ia minati. Baginya; sebuah seni gambar adalah soal ketidakjelasan yang sebenarnya siapa yang paling berhak mengetahui maknanya adalah si penciptanya sendiri. Orang-orang tidak berhak memiliki andil dalam setiap gambaran karya seseorang. Mereka hanya berhak menikmati dan mengagumi. Narendra memegang prinsip ini dan hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Pemikirannya yang sampai jauh ke sana telah membuatnya tidak menyadari bahwa Sylvia sudah berada di belakangnya sejak tadi.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang