SECTION 76. MENTAL DISORDERS

6 3 0
                                    

Bagaskara menerima pesan singkat dari sebuah nomor yang tak dikenal. Bel sekolah berbunyi cukup keras ketika beberapa siswa dan siswi hampir memasuki gerbang sekolah. Pak Laksama dan Kepala Sekolah berkoordinasi  untuk melakukan tata tertib sekolah. Beliau berdua akan mengecek kelengkapan pakaian siswa dan siswi Akal Bangsa.

"Tolong perhatikan Narendra, ya. Beberapa malam ini dia sering menangis tanpa sebab." gumam Bagaskara memperhatikan isi pesan singkat itu. "Dia juga sering tidur tanpa sebab dan bisa tidur dimana saja. Narendra tipikal orang yang tidak bisa tidur jika tidak di atas kasur."

Bagaskara melihat ke arah bawah dan mendapati nama Bi Ratih sebagai pengirim pesan. Bi Ratih memperkenalkan diri di akhir pesan. Bi Ratih sengaja meminta kontak Bagaskara dari Narendra untuk memastikan keadaan Narendra di sekolah. Bagaskara memilih untuk tidak membalas pesan itu.

"Bagaskara!!!" teriak Pak Laksama memperhatikan Bagaskara yang tak kunjung memasuki gerbang. Bagaskara langsung berlari karena ketakutan apabila sampai dirinya dimarahi oleh Pak Laksama.

Bagaskara memasuki gerbang sekolah. Dirinya bisa menatap dengan jelas siswa-siswi Akal Bangsa yang berkerumun sebelum memasuki kelas untuk memulai pelajaran pertama hari ini. Satu pemadangan unik yang terjadi di ujung sana. Bagaskara bisa melihat bahwa seorang siswa sedang berdiri menatap kosong di pinggi pagar pembatas lantai dua sekolah Akal Bangsa. Lelaki berjerawat itu langsung mengenali bahwa di atas sana adalah 'Narendra'

Bagaskara langsung berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Beberapa guru berjalan yang Bagaskara bisa pahami bahwa guru-guru itu baru saja dari tempat Narendra.

"Bagaskara, kamu harus hati-hati!" ujar seorang guru, "Narendra ngamuk-ngamuk gak jelas tadi. Kayaknya dia udah rada gila, Gas."

Bagaskara sangat tidak setuju dengan ujaran yang baru saja dilontarkan oleh seorang guru terhadap Narendra. Tiba-tiba suara meja terjatuh dari lantai dua mengenai lapangan menimbulkan suara yang begitu keras.

Semua tahu bahwa itu adalah perbuatan Narendra. Wajahnya memerah tak karuan. Semua merasa bersyukur bahwa untung saja tidak ada orang yang berada di sekitar jatuhnya meja dari lantai dua sehingga tidak ada korban atas kejadian ini. Narendra langsung membuka pintu kaca jendela kelas lalu mendobraknya keras-keras hingga kaca jendela retak bahkan pecah. Narendra seakan tidak bisa ditahan lagi. Ia seperti seorang yang sedang kerasukan setan.

Narendra berlari dengan bebas di koridor lantai dua tepat Bagaskara dan para guru berdiri. Narendra bahkan tidak peduli dengan kepala sekolah yang berdiri tepat didepannya. Narendra menuruni anak tangga lalu berlari menuju lapangan. Dengan perasaan dan rasa puas serta bahagia; Narendra berputar-putar merentangkan tangan sembari tertawa menggelikan. Tawanya yang begitu khas membuat siapapun merasa kasihan dan iba dengan keadaan Narendra.

Sylvia melihat dari kejauhan bersama Hanin dan Rajeng. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang Narendra perbuat.

"Mungkin dia stres gara-gara ditinggalin sama ayahnya!"

"Dia memang rada gak jelas juga dari dulu."

"Percuma ganteng tapi oleng. Kasihan banget masa depannya."

"Teriak-teriak? Banting meja dan kita harus sepakat kalau dia memang benar-benar sudah gila."

Kepala sekolah mendekati Pak Laksama lalu membisiki sesuatu yang hanya mereka berdua yang tahu.

Tommy dan Prasetya berlari menuju tengah lapangan. Mereka berdua mencoba menghentikan kelakukan Narendra diluar batas. Ketiganya yang berada di tengah lapangan seolah menjadi tontonan gratis di pagi hari. Narendra bukannya menuruti ajakan dari kedua temannya justru melawan.

"Lo berdua jangan macem-macem sama gua, ya! Anjing lo orang berdua."

Prasetya dan Tommy terkejut dengan ujaran Narendra yang sangat aneh, "Ndra?"

"Gue tahu kalau lo orang berusaha ngebunuh gue dan bakal ambil alih rumah gue! Gue juga tahu kalau lo orang bakal menyiksa gue sampai mati! Tapi, inget satu hal."

"Lo orang gak bakal bisa melakukan itu semua, Anjingggg!"

"Ndra," Prasetya mencoba menyadarkan Narendra. Siswa-siswi lain hanya melihat. Kepala sekolah beserta guru hanya memandang tak melakukan apa-apa.

"Lo orang masih inget pas kejadian malam itu, ha? Lo inget DVD yang lo temuin Tom?"

Tommy mengingatnya dengan jelas; malam kesempurnaan dan kenikmatan. "Lo orang gak tahu kalau di rumah gue ada CCTV-nya! Jelas di video itu terlihat lo berdua lagi terangsang dan melakukannya secara manual!"

"Gue bisa sebar video itu ke sosial media!"

"Ndra," Prasetya mencoba berbicara.

"Kenapa? Lo takut, Pras? Mendingan lo berdua menjauh dari gue!" ujar Narendra agak sempoyongan, "cepet pergi dan jangan halangin gue."

"Cepet pergi!!!" teriak Narendra. Prasetya dan Tommy langsung berlari meninggalkan Narendra. Beberapa detik kemudian; Narendra mulai mengamuk tak jelas. Remaja itu merubuhkan beberapa motor yang terparkir, merusak beberapa pot bunga, dan memecahkan kaca ruang guru. Narendra benar-benar tidak bisa dihentikan.

Narendra duduk santai sembari menangis setelah melakukan kegilaan di sekolah pagi ini. Jam pelajaran bahkan berlalu sia-sia akibat semua warga Akal Bangsa berfokus kepada Narendra yang sedang tidak seperti biasa. Kepala sekolah dan yang lainnya tidak mampu menafsirkan apa yang sedang dilakukan Narendra. Narendra kemudian dipaksa oleh beberapa pria yang merupakan tukang kebun sekolah.

Narendra merasa lelah sehingga membiarkan tubuhnya diangkat. Narendra kemudian didudukkan di sebuah kursi dan sangat tiba-tiba sebuah jarum suntik penenang melesat merasuki jiwa Narendra paling dalam. Seketika remaja itu menjadi lemah lalu jatuh tersungkur.

***

Bagaskara dan Sylvia berlari sepanjang koridor sebuah bangunan yang hampir semua sisi didominasi oleh cat berwarna putih. Mereka berdua diminta oleh Bi Ratih untuk datang ke salah satu rumah sakit jiwa terbaik di kota ini.

Bi Ratih sedang menemui dokter ketika Sylvia, Narendra, dan Bagaskara duduk bertiga memandangi danau buatan di rumah sakit jiwa sebesar ini.

"Gue kangen Ariska, Gas." ujar Narendra tampak bersedih. Bagaskara mencoba menenangkan Narendra. Sylvia merasa iba dengan Narendra yang sudah mengenakan pakaian khas pasien rumah sakit jiwa.

"Ibu tiri gue juga udah bersiap ngebunuh gue juga, Gas." ujaran itu keluar dari mulut Narendra.

"Sylv dan Bagaskara," Narendra berdeham sejenak, "Kapan-kapan gue ajak kalian kenalan sama temen baru gue. Anak baru di Akal Bangsa. Namanya Ricky Andhershone."

Sylvia mencoba mengingat bahwa selama ini tidak ada siswa baru di sekolah. Sylvia juga bertanya-tanya seputar ibu tiri yang Narendra katakan. Bi Ratih memanggil Sylvia yang sedang termenung dekat pintu.

***

"Ibu yakin kalau anak majikan ibu memiliki ibu tiri?" tanya dokter rumah sakit jiwa dengan wajah penasaran dan tertantang.

"Ariska? Kalian kenal?"

"Saya sempat mengikutinya di rumah sakit, Pak."

"Kamu coba cari Ariska itu ya!"

"Narendra memangnya kenapa, Dok?" tanya Sylvia dengan rasa penasaran membuncah.

"Bisa jadi dia mengidap skizofrenia. Mereka yang terkena skizofrenia umumnya sulit membedakan khayalan dan kenyataan. Bisa saja orang-orang yang sering ia sebutkan adalah khayalannya sendiri."

"Ya, memang sulit dideteksi kondisi skizofrenia. Saya akan bertanya kepada kalian terkait kondisi Narendra selama ini."

"Baik, Dok." jawab Bi Ratih.

Bi Ratih terdiam sejenak tak percaya dengan apa yang sedang dialami oleh Narendra. Sylvia mencoba menenangkan kesedihan Bi Ratih. Sylvia mencoba memikirkan strategi kedepan untuk membantu Narendra agar segera pulih dan membaik.

***

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang