SECTION 60. I'LL JUST DREAM ALL DAY

14 4 7
                                    

Narendra berjalan sepanjang yang ia bisa. Bi Ratih tampak kebingungan dengan tingkah Narendra yang sedari tadi berjalan bolak-balik berjalan dari pintu kamar utama depan sampai pintu sebuah ruangan atau lebih tepatnya sebagai ruang kerja ayahnya. Perempuan paruh baya itu mengamati sekilas anak laki-laki yang berada di depannya itu yang mengenakan kaos putih polos serta celana bahan katun yang ujungnya berada tepat di lutut.

"Kamu ngapain, Ndra?" tanya Bi Ratih sembari memotong wortel yang ingin ia masak sop nantinya. Narendra hanya bisa tersenyum sembari memandang penampakan dalam rumah yang ia sendiri kagum dan takjub. Narendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya lalu melirik sejenak ke arah Bi Ratih, "Mateng nya masih lama, Bi?"

"Mungkin satu jam lagi," jawab Bi Ratih terkekeh, "Bibi masak banyak soalnya. Kenapa, Ndra?"

"Aku akan ke dapur satu jam lagi berarti, ya?" Narendra sumringah sedikit sebelum akhirnya ia lenyap di telan pintu kamarnya sampai-sampai Bi Ratih menggelengkan kepalanya tak tahan melihat tingkah pemuda yang siap beranjak dewasa itu. Narendra meraih kursi mininya ke arah dekat jendela kamar yang secara langsung bisa melihat dunia luar dengan leluasa.

"Jendela ini terlalu kecil untuk aku melihat betapa agungnya dunia ini," ucap Narendra sejenak menikmati udara yang semilir. "Seandainya dunia ini dapat kugenggam maka tertunduklah semua manusia kepadaku."

"Manusia? Berapa jumlah manusia di dunia ini? Sekitar enam milyar, kan? Bukan!," Narendra bertanya-tanya dengan mimik bak seorang peneliti dunia, "Siapa yang bisa menaklukan dunia sebesar ini? Tuhan?"

"Tentu saja Tuhan-lah yang bisa menguasai dunia ini. Tuhan-lah sang penguasa tertinggi."

"Tidak-tidak. Aku tidak sedang membahas atau memikirkan ranah spiritual. Ini soal tentang kekuatan tertinggi dalam hal kemanusiaan meskipun kita tidak bisa melepaskan utuh peran Tuhan di dalamnya. Ini adalah soal manusia nomor satu, ya. Nomor satu."

"Manusia yang memegang peranan penting dalam tatanan dunia semacam hakim agung dalam ranah kemanusiaan."

"Tetapi, bagaimana bisa mengalahkan seluruh manusia di bumi ini?"

"Apakah aku harus menjadi presiden? Belum tentu," pikir Narendra kuat-kuat. Pola pikirnya seakan bercabang terus menerus.

"Menjadi presiden negeri ini belum tentu bisa mengalahkan semua manusia di bumi ini?" Narendra membatin lalu memikirkan 'nama presiden' yang sedang memimpin negeri ini.

"Organisasi dunia? Bagaimana aku bisa sampai di posisi tertinggi dalam organisasi dunia? Hmm.. itu semacam khayalan khas anak-anak yang ingin berkunjung ke 'wonderland', kan?"

"Aku harus bisa mengalahkan sekitar enam milyar manusia di bumi ini?" pikir Narendra terus-menerus. Narendra seakan mendekam dalam sebuah penjara kebuntuan. Pola pikir nya semakin bercabang sehingga bermunculan ide-ide yang tak biasa. Narendra harus mengakui bahwa dalam sekejap ia merasa seperti menjadi dirinya sendiri.

Narendra merasa bahwa dirinya tidak perlu merasa bahagia di depan khalayak meskipun ia sedang gundah ataupun sebaliknya. Ketika pikiran bercabang ini hinggap, ia merasa lega. Ia seakan bisa menunjukkan sisinya yang nyata tanpa harus menutupi dengan hal lain.

Matanya masih berseliweran melihat burung-burung yang secara pasti bergantian hinggap di kabel yang menjulur sepanjang jalan. Rerumputan yang berseok-seok seakan menari dengan indahnya.

"Ah, itu sangat sulit!," Narendra berpikir sejenak, "Aku tidak bisa menaklukkan seluruh manusia di dunia tetapi aku bisa menciptakan manusia yang semuanya akan tunduk kepadaku." simpul Narendra mencermati setiap pola pikirnya yang bercabang-cabang. Narendra langsung mengambil buku 'notebook' nya yang kertas serba putih polos dengan sampul berwarna hijau lumut yang didesain sengaja dalam bentuk kusam. Tetapi, itu semua seakan menjadi nilai jual tinggi terhadap notebook. Narendra juga meraih dua bolpoin warna hijau dan biru.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang