SECTION 47. ETHICS

5 7 0
                                    

Sylvia berjalan sepanjang lorong sekolah dengan langkah gontai. Matanya seperti mata senapan yang siap menembus batas sasaran. Sembari mengulum permen merah berbentuk kaki, Sylvia mencoba mencari keberadaan Narendra.

"Lo masih nyariin Narendra?" tanya Rajeng yang berada di sampingnya. Rajeng juga menunjukkan ekspresi yang sama. Keduanya menampilkan ekspresi yang seolah-olah khawatir.

"Halo.. cantik," ujar Anton secara tiba-tiba yang sebelumnya ia sembunyi di balik tiang penyangga. "Sendirian aja."

"Mata lo buta apa?!" bentak Rajeng tanpa rasa takut. Anton bergeming.

"Kasar amat, ih," Anton mulai memberanikan diri agak mendekati wajah Rajeng, "Tapi, gakpapa. Gue suka sama yang kasar-kasar. Hahah. Garem, kali."

"Najis!" singut Rajeng yang jijik dengan tingkah Anton yang sok galak, sok lucu, dan sok ganteng padahal kayak pantat monyet. Canda pantat monyet.

"Minggir," Sylvia mulai bersuara. Anton merasakan satu getaran yang unik saat Sylvia bersuara. Secara refleks, Anton langsung menyolek dagu lancip Sylvia. Rajeng yang seakan membela langsung mendorong kuat tubuh Anton hingga terjengkang ke belakang. Laki-laki sok jagoan itu langsung bangkit dengan wajah sangar dan tubuh tegap.

"Cuma laki-laki banci yang ngelawan sama perempuan," sindir Rajeng menghantam mental Anton. Tak ada ekspresi takut dari wajah Rajeng dan Sylvia.

"Gue gak peduli mau lo nyebut gue banci kek, laki kek, apa kek. Terserah. Tapi, kalau emang lu berani sama gue," ujar Anton langsung mencengkram kerah Rajeng, "Gue bakal ngehajar lo. Sampe mati."

"Apaan, sih?" Sylvia mencengkram tangan Anton. Siswa-siswi lain tidak peduli dengan urusan tiga orang yang sedang bermasalah itu.

"Anton!" teriak Bagaskara yang ternyata sudah berdiri di belakang sana. Dengan gagah berani, pria berjerawat itu mendekati Anton, Sylvia, dan Rajeng. Siswa-siswi lain tampak menganga melihat tingkah Bagaskara yang seolah menjadi pahlawan di pagi hari.

"Mau gue beliin apa di kantin?"

Anton melirik tajam, "Kayak biasa aja."

"Lepasin mereka dulu!" titah Bagaskara. Anton merasa geli dan risih dengan sikap Bagaskara yang begitu sok berani. Tetapi, secara sadar ia melepaskan cengkramannya di kerah Rajeng lalu membiarkan Rajeng dan Sylvia.

"Yuk, Sylv." ajak Rajeng sambil menggandeng tangan Sylvia cukup kuat. Sylvia masih bisa mengarahkan pandangannya ke arah Bagaskara yang sedang diintimidasi oleh Anton dan tak beberapa lama Bagaskara melangkah pergi ke arah kantin.

Di kelas; Sylvia langsung duduk di kursinya sedangkan Rajeng ikut bergabung dengan Siska dan kawan-kawan perempuan yang lainnya untuk membahas masalah drama korea yang sedang tayang. Beberapa anak laki-laki sedang mengurusi sesuatu. Sylvia sebenarnya ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan. Tetapi seolah dirinya telah terpaku dengan sempurna di kursinya. Anak laki-laki itu sedang mengurusi sesuatu di dekat kursi milik Bagaskara.

"Udah jam enam lima puluh lima," teriak Bayu cukup keras. Kumpulan anak laki-laki itu langsung kembali ke tempat duduknya masing-masing.

"Bay," colek Sylvia kepada Bayu yang duduk didepannya, "Lo orang tadi ngapain di sana?"

"Ngasih pelajaran Sylv," jawab Bayu dengan nada bangga, "Biar dia tau rasa."

"Siapa?" tanya Sylvia lagi. Belum sempat Bayu menjawab pertanyaan dari Sylvia, Pak Laksama sudah memasuki kelas membawa sebuah piala cukup besar ke dalam kelas. Terdengar derap langkah kaki berlari sepanjang lorong, Bagaskara muncul dari balik pintu dengan keadaan nafas tersengal-sengal. "Saya boleh masuk, Pak?"

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang