SECTION 65. MR. MUSNI

5 4 0
                                    

Bagaskara duduk sendirian di sebuah meja beton areal taman sekolah. Dedaunan dari beberapa pohon rindang tampak berseok-seok mengikuti arah angin yang bertiup. Siswa-siswi Akal Bangsa tampak asyik dengan rutinitas bersama mulai dari bermain bola basket, sepak bola, mengerjakan proyek organisasi, maupun makan di kantin.

Bagaskara bisa menyimpulkan bahwa dirinya seorang-lah yang merasakan kesepian. Dalam sejenak; melalui angannya. Laki-laki dengan wajah bruntusan itu meminta jawaban kepada alam mengenai sebenarnya semua ini berasal darimana? Bagaimana awal mulanya? Apakah semua ini adalah kesalahannya?

"Jika kau bisa tunjukkan kesalahanku di masa lalu," Bagaskara membatin, "Tolong kau kembalikan aku ke masa lalu itu. Aku tak akan melakukannya. Kumohon!"

Suara rintihan dedaunan makin menjadi-jadi dan suara teriakan siswa-siswi Akal Bangsa semakin menambah keriuhan yang terjadi. Semua ini tentunya menjadi alunan paling mengerikan bagi Bagaskara. Tanpa disadari; ada setetes air mata jatuh yang kemudian mengenai kulit tangan kanan Narendra.

Perlahan matanya menelisik ke beberapa siswa yang ia lihat sedang berjalan kaki. Bagaskara sangat mengenali wajah-wajah itu.

"Merekalah sumbernya. Mereka itu jahat!" Bagaskara membatin dengan dengungan paling lengking. Otaknya seakan memberikan suatu memori secara tiba-tiba; sebuah memori betapa menyakitkan menjadi Bagaskara ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sylvia, Randy, Bayu, Cakra, Gina, dan semuanya adalah orang-orang jahat bagi Bagaskara.

Bagaskara tersenyum lebar, "Aku ingin mereka semua mati."

Bagaskara bahkan tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Ia merasa bahwa di otaknya telah terpenuhi kebencian, kemunafikan, balas dendam, dan kejahatan. Bagaskara mencondongkan wajahnya ke arah depan dengan maksud yang sama sekali tidak bisa dipahami.

Bagaskara memejamkan mata perlahan dan dalam roman angannya yang berisikan aroma balas dendam. Bagaskara seakan ingin membalas dendamnya melalui otaknya yang lumayan berisi. Suara rintihan dedaunan bisa menjadi perantara jiwa Bagaskara melang-lang buana membawa mereka yang ia benci ke sebuah tempat paling misterius.

Bagaskara mengenakan pakaian serba hitam dan sebuah topeng dengan motif garis yang didesain unik tapi memiliki kesan angker dan menyeramkan. Ia mengelilingi tiang-tiang yang menjulang tinggi. Terdengar suara rintihan kesakitan, permintaan maaf, jeritan, tangisan dari mereka yang Bagaskara benci. Bagaskara telah berhasil membawa mereka ke dalam ruang bawah tanah ini; sebuah tempat tersembunyi yang tak bisa dijamah manusia manapun.

Bagaskara mengikat mereka di masing-masing tiang dengan ikatan yang cukup kuat. Bagaskara menghampiri satu persatu tanpa membuka identitas siapa sebenarnya dirinya. Manusia-manusia lain yang terikat di tiang tampak tak berani melihat pria berpakaian tertutup itu.

"Lo siapa?" tanya Randy yang memiliki paras rupawan. Ia sedikit berani melihat pria berpakaian tertutup itu. Bagaskara mengambil sebuah kertas dan bolpoin lalu menuliskan sesuatu. Bagaskara sama sekali tak mengeluarkan suara apapun walaupun hanya sekadar bersin. Randy membaca tulisan itu yang berisikan sebuah pesan kematian.

Bagaskara berjalan menyusuri ruangannya dan berdiri pada suatu titik pusat tertentu pada bidang alas bermatras hijau. Tangan kanannya seperti menarik sebuah tuas bertali dan tangan kirinya menunjuk Randy. Seketika sebuah tirai menggulung ke atas dan di baliknya terdapat sebuah drum besar yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga cocok dan pas digunakan untuk memasukkan manusia ke dalamnya.

Mereka yang terikat makin histeris ketika tahu bahwa drum besar yang sudah dimodifikasi itu berisikan air mendidih dan tepat dibawah drum terdapat sumber bara api yang derajatnya bisa melelehkan siapapun yang mengenainya. Bagaskara sudah bisa menyimpulkan apa yang sekarang ada dipikiran para tawanannya.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang