SECTION 6. HISTORY

32 13 0
                                    

Ada yang bilang kalau hidup itu sebenarnya dua kali. Yang pertama adalah saat ini kita rasakan dan yang kedua saat kita menyadari kalau kita benar-benar hidup. Narendra adalah tipe manusia yang enggan berkomentar banyak seperti orang-orang. Ia hanya sedikit melirik lalu menyudahinya. Semudah itu. Semudah membalikkan telapak tangan. Tubuh idealnya kini menyatu dengan guling spesial berwajah karakter captain America, selimut lebar dengan corak hijau bergambar Hulk.

Corak monokrom yang menjadi latar belakang dinding kamarnya membuat hatinya sejuk dan damai. Berjejer dengan rapih bingkai-bingkai tokoh-tokoh dunia yang terkenal seperti Abraham Lincoln, Nikola Tesla, Bill Gates, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, Affandi, Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lainnya. Sulit menebak tentang siapa sebenarnya tokoh yang dikagumi olehnya. Lebih mengejutkan ternyata Narendra punya kekhasan sendiri terhadap pemasangan bingkai-bingkai tersebut. Tokoh-tokoh sekaliber Abraham Lincoln, Soekarno, dan lainnya terletak di dinding agak atas hampir mendekati atap. Bahkan nyaris berdempetan. Hanya ada satu foto yang digantung setinggi mungkin; fotonya yang menampilkan wajahnya sendiri sembari tersenyum bebas tanpa hambatan. Tokoh-tokoh macam Raisa, Isyana Sarasvati, Chelsea Islan, Reza Rahadian, Raditya Dika berjejer agak menyamping serong di dinding sebelah.

"Haus banget." ujar Narendra ketika ia membuka pintu lemari es berukuran mini. Ia menyambar sebotol minuman bersoda bermerk. Tiga tegukan meredakan kehampaannya. Kembali ia menatap layar monitornya. Menjelajahi seluruh website tanpa pamrih. Hanya ada satu hal yang harus ia tahan. Ada satu website yang sebenarnya tidak boleh ia jelajahi. Website ini hanya bisa dibuka oleh segelintir orang.

"Tidak ada yang tahu kalau di ponsel gue ada VPN." gumam Narendra.

"Bi Ratih . . ." teriak Narendra tiba-tiba. Dahinya mengerut seperti mengharapkan sesuatu. Jemarinya menggelitik mengetuk meja dengan cepat secara bergantian menantikan jawaban. Tak ada jawaban sama sekali dari pembantu rumah tangganya; itu sesuai dengan apa yang ia harapkan. 

"Udah gak ada orang. Bisa aku pastikan rumah ini sepi." tandas Narendra berapi-api seperti seorang yang bersiap menerima penghargaan, "malam ini saja. Cukup sekali saja." Narendra mengimbuhkan dengan nada yakin meskipun ada memori yang menjamah nadinya tentang perbuatan keji ini sudah berulang kali ia lakukan; kesendirian tanpa ada yang tahu. Sejenak telapak tangan Narendra berlabuh di suatu tempat yang hanya ia seorang tahu dimana letaknya.

Ponselnya yang berada di samping laptop berdering sangat kencang ketika Narendra mulai mengetikkan sesuatu di address bar.

Pornh...

Narendra mengamati perlahan layar ponselnya. Sebuah nama terpampang; nama yang begitu lumrah ia temui saban hari; Bi Ratih.

"Halo... Ada apa, Bi?" Narendra memulai dengan gaya bicara malas.

"Makan malam sudah siap di meja makan. Bibi tadi buru-buru karena Raka sakit. Maaf, ya."

"Iya, Bi. Gakpapa. Semoga baik-baik aja, ya. Raka anak bibi nomor berapa?"

"Tiga, Ndra." jawab Bi Ratih terburu-buru. Ia masih berlarian menyusuri jalanan menuju kediamannya. Sesaat kemudian, tak ada lagi suara Narendra.Narendra mematikan panggilan dari Bi Ratih.

Narendra melanjutkan kembali hal yang ingin ia lakukan tetapi tertunda. Sedikit ada rasa penyesalan dalam benak Narendra karena akan berbuat kesalahan yang sama. Berulang. Tanpa henti.

"Malam ini terakhir . . . Laki-laki wajar kan ngelakuin ini?" tanya Narendra dalam hati.

Narendra berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Narendra berjanji bahwa malam ini adalah malam terakhirnya berbuat hal memalukan ini. Ia sudah bertekad sekuat baja. Sesaat Narendra mulai mengetik kembali melanjutkan alamat website yang tertunda tadi; tiba-tiba suara pintu depan terdengar jelas. Narendra muram bukan kepalang. Kesabarannya seakan-akan sudah hampir habis.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang