SECTION 20. BITCH

28 10 0
                                    

Satu-satunya cara untuk mensyukuri hidup adalah tidak mengeluh terhadap apapun yang terjadi; semudah itu berbicara, nyatanya sangat sulit untuk dilakukan. Malam ini; dua malam sebelum pelaksanaan pilkada serentak. Narendra tengah berbincang dengan dirinya sendiri. Menafsirkan berbagai hal yang singgah ataupun hal lainnya yang luput dari inderanya. Di papan tulis hitamnya; Narendra mencoret kumpulan kata yang padu. Kumpulan kata itu kemudian menjelma menjadi satu paragraf yang bernyawa. Sendu malam ini; demikianlah Narendra menamai paragraf tersebut.

"Semesta tidak mau tahu tentang apa yang sedang terjadi," Narendra berbicara dengan nada lantang, "semua kebijaksanaan harus segera terealisasi ke setiap penjuru negeri. Badan pemersatu semesta telah mengeluarkan dekrit. Bukan mudah memberikan satu keputusan yang berdampak pada semesta."

"Aku saja tidak sanggup mengemban amanah tersebut," lanjut Narendra merangkai kalimat-kalimatnya, "pemegang tahta penting semesta memang menjadi satu tempat tertinggi yang diidamkan oleh setiap manusia. Tetapi, mungkin hanya aku yang tidak berkeinginan untuk mendapatkannya? Ah, nyatanya tak ada bukti nyata mengenai hal tersebut."

"Aku harus mengumpulkan macam-macam bukti akurat. Penelitian forensik menjelaskan secara detail tentang kasus pembunuhan pemimpin negeri paling disegani di semesta itu," Narendra mengembara membanggakan diri, "aku harus segera menyelematkan semesta. Ah, aku? Siapa aku? Mengapa harus aku?"

"Mengapa juga tak boleh aku? Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama, bukan? Ketakutan-ketakutanku harus kutepis kubuang jauh-jauh. Semoga akulah sebagai orang terpilih. Semesta akan damai bersama pijakan-pijakan mereka yang terlepas dengan paksa."

Narendra beralih menuju kasurnya. Dari tempat tidurnya itu ia melihat dengan takjub kumpulan pesona kalimatnya di papan tulis hitam. Narendra seakan berpuas diri. Tetapi, ada satu keganjilan yang harus ia selidiki; manusia-manusia yang bermigrasi ke negeri paling disegani di semesta. Sejenak kemudian; remaja berwajah rupawan dan berbadan bidang itu meneteskan air mata. Terjadi secara tiba-tiba. Tak ada dorongan. Cukup satu ketukan membuat semuanya berubah menjadi keheningan yang tak bisa dimengerti.

Detak jam terus berdenting. Jemari Narendra bergerak-gerak kecil mengikuti bunyi dentingan jam yang berketuk-ketuk. Ada satu irama perangkai yang kemudian ditangkap indera Narendra sebagai suatu keberuntungan. Sebuah keberuntungan yang mungkin saja tak bisa orang lain dapatkan. Matanya menelisik jauh ke jendela memandang hamparan langit malam yang menggelegar. Bintang-bintang kecil bertebaran dengan pesonanya masing-masing.

Satu pandangan jauh yang kemudian buyar saat Narendra menyadari ada satu pesan masuk. Dengan sigap, Narendra meraih gadgetnya dan mendapati satu nama; Ariska. Pesan itu hanya berisi satu emot senyum. Narendra tak bisa menjelaskan maksudnya. Buru-buru ia langsung menelpon pacarnya itu; tak ada jawaban. Bahkan hampir empat kali Narendra menelpon. Pikirannya melayang membayangkan beragam hal buruk yang mungkin saja sedang terjadi. Pertama, Narendra menafsirkan bahwa emot senyum itu hanya sebuah ekspresi biasa dari Ariska tanpa maksud apapun. Kedua, Narendra memikirkan lebih dalam bahwa ada pesan tersembunyi yang berada di balik emot senyum itu. Ketiga, Narendra mengira bahwa pacarnya itu ingin meminta putus. Keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan seterusnya. Dengan sangat cepat, Narendra melepaskan semua pikiran buruknya dan menggantinya dengan satu balasan; emot tertawa. Hampir cukup lama, Narendra menantikan balasan dari Ariska. Nyatanya semakin ditunggu, yang ditunggu tak pernah tiba. Narendra membiarkan semuanya berlalu begitu saja meninggalkan satu pertanyaan yang tak bisa dijawab dan satu penantian balasan yang tak kunjung didapatkan.

Tok..tok..tok..

Narendra menghampiri ruang tamu untuk membuka pintu yang sebelumnya terdengar ketukan berulang. Narendra membukakan pintu yang lebar itu. Seseorang berada di baliknya dengan posisi membelakangi. Tubuh semampai. Rambut tergerai. Pakaian yang serba mini. Sebuah tas mahal yang dijinjing. Aroma khas wanita yang bahkan Narendra tidak tahu wewangian macam apa yang dipakai. Bertubuh molek. Sepatu berjenjang. Seketika wanita itu membalik dengan satu ekspresi yang mungkin tak pernah Narendra lihat sebelumnya; ekspresi kebencian.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang