SECTION 16. CIGARETTE

18 11 0
                                    

Langit malam menghitam pekat. Titik-titik bintang bertebaran mirip kumpulan kismis di atas lingkaran loyang kue kukus. Semilir angin mengembara ke setiap penjuru. Sejuk, damai, harum, dan menggoda.

"Udah selesai?" tanya Narendra sembari mengelap rambut dengan handuk birunya. Hanya bermodalkan satu boxer Spongebob Squarepants yang menutupinya, tubuh Narendra terlihat dengan jelas yang bidang dan cukup kekar.

"Udah," jawab Prasetya dan Tommy serempak, "Ndra, udah jam sepuluh malem." Prasetya menambahkan. Tommy terlihat asyik dengan permainan game-nya.

"Kalau keluar rumah?" Narendra berpikir sejenak. Ia duduk di kasurnya sembari memandang langit-langit kamar, "kita ke rooftop aja, yuk!"

"Boleh. Nikmatin malam." tandas Tommy.

Bagus dan Narendra dengan segera menuju dapur membuat tiga gelas jus mangga. Tommy mengendarai motornya menuju supermarket membeli beberapa camilan.

***

"Lo beli pesanan gue, kan, Pras?" tanya Tommy yang menyadari bahwa Prasetya sudah kembali dengan membawa dua bungkus plastik berlabel supermarket terkenal.

Prasetya menikmati jajanan ringannya dengan riang gembira. Ia memang mendambakan ini semua. Jajanan itu adalah salah satu kegemarannya. Prasetya bahkan sampai tidak menawarkan lagi kepada Narendra maupun Tommy. Narendra dan Tommy duduk di kursi santai panjang berwarna putih yang terbuat dari anyaman rotan itu.

"Malam ini indah banget, yak!" ujar Tommy menyandarkan seluruh tubuhnya telentang menghadap ke langit malam. Wajahnya mengerling tatkala sebuah lampu menyorot tepat di wajahnya.

"Gue benci hal kayak tadi," Narenda berdeham membersihkan diri, "Secara tidak langsung. Pasti terjadi, rasa penyesalan selalu dateng kalau habis ngelakuin kayak gitu. Ya, gak, sih?"

"Jangan sampai salah satu dari kita jadi pengkhianat." Tommy menjejalkan satu potongan buah apel ke dalam mulutnya.

Prasetya dan Narendra saling berpandangan menyimpulkan makna yang terkandung dalam uraian peringatan yang baru saja diucapkan oleh Tommy. Prasetya tersenyum kecil yang kemudian disusul oleh Narendra.

"Awas aja kalau sampai ternyata malah lo yang jadi pengkhianat." Prasetya menambahkan dengan buru-buru.

"Sial," balas Tommy melempar sebuah gulungan kertas ke arah Prasetya. Narendra tertawa terpingkal-pingkal.

"Gue janji kalau malam ini adalah terakhir kalinya gue ngelakuin itu," Prasetya berikrar di hadapan kawan-kawannya, "tolong jangan ajak-ajak gue lagi."

"Heh, Bego! Kan, lo duluan yang nunjukin DVD-nya."

"Suru siapa Narendra simpen DVD begituan, Tom."

"Intinya kita semua sudah melakukan, kan? Wajar kalik namanya juga laki-laki. Kebutuhan biologis." Narendra menyudahi obrolan tentang hal yang tadi mereka lakukan bersama-sama. Narendra tak jauh berbeda ketika jari telunjuknya menunjuk bintang di langit menjadi suatu bentuk tertentu. Seketika imajinasinya liar melalang buana ke belahan bumi di ujung sana. Ada beberapa penafsiran logika yang sulit ia jelaskan kepada dua sahabatnya. Jika ia nekat melakukannya, tak membuat keadaan berubah justru hanya lelah yang ia dapatkan. Baik Tommy maupun Prasetya tak akan pernah bisa mengerti imajinasi yang kini menyelinap lalu menyerang bertubi-tubi.

"Punya lo ukuran berapa, Ndra?" tanya Tommy sembari mengosok-gosok tangannya ke selangkangan. Ada bagian dari dirinya yang sedang merasakan jalan sempit tak ada celah untuk berleluasa kemana-mana. Tommy memperhatikan Narendra dengan canggung. Sesekali ia mengajak Prasetya berdiskusi lewat bisikan dan isyarat. Tetapi, keduanya sama-sama tak menemukan hasil akhir, bahkan secuil hipotesa pun tak mereka temukan.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang