SECTION 10. K-POP OR HOLLYWOOD?

17 13 0
                                    

Hanya ada satu alasan mengapa Narendra tampil dengan kemasan yang beda dari hari-hari biasanya; Ariska. Kaos putih polos tampak menangkring di tubuh bidangnya. Jaket kulit berwarna coklat tampak menambah perpaduan bahagia sekaligus khawatir. Jeans-nya yang membiru tampak serasi perpaduannya. Rambutnya basah berkat gel rambut yang ia rawat sejak lama. Wewangian yang semerbak sudah berkeling di tubuhnya sejak sehabis mandi tadi menambah aroma-aroma laki-laki tulen yang siap menjemput pacarnya.

Sembari berkaca-kaca menyisir rambutnya yang indah dan macho. Narendra menelpon Ariksa dengan sigap. 

"Kamu udah siap?" tanya Narendra yang melakukan dua kerjaan sekaligus; tangan kirinya mencengkram erat gadget dan tangan kanannya sibuk menyisiri rambut.

Udah siap, Ndra. Emang kamu udah siap?

"Udah, dong! Ini lagi nyisir rambut. Rambut kamu udah disisir?"

Apaan, sih! Hari ini kita mau ke cafe aja?

"Kamu nanti bisa pilih tempat yang bakal kita kunjungi. Kamu mau kemana?"

Terserah kamu aja, sih. Aku ngikut aja. Tapi, aku minta tempatnya yang indah, sejuk, damai.

"Ya. Dimana itu?"

Ya. Terserah. Aku ngikut aja.

"Yaudah, deh. Aku ini mau berangkat. Siap-siap, ya!"

Ok!

Narendra bergegas menuju ruangan dapur. Menemui Bi Ratih. Pembantu rumah tangga itu tengah memasak ayam sambel.

"Bi, aku berangkat dulu." ulas Narendra dengan tampilan yang sudah macho, keren, lengkap, dan sempurna.

"Ndra, kenapa dengan wajah kamu?" tanya Bi Ratih yang curiga dengan pipi wajah Narendra yang memerah. "Kamu berantem?"

"Anak laki-laki, Bi. Kalau gak pernah berantem berati bukan laki-laki, ya, kan?" jawab Narendra santai. Ia langsung pergi menuju bagasi dengan membawa dua helm-nya. Bi Ratih mulai khawatir dengan keadaan yang sedang dialami oleh Narendra.

Narendra merogoh kunci yang ia simpan di dalam sakunya. Menyater sepeda motor sport 150cc miliknya. Merah biru motornya seakan menjadi bekal akan identitas macho Narendra. Narendra langsung keluar dari bagasi melewati pagar putih rumahnya lalu menyusuri sepanjang jalan kota yang sejuk.

Udara malam menghunuskan bebagai rasa. Getir, senyap, sendu, bingung, dan sebagainya. Tentu saja Narendra bukanlah penguasa jalan seorang. Motor-motor lain berkeliaran pula seakan arena balap F1. Setumpuk harap itu kembali menerkam benak remaja itu. Tentang kehidupannya yang ia minta untuk bisa lebih baik lagi. Itu saja maunya. Tak lebih. Cukup.

Narendra membelokkan ke arah kanan di sebuah pertigaan perumahan yang sudah ia masuki sebelumnya. Rindang pepohonan yang tertata rapih membuatnya nyaman dan tentram.

Sebuah rumah dengan gaya modern dan apik bertengger di sebidang tanah yang tidak terlalu luas. Rumah itu seakan tersembunyi diantara warung kelontong dan warung serba ada. Tanaman hijau panjang hampir menyerupai bambu tertanam dengan rapih di tiga pot yang berbeda. Narendra merasa jika ia memasuki halaman rumahnya seolah ia sedang memasuki negara yang paling padat di muka bumi.

Tok..tok..tok..

Narendra memang tidak pernah mau menunggu terlalu lama. Ia hanya tinggal mengetuk pintu lalu perempuan yang ia idamkan sudah langsung muncul.

"Udah siap?" tanya Narendra dengan ekspresi bahagia. Narendra bahkan belum pernah menyaksikan Ariska secantik ini. Rambut panjang yang tergerai hitam berkilau itu menjadi mahkota Ariska di wajahnya yang cukup mungil. Kemeja khas perempuan berwarna cokelat Ariska kenakan begitu padu dengan celana jeans-nya.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang