SECTION 67. DESTROY HIM!

5 6 0
                                    

Sekitar pukul sepuluh lebih lima belas menit; suasana malam yang suntuk dan beberapa pedagang kaki lima yang memilih untuk beberes pulang ke rumah. Narendra membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing yang amat menyakitkan. Di beberapa bagian tangan dan badannya tampak membiru akibat pukulan dan tendangan oleh mereka yang mengeroyok Narendra.

Narendra refleks menangkat punggungnya yang begitu nyeri. Pukulan kayu di punggungnya begitu kuat. Ia lantas menggerakan leher dan badannya melakukan gerakan ringan untuk memastikan semua baik-baik saja meskipun rasa sakit masih menghujani tubuhnya. Remaja itu melihat ke sekeliling ruangan tempat ia tidur. Ruangan ini tampak berbeda dari kamarnya. Sebuah meja belajar lengkap dengan perkakasnya, tas gendong,sepatu, lemari pakaian, satu poster tiga sekawan dalam seri film 'Harry Potter'. Tak ada benda yang menarik perhatian Narendra kecuali sebuah seragam yang menggantung.

"Akal Bangsa?" Narendra membatin. Matanya masih merem-melek menahan sakit di kepala dan sekujur tubuhnya.

Suara pintu terbuka dari luar; seorang remaja masuk membawa segelas air putih. Berpakaian kaos dan celana pendek bergambar animasi. Narendra mengenalinya.

"Lo," Narendra mengucapkan kata pertama setelah sadar dari pingsannya. Tangannya mengepal memegangi kepala menahan sakit.

"Ini rumah gue, Ndra." ujar Bagaskara duduk di kursi. "Ini kamar gue."

"Bentar," Narendra terdiam sejenak, "Tadi gue dikeroyok. Anjing!"

"Lo istirahat dulu aja. Bokap gue yang nemuin lo di jalan tadi terus ngebawa lo ke rumah."

"Gue mau balas dendam," Narendra langsung buru-buru turun dari kasur tetapi rasa sakit di sekujur tubuhnya mengalahkannya, "

"Lo istirahat dulu aja di kamar gue," titah Bagaskara yang langsung diiyakan oleh Narendra. Narendra tertidur menghadap ke kiri membelakangi Bagaskara. Bagaskara langsung pergi meninggalkan Narendra yang masih sadar dan memikirkan banyak hal. Ia teringat sebelum pingsan, dalam pandangannya ada seorang perempuan yang berjalan ke arahnya.

"Ariska?" Narendra buru-buru menyimpulkan siapa sebenarnya si perempuan itu. "Itu pasti Ariska."

"Siapa mereka? Gue yakin kalau gue belum ada musuh sampai saat ini," pikir Narendra mengingat-ingat kembali, "musuh gue pas SMP udah jadi temen gue semua. Satu-satunya orang yang gak suka adalah si 'banci' itu!" Narendra memikirkan satu nama yang membuat dirinya yakin kalau pelakunya adalah orang yang sedang ia pikirkan. "Apa dia juga yang udah ngasih rekaman penrusakan CCTV itu?"

Narendra kemudian mengingat kembali kejadian saat pengrusakan CCTV itu. Narendra mencoba mengingat dengan memejamkan mata. Dalam pandangannya yang luas; saat kejadian Narendra teringat sempat melihat beberapa orang yang sedang berdiri di balik dinding ujung sana. Mereka seperti maling yang berjalan mengendap-endap khawatir diketahui oleh orang sekitar. Ya; Narendra mencoba menenangkan diri. Rasa sakit di sekujur tubuh begitu menyiksanya.

Sementara di luar kamar; Bagaskara sedang duduk bersama ayah dan ibunya. Perempuan itu mengekspresikan rasa khawatir yang berlebihan. Sebagai sesama perempuan dan ibu; ibu Bagaskara tidak bisa membayangkan apa yang sedang dirasakan oleh Ibu Narendra.

"Dia udah sadar, Nak?"

"Belum, Pak." jawab Bagaskara pelan.

"Dia temen kamu?"

"Iya. Temen di sekolah. Namanya Narendra."

***

Sepulang sekolah; Prasetya dan Tommy buru-buru menuju rumah Narendra. Tommy menerima kabar itu setelah diberitahu oleh Narendra melalui telepon pagi tadi. Nampak jelas kekhawatiran di wajah dua manusia yang tidak pernah peduli dengan dosa itu. Butuh sekitar dua puluh menit untuk sampai di rumah Narendra.

Sesampai di depan gerbang rumah; Bi Ratih membukakan pintu gerbang. Bi Ratih tampak mengenali motor yang dibawa oleh Tommy dan Pras karena hampir setiap hari wanita itu melihat motor itu di dalam garasi rumah.

"Mau dibawakan apa?" tanya Bi Ratih dengan nada malas kepada Tommy dan Pras. Pras menatap tak enak karena ekspresi wanita itu tidak biasa.

"Ini seriusan, Bu?"

Bi Ratih sumringah, "Ya, Narendra yang meminta. Kalau tidak ya tidak akan saya buatkan."

"Saya mau hamburger, Bi." Tommy langsung mengucapkan satu makanan kesukaannya. Pras hanya memesan satu gelas jus alpukat lengkap dengan cemilan ringannya. Tommy dan Pras langsung berlari menuju kamar Narendra.

"Nyet," teriak Tommy berlari menghampiri kasur Narendra setelah membuka pintu kamar. Narendra tampak senang saat dua sahabatnya menjenguknya. "Kenapa lo gak mati, sih?"

"Emang bangsat nih orang!" ujar Narendra. Pras tertawa lalu duduk di kursi belajar Narendra.

"Gue langsung to the point, ya! Siapa yang ngebuat lo kayak gini?" tanya Pras agak kesal.

Narendra diam sebentar lalu memperhatikan wajah Pras, "Gue kayaknya tahu siapa yang ngeroyok gue."

"Lo dikeroyok?" Tommy makin penasaran

"Kayaknya kakak kelas kita," jelas Narendra dengan nada yakin, "Si Praditya kayak babi itu."

"Lah..dia?"

"Dia juga kayaknya yang nunjukin rekaman saat kita ngancurin CCTV sekolah."

Tommy langsung berdiri tak terima atas jawaban yang baru saja dilontarkan oleh Narendra. Tommy dan Pras langsung saling menunjuk, "Masalah Narendra adalah masalah kita semua."

"Kita gempur anak anjing itu!"

Narendra tersenyum bangga, "Gass!!!"

"Lo sampe kapan gak masuk sekolah, Nyet?"

"Seminggu-lah." jawab Narendra.

"Lo kok bisa selamat, Nyet?" tanya Tommy lagi.

Narendra hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dari Tommy. Pikirannya sudah mengarah kepada seseorang; Bagaskara. Narendra kemudian memandang layar gadgetnya dan menampakkan sebuah nama; Ariska.

***

Hari ini; Sylvia dan Karmila sedang janjian untuk makan bersama di sebuah kafe di ujung jalan kota. Sylvia hanya mengajak Karmila karena sesuatu hal.

"Lo kenapa ngajak gue ketemuan?" tanya Karmila sembari menyedot jus jeruknya. Sylvia tampak gugup ketika akan menjawab pertanyaan dari Karmila.

"Kenapa, sih?" tanya Karmila lagi, "Sylv, bilang aja kali kalau lo mau tanya Narendra. Ya, kan? Gini, Sylv. Kita semua; gue, Hanin, sama Rajeng gak bisa benci sama Narendra karena kemarin itu ya. Tapi, kita semua emang gak bisa maksa lo buat maafin Narendra gitu aja, kan. Terserah lo nya aja."

"Iya. Gue paham." Sylvia bergumam, "Kalian tetap kawanan sama dia gakpapa. Gue bukan tipe orang yang kayak lo orang pikirin."

"Kenapa? Lo bener gak mau tahu kabar Narendra?"

"Enggak," jawab Sylvia, "Gue belum bisa maafin dia, Kar. Gue malu banget waktu itu. Gue kayak ditelanjangin di depan umum tau gak?"

"Iya. Gue tahu." jawab Karmila. "FYI aja, ya. Narendra abis dikeroyok sama beberapa orang gitu. Dia lagi di rumah untuk istirahat."

Sylvia hanya diam saja tak mau memberikan suatu respon maupun ekspresi apapun.

***

Tuan yang sedang jatuh cinta!

-Prayoga R-



SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang