SECTION 26. THAT NIGHT

17 9 0
                                    

Kerumunan orang yang berlalu lalang seakan tiada habisnya. Tatapan mereka menjamah setiap hal yang begitu saja terjadi tanpa diminta bahkan diprediksi. Penjaja barang di pinggiran terus bergejolak menawarkan setiap hal yang ada di kedainya. Hanya ada satu alasan yang berarti; mencari sesuap nasi. Begitulah istilah yang sering dikemukakan oleh orang-orang. Kemeriahan yang terjadi juga saat ini diimbangi oleh nyala lampu sorot sepanjang jalan, bintang yang kerlap-kerlip menandakan awal malam, dan ratusan lilin yang sengaja dipasang di beberapa titik. Lilin-lilin itu menancap di beberapa titik dengan pemasangan menerapkan keamanan yang lumayan rumitnya; Lilin-lilin itu dipasangi bola kristal transparan. Semua yang ada di sana menantikan satu momen yang indah, satu momen yang berkesan, dan satu momen yang tak akan pernah terulang meskipun dalam situasi dan kondisi yang sama.

"Palingan juga sebentar lagi, Sayang." Ariska memberi tahu sesuatu hal yang kini ia, Narendra, dan semua pengunjung nantikan. "Narendra?" imbuhnya sembari menatap Narendra yang bahkan tak menoleh ke arah dirinya. Wajah Narendra yang bungkam tengah menelisik ke ujung sana. Ariska mencoba mencari-cari satu fokus Narendra tetapi dalam hitungan kejap, Ariska menyerah.

"Kamu lagi liatin apa, sih?" tanya Ariska lagi sembari mengalihkan pandangan ke bawah membenahi outfitnya. Narendra menghela nafas panjang sebagai suatu jawaban yang sama sekali tak Ariska harapkan. Dalam hitungan seperkian detik, Narendra tergopoh-gopoh membawa bobotnya berlari menyusuri jalanan yang berkerumun untuk mencapai satu titik temu. 

Narendra dengan susah payah tak mengalihkan pandangannya ke satu titik itu memastikan agar ibu tirinya tidak pergi terlalu jauh. Langkah kaki laki-laki itu sedikit lihai meskipun ia terkadang harus bertabrakan dengan pengunjung lain. Berulang kata 'maaf' selalu terucap dari bibirnya saat menabrak pengunjung lain. Setibanya di pinggiran jalan; ia langsung membelok ke arah kanan menyusuri trotoar pinggiran itu. Nafasnya tersengal-sengal. Dalam darahnya mengalir sebuah benci dan ratap. Nafasnya memberikan satu ikatan panjang mengenai keberpihakan alam kepada dirinya. Harapan yang muncul beberapa waktu lalu seakan menjadi debu yang usang.

"Tunggu!" teriak Narendra keras. Pengunjung lain memperhatikan Narendra yang tengah berlari dan beberapa diantaranya menangkap dengan jelas siapa gerangan yang sedang dikejar. Nyatanya semakin dicari justru memunculkan sebuah pertanyaan mendasar yang sulit ditemukan jawaban dan solusinya. Teriakan pengunjung lain semakin menggema tatkala langit malam menawarkan sejuta bintang yang kerlap-kerlip tak beraturan.

"Sangat indah!" ujar seorang gadis kepada ibunya. Tatapannya polos dan penuh imajinasi tanya. Frasa indah gadis itu seakan menggema ke semua penjuru. Api salah satu lilin yang berada di antara dua pohon palem tiba-tiba lenyap. Tetapi, hal itu bukanlah suatu penghalang yang berarti. Di semua penjuru sudah siap lilin-lilin dengan kobaran api kecil yang menyala.

"Sebentar lagi akan dimulai!" teriak seorang pengunjung pria yang menyadari lampu sorot mulai dimatikan satu persatu. Narendra tak memperdulikan hal-hal yang berada di sekelilingnya. Satu langkah kaki yang lumayan lihai membuatnya berhasil menangkap keberadaan ibu tirinya yang tengah berada di ujung sana; tak jauh. Narendra menghela nafas sebentar. Pengunjung lain tampak bersorak sorai. Kumpulan pekikan suara mampu mengalahkan suara mesin mobil yang tengah berlalu lalang di ujung sana.

Narendra menatap dengan ekspresi kebencian ke arah wanita yang kini tepat berada tak jauh dari hadapannya. Senyum pekat wanita itu mengisyaratkan aroma permusahan. Seketika di waktu yang bersamaan. Seluruh lampu sorot padam tak terkendali dan di jalanan ramai pengunjung itu kini berubah menjadi remang-remang. Nyala lilin yang menggema di setiap penjuru jalanan serta nyala kerlap-kerlip bintang di atas sana. Bagi sebagian orang; diri mereka tengah berada di kumpulan nyala api redup tepat di bawah taburan bintang.

"Malam ini indah bukan?" tanya ibu tiri itu kepada Narendra; ekspresinya sinis dan tak menggembirakan sama sekali. Tangan kananya mengelus salah satu bola kristal nyala lilin. Narendra sama sekali tak mendengar apa yang sebenarnya diucapkan oleh ibu tirinya akibat teriakan pengunjung lain yang cukup keras.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang