SECTION 33. A CODE

17 9 0
                                    

Jalanan pusat kota tampak sesak tak terbendung lagi. Geng motor yang berlalu lalang membuat jalanan macet dari jalan masuk utama hingga keluar. Ledakan kembang api masih terus menggema.

"Di beberapa negara udah mulai pergantian tahun, Tom." ujar Prasetya memberitahu. Narendra tampak asing melamun memperhatikan kumpulan wall decor yang menggantung sangat rapih.

"Dedaunan itu menyimbolkan suatu makna yang hanya dipahami oleh sebagian manusia saja," celetuk Narendra tiba-tiba menyaksikan satu hiasan dinding yang menarik perhatiannya. "Aku ingin menjelma menjadi seorang pujangga yang siap menghibur manusia-manusia di sana melalui senapan kata yang gaungnya melampaui batas tak terkendali."

"Mulai lagi, nih, anak." Tommy seakan dibuat jengkel oleh ujaran Narendra yang sama sekali tidak masuk akal.

"Suatu titik kepastian bahwa ramalan yang dicetuskan berbintang-bintang lalu adalah suatu keabsahan. Manusia-manusia harus mempercayai dan seminimal mungkin tidak mencela ramalan itu."

Suara dentang sepatu tiba-tiba berdatangan seiring dengan datangnya empat orang gadis dari pintu cafe depan.

Suara tawa mereka menggelikan suasana dan ada sebilah kebencian yang begitu saja libas di pikiran pengunjung lain.

"Rajeng?" ujar Tommy tidak percaya bahwa diantara empat orang gadis itu. Tetapi, lebih mengejutkan lagi bahwa ia menyadari bahwa empat orang gadis itu adalah Karmila, Sylvia, dan Hanin.

"Seriusan?" tanya Prasetya tiba-tiba.

"Mereka ngikutin kita, ya?" tanya Tommy pelan-pelan.

Narendra menoleh sebentar ke arah empat orang gadis itu dan disaat bersamaan satu gadis bernama 'Sylvia' juga ikut menoleh. Pada satu kesempatan akhirnya Narendra dan Sylvia bisa bertatapan lama.

"Sok ke-PD-an, Lo, Tom."

"Ya siapa tahu aja, kan? Namanya rezeki ya kan gak boleh ditolak."

Rajeng mengamati wajah Tommy untuk beberapa saat. Gerak-geriknya menyembunyikan semuanya agar Karmila dan yang lainnya tidak curiga.

"Mereka juga ada di sini." ujar Hanin berbisik.

"Kayak gak ada tempat lain aja." sambung Karmila menyetujui. Sylvia secara sadar langsung mengarahkan diri serta temannya untuk duduk di sebuah meja ujung. Jarak meja mereka dengan meja Narendra hanya beberapa meter dan ditengahi oleh empat meja.

Gerak-gerik kedua penghuni meja itu tampaknya lebih sederhana. Tak banyak neko-neko.

"Mau pesan apa, Sylv?"

"Samain aja sama Hanin."

"Ok. Hanin mah biasanya bakso dan Rajeng?"

"Tomcat goreng." jawab Rajeng sembarangan. Ia tengah mengamati keadaan diluaran sana sembari curi pandang.

"Apaan, sih?" sela Hanin mencolek tangan Rajeng.

"Ha? Apaan?"

"Lo mau pesen apa?"

"Gue mesen mie goreng aja. Hehe." balas Rajeng tak karuan.

Tak beberapa lama kemudian akhirnya pesanan datang. Sylvia dan temannya menikmati dengan sangat gembira. Pedasnya mie goreng Rajeng membuat Sylvia membenci rasa pedas. Selamanya gak akan makan makanan yang pedas.

"Bapaknya Alin beneran menang, uyy." ujar Rajeng memulai gosip malam ini.

"Sumpah! Ada selebritis, nih di sekolah Akal Bangsa."

"Gila," seru Hanin. "Makin kacau aja nih sekolah kita."

"Lo orang ngapain, sih? Gak penting amat ngomongin Alin."

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang