SECTION 13. DINNER

21 13 0
                                    

Gadis berambut gerai itu menempelkan kepalanya di jendela mobil. Matanya jelalatan memandangi awan, pohon, kendaraan, dan lainnya. Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju rumah. Hanya ada satu lintasan pikir Sylvia; Narendra.

Ngapain juga gue mikirin dia? Selamanya gue benci sama laki-laki itu. Gak punya sopan santun. Nyebelin. Tapi,.

Sylvia merasa aneh dengan pemikirannya sendiri. Ia seakan tak bisa berkutik lagi.

"Kita langsung pulang, Mba?" tanya Wira. Sopir pribadi rumah Sylvia. Setiap jam 16.00, ia harus menjemput Sylvia. Sylvia mengangguk yang dapat diterjemahkan langsung oleh Wira melalui kaca mobil depan.

"Kok mau naik mobil, Mba? Biasanya mba gak mau kalau saya jemput?"

Sylvia tak menggubris lagi celotehan dari sopirnya. Gadis itu memang tak pernah mau dijemput oleh siapapun. Ketika pulang, pun ia hanya ingin naik ojek online.

"Kata Bapak, nanti malam bakal makan di restoran temen Bapak, Mba."

"Om Wira kata siapa?" Sylvia menanggapi pernyataan Wira. Ia merasa tertantang dengan pernyataan yang baru saja terjadi.

"Bapak udah ngomong sama Om. Bapak, Ibu, Mba Sylvella, sama Mba Sylvia juga harus ikut katanya."

"Restoran kawan papah? Siapa?"

"Om juga gak tau, Mba. Mendingan nanti pas pulang ke rumah langsung tanya aja sama Bapak."

Tak ada jawaban lagi setelahnya. Tatapan Sylvia hilang tenggelam bersama amarah, luka, benci, dan harapan. Mengelabuhi semuanya. Tak ada lagi cerita tentangnya sejak saat itu hingga kini. Tak ada lagi bekas memori dan hanya tersisa sebuah kenangan.

"Jadi, Om jemput aku biar cepet pulang, ya? Ah, kalau tau gini mendingan aku nginep ke rumah temen aku, Om."

"Jadi, Mba Sylvia mau turun?"

"Pengen, sih." jawab Sylvia agak malas.

"Terus kenapa?"

"Aku ikut aja. Ada pikiran yang harus dihilangkan, Om. Butuh refreshing, Om. Oh, iya. Om Wira ikut?"

"Enggak, Mba. Om kan jaga rumah."

"Om mau dibeliin apa? Sekalian juga sama Mba Desi. Ya, kan?"

"Beneran, Mba?" tanya Wira sekali lagi meyakinkan. Sylvia mengangguk.

"Lobster, Mba. Om Wira pengen makan lobster."

"Hmmm..." tutup Sylvia menyudahi obrolan. Wira tertawa kecil lalu fokus ke jalanan panjang menuju rumah.

Sylvia membuka kembali tasnya dan mengambil sebuah kertas yang tersimpan rapih di sebuah map. Ia membaca kembali bait per bait isi daripada surat itu.

Pidato itu cukup menguras tenaga. Hanya karena prestasi ku saat SMP menjadikan alasan mereka buat milih aku? Padahal belum ada satu semester aku sekolah di Akal Bangsa. Memanfaatkan sekali, ya. Tapi, ini juga sebagai ajang aku buat unjuk diri, kan?

**
"

Kak." Sylvia memanggil kakaknya melalui pintu kamar. Kamar mereka terletak berdekatan hanya dipisahkan dinding saja, "udah ditungguin sama Papah."

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang