SECTION 18. SOMETHING WRONG WITH YOU

23 9 0
                                    

Narendra menghela nafas panjang lalu memandangi langit yang kebiruan. Sinar surya tampak merekah. Dalam bayang-bayang pikirannya yang rumit; semuanya tersingkap menjadi suatu kejadian yang hampir rasional; begitulah demikian. Suasana sekolah Akal Bangsa tampak riuh tatkala menjelang akhir tahun. Kepala sekolah tengah menggebu-gebu ketika tahu bahwa salah satu murid di sekolah ya ia pimpin adalah keturunan dari salah satu bakal calon kepala daerah. Riuh-riuh suara pendukung bakal calon kepala daerah menggema sepanjang jalan. Spanduk wajah-wajah bakal calon terpampang nyata sepanjang jalan seolah menjadi sebuah pemandangan yang cukup lumrah di Indonesia.

"Pembagian rapor semester satu akan dilakukan Sabtu, ya," ujar seorang guru berwajah sendu dan kacamata bulatnya yang lumayan besar, "Rapor itu menjadi saksi sejarah bagaimana perkembangan kalian selama di sini. Apakah kalian menunjukkan hasil yang bagus di semester awal ini."

Sylvia hanya diam tatkala gurunya menyampaikan pidato singkat. Ia bergeming sendiri dan menunjukkan sikap acuh. Rajeng tak bisa diam ketika tahu Prasetya mulai melirik-lirik siswi perempuan yang berada di ujung kelas dekat pintu. Tak peduli suasana yang sedang terjadi, Rajeng meremas-remas selembar kertas membentuk sebuah bulatan lalu melemparnya ke arah Bagus.

"Kalian harus berlatih, ya. Saya dengar dari OSIS kalau sepekan sebelum pembagian rapor akan dilaksanakan classmeeting. Lombanya kebanyakan olahraga, ya. Silakan persiapkan diri dan banggakan kelas ini, ya." ujar guru tersebut membenahi kacamatanya yang miring. Serentak jawaban "Iya, Bu." terdengar cukup keras hingga luar kelas.

"Kalian juga harus ingat bahwa hari Rabu besok kita libur, ya. Ada yang tahu kenapa hari rabu itu libur?"

"Pilkada serentak, Bu." jawab salah seorang murid dengan tegas dan menggema. Tampak ekspresi bangga tiba-tiba menghampirinya.

"Benar. Ini pertama kalinya dalam sejarah negara kita mengadakan pilkada serentak. Kita semua akan menjadi saksi," ujar guru itu. Tetapi, tiba-tiba ekspresinya berubah tatkala menyadari sesuatu, "Eh, kalau kalian belum bisa memilih, kan, ya. Kalian belum cukup umur. Kalian pun belum memiliki KTP." imbuh guru tersebut diikuti dengan tawa bahak tersendat-sendat. Seketika ekspresi siswa-siswi tak menentu. Sebagian besar menunjukkan ekspresi tak suka sekaligus bingung tingkah dan bicara guru tersebut.

"Ibu," teriak seorang siswa dari belakang sembari mengacungkan jari. Semua orang di kelas langsung menengok ke arahnya. Rata-rata dari mereka menunjukkan ekspresi tanya dan bangga. Anak senakal dan sebadung itu akhirnya berkoar lewat acungan jari dan bertanya. Sedangkan selama ini, jangankan bertanya, mencatat pelajaran saja tidak pernah. Ulangan kemarin saja anak laki-laki itu menjawab pertanyaan dengan jawaban ngawur. Sudah bisa dipastikan bahwa orang paling bodoh se-Akal Bangsa itu akan mendapatkan rangking terakhir.

"Ada apa, Din?"

"Ibu bakalan milih Bapaknya Alin, ya?" tanya anak laki-laki itu yang kemudian ditertawai oleh teman sekelas. Wajah guru itu memudar. Make-up nya seketika menghilang dan tampak guratan kerutan yang membuncah. Alin seketika terkenal di sekolah karena bapaknya mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Guru itu langsung pergi keluar kelas dengan ekspresi malu. Pertanyaan itu membuatnya menjadi gusar dan geram. Ia menutupi semampunya. Ruangan kelas dipenuhi gelak tawa yang tak henti-henti. Anak laki-laki badung itu berlarian mengitari kelas menunjukkan ekspresi bahagia.

"Eh, hmmm. Alin, kan," ujar Rajeng, "Gebetan lo, kan?" Rajeng menyadari suatu hal. Pertanyaan itu membuat anak laki-laki tadi diam tak berkutik dengan ekspresi malu. Seketika riuh kelas dengan tawa terdengar tak beraturan. Pembahasan mereka kemudian berubah menjadi rencana persiapan classmeeting OSIS yang akan dihadapi sebentar lagi.

Suasana kelas kembali riuh karena percakapan-percakapan tak jelas dari beberapa siswi yang membahas seputar alat make-up. Rajeng berusaha menengahi dan ada sepotong bunyi yang menyergap kelas bertubi-tubi.

SECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang