"Di luar dugaan! Untuk pertama kalinya aku bisa melihat dan bicara denganmu, keponakanku."
~Pjy~
May 2026, Saturday.
Matanya mengerjap. Berusaha menyesuaikan bias cahaya, di sekitar tempat dia berdiri sekarang. Kemudian dia mengabsen seluruh tubuhnya, berharap tidak kehilangan apapun. Termaksud, indra pelihat miliknya. Kali ini tempat yang dia lihat, sangat berbeda dan terasa asing. Lapangan luas, penuh rumput hijau dan sekilas, terdengar suara gemericik air. Gemericik air?
Jisung mencari sumber suara gemericik air, dia berusaha mengikuti instingnya yang masih tajam seperti sebelumnya. Dia berlari semakin jauh, meninggalkan tempat dia berdiri tadi. Namun pada akhirnya dia menemukan titik terang, namja itu melihat air mancur dan satu pohon sakura di dekatnya.
"Apa itu, pohon satu-satunya disini?" Jisung mengedarkan pandangannya, untuk membenarkan dugaannya.
Tap.
Seseorang menepuk pundak Jisung. Namja itu segera menoleh, dan mendapati seorang namja lain. Mungkin seumuran Appa-nya?
"N-nuguya?" Tanya Jisung waspada.
Namja itu hanya tersenyum. Membuat Jisung jadi tak nyaman, "Wae?"
Dia masih saja tersenyum, "Di luar dugaan! Untuk pertama kalinya aku bertemu dan melihatmu, keponakanku. Ternyata, kau memang sudah besar."
"J-jinyoung Shamchon?!" Jisung terkejut.
"Kau mengenalku?" Namja muda itu mengangguk.
"Appa selalu menceritakan tentangmu, Shamchon." Jelasnya.
Jinyoung terkekeh, "Hyung-ku itu, memang sudah banyak berubah. Buktinya, dia berhasil merawat dan menjaga dirimu dengan baik."
"Memangnya, seperti apa Appa selama ini?" Jinyoung tersenyum.
Tiba-tiba langit di sekitar mereka berdiri, berubah. Sebuah gambaran memori lama, terpampang bagai film yang sedang di putar. Satu per satu, memori itu berjalan sejak awal hingga akhir dengan ending yang sudah diduga.
"Tidak mungkin! Appa melakukan kesalahan besar. Apa ini semua, salahnya?" Jisung benar-benar terkejut, melihat semua kilatan memori itu. Bahkan, air matanya sempat mengalir dan terjun bebas melewati pipinya.
Jinyoung tersenyum lagi, "Apa kau beranggapan sama, seperti yang di pikirkan orang lain?"
Jisung menoleh pada Jinyoung, "Jadi ini, yang di maksud orang-orang dengan karma?"
"Ini bukan karma. Kau bukan kesalahan, jika awalnya kau di lahirkan tidak sempurna. Kehilangan Eomma-mu, juga bukan karena karma yang kau maksud." Jelas Jinyoung, menepis pemikiran Jisung mentah-mentah.
"Mengapa Shamchon begitu yakin, tentang itu?"
"Justru sebab itu, Tuhan mengirimku untuk bertemu denganmu sekarang ini. Dia berharap, bisa menjelaskan semua takdirmu lewat diriku."
Kemudian, Jinyoung mengusap puncak kepala Jisung. Namja itu tersenyum hangat, sambil bertukar pandang pada Jisung yang masih memikirkan banyak pertanyaan di kepalanya.
"Satu hal yang harus kau tanamkan juga, pada dirimu. Ingat! Takdir kita berbeda, dan kita bukan orang yang sama~"
Jisung menatap lekat Jinyoung dan langsung memotong, "Tapi hati kita, punya perasaan yang sama. Sama-sama takut, orang lain pergi dan membenci."
Entah kenapa, begitu lancar sekali dia mengucapkan kata-kata itu lewat mulutnya. Dadanya terasa bebas, setelah mengutarakan kata-kata yang selama ini entah dia pikirkan atau tidak. Dia pun juga tidak mengerti.
"Baiklah. Apa kau sudah mengerti sekarang?"
Jisung mengangguk paham, "Nee, Arasseo. Aku paham sekarang, apa yang Shamchon maksud."
"Kalau begitu, urusanku selesai sampai disini." Ujar Jinyoung, sambil memandangi langit-langit.
Jisung ikut memandang langit, "Shamchon, akan pergi sekarang?"
"Nee. Apa yang bisa kulakukan, jika aku ada disini? Bahkan mungkin, aku hanya bisa di sebut sebagai bunga tidur." Jinyoung membalikkan tubuh, hendak pergi.
"Apa Eomma disana, baik-baik saja?" Lirih Jisung lesu.
Jinyoung berbalik, "Jangan sedih. Aku hampir lupa, Eomma-mu menitipkan salam untukmu. Dia ingin kau tetap bahagia, makan yang tertatur dan tumbuhlah dengan baik."
"Aku akan pergi. Sampaikan salamku, pada Hyung. Hyoona juga, menitip salam untuk Appa-mu itu." Jisung mengangguk, Jinyoung tersenyum dan kemudian berbalik memunggungi Jisung.
Sebuah cahaya muncul, menyilaukan pengelihatan Jisung. Namja itu melihat Jinyoung, berbalik lagi padanya dan melambai sembari tersenyum simpul. Jisung balas melambai, hingga tubuh itu akhirnya ikut memudar dengan cahaya tadi yang semakin terang.
Jisung membuka matanya. Yang dia lihat pertama kali, adalah warna biru atap kamarnya. Namja itu bangkit, dan melihat sekeliling. Dia mendapati, satu parsel penuh berisi buah-buahan diatas nakas. Tertempel pula, sebuah sticky notes besar pada salah satu buah Apel. Tangannya menggapai notes itu, kemudian mulai membaca isinya.
Dear Jisung-ssi,
Anyeong. Bagaimana perasaanmu? Ini aku Choi Yeri. Kebetulan, aku lewat di depan rumahmu pagi ini dan akhirnya aku berkunjung. Tapi salah satu pengasuhmu bilang, bahwa kau masih terlelap.
Jadi, aku menitipkan parsel buahnya beserta salamku padamu. Kuharap kau sudah bisa berlapang dada, memaafkan Jaemin. Lain kali, aku akan datang lagi lebih siang. Agar, aku bisa langsung bertemu denganmu. Untuk kemarin, gomawo.
Senyum terukir di wajahnya, saat dia selesai membaca semua isi pesan di notes itu. Semenjak kejadian kemarin, hatinya benar-benar terasa lega. Apalagi setelah mimpinya beberapa saat lalu, membuat dirinya makin yakin akan keputusan yang dia ambil sudah benar.
Jisung turun dari ranjang. Kemudian dia menghampiri jendela, dan membukanya. Udara segar masuk, membuat sejuk tempat di sekitarnya. Namja itu kemudian menengok kebawah, pada halaman depan rumah. Tempat dimana terdapat taman bunga lily putih, kesanyangan Eomma-nya.
Jisung kemudian menatap langit dan mulai bergumam, "Semua yang di katakan Jinyoung Shamchon, ternyata benar Eomma. Kenyataan hidupku memang tidak berjalan baik, tapi aku lega ketika mengetahui bahwa tidak ada yang menyesal dan merasa tersiksa karena takdir burukku."
Anyyeong! Malem, para Readers. Nuriyail kembali! Ada yang rindu Jisung? Jangan lupa like!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow - Today
Фанфик"Tidak ada gunanya, jika kamu menyalahkan diri sendiri. Percayalah! Satu hal yang membuatku ingin pergi, adalah mengurangi beban di punggung semua orang yang mengenal siapa aku." ~ Park Jinyoung ○ "Ini bukan takdir terburuk, dari sebuah karma yang b...