16🌻Dion atau Jordy?

754 66 1
                                    

"AYO SEMUANYA KUMPUL SINI!" suara Teza terdengar dengan toa di tanganya.
Seluruh mahasiswa mulai berkumpul dan berbaris dihalaman villa yang cukup luas.

Kami sudah menduga akan ada game berkelompok, maka dari itu Dion terus menahanku di sampingnya

"Berbaris sesuai kelas dan angkatan!" kini Jordy yang berteriak dengan toa nya.

Aku dan Dion mendengus kesal mendengar itu.
"Penyalahgunaan wewenang," gumam Dion dengan sangat pelan, tapi masih bisa ku dengar.

Seluruh peserta protes dengan ucapan Jordy.

"Tidak ada penolakan, ayo cepet baris sesuai angkatan dan jurusan!" titahnya lagi.

Akhirnya genggama tanganku dengan Dion harus terlepas. Kami terpisah karena harus berbaris sesuai jurusan.
"Bisa banget ya Sha dia misahin kita," desis Dion dan aku hanya terdiam sambil menatap punggung Dion yang mulai beranjak ke barisannya.

"Buat kelompok, perkelompoknya lima orang. Kalian akan diberi peta masing-masing untuk mencari harta karun di bukit sana. Hadiahnya ada beasiswa satu semester untuk satu kelompok dan masih banyak lagi. Kalian jangan sampai terpisah. Harus sampai disini lagi maksimal jam lima sore." Ucap Pak Yuda. Beliau menjelaskan lagi secara detail apa saja yang boleh dan tidak boleh kami lakukan selama game berlangsung.

Selesai pengarahan, seluruh peserta mulai bergegas pergi menelusuri bukit yang tak jauh dari Villa.

Kelompokku sudah pasti bersama Marvel, Jevano dan Giselle. Harusnya lima orang, tapi memang hanya sisa kami berempat.

Dari jauh hari para peserta yang ikut sudah diwajibkan memakai baju santai dan tidak merepotkan karena akan banyak game disini.

"Nih Sha lo pegang senternya," titah Marvel.

"Ih si Jevano aja sama Giselle mereka kan lebih tinggi dari gue," kilahku.

Marvel di depan memegang peta, aku disampingnya sambil memegang kayu panjang.
Giselle memegang senter dan kamera yang menggantung di lehernya.
Jevano juga memegang senter dan kayu panjang.

Yang lain sibuk mencari, kami berempat sebentar-sebentar malah sibuk berswafoto. Siapa lagi pelopornya kalau bukan Giselle. Setiap ada tempat yang bagus menurutnya, pasti langsung on kamera.

"Eh Marv, lo nggak buta arah kan? Kok kita nggak dapet-dapet ya?" gerutu Giselle.

"Bawel ah bentar nih gue lagi nyari," dengus Marvel, kedua tangannya sibuk merentangkan peta. Sesekali ia putar-putar untuk mencocokan jalan.

Sudah dua jam berkeliling bahkan hampir sampai di atas bukit, Marvel belum juga mendapatkan petunjuk. Lebih tepatnya lagi bingung dengan gambar petanya.

"Eh bentar-bentar."

"Kenapa Sha?" tanya Jevano yang menghentikan langkahnya di sampingku.

Langkah kami berempat terhenti sejenak, hatiku mendadak panas melihat pemandangan di depan sana.
"Dion satu kelompok sama Yeri," lirihku dengan bibir yang mengerucut.

"Yaaah elah Sha, gue kira apaan." Marvel sudah merotasikan matanya.

"Ckckckck." Giselle hanya menggelengkan kepala melihatku yang sedang cemburu.

"Udah ayo jalan, bucin banget si," celetuk Jevano yang kemudian merangkul pundakku.

"Lepas Jev ntar baper repot lo." Aku protes seraya menyingkirkan tangannya.

"Ya udah besok gue resmiin mau nggak?" kekehnya.

"Kalau maharnya oke, ayok."

"Heh lo berdua kalau ngomong sembarangan. Lo juga Jev ngajak anak orang nikah kayak ngajak kambing di tempat begini," gerutu Marvel. Aku dan Jevano tertawa kompak melihat ekspresi Marvel yang seperti orang tua memarahi anaknya.

Tawanan Cinta Kakak Ipar | (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang