3🌻Satu atap

1.5K 114 3
                                    

Sesampainya di rumah, aku langsung beranjak menuju kamarku di lantai dua.

Mama dan Papa sudah menunggu kami, tapi hanya Jordy yang mereka panggil untuk berbicara di ruang tengah.

Aku, Jordy dan mendiang Kak Irene tinggal bersama di rumah ini.
Itu karena Kak Irene adalah kakak ku satu-satunya, jadi kami tidak mau terpisahkan.

Usiaku baru menginjak 23tahun dan aku memiliki kekasih bernama Dion. Kami kuliah di Kampus yang sama.

Apa yang harus aku katakan nanti jika dia tahu aku dan Jordy harus menikah?




🌻🌻🌻

tok tok tok

"Sha?"
panggilan Jordy membuyarkan lamunanku.

Setelah menghapus air mata yang sempat menetes, ragu-ragu ku buka pintu kamarku.
"Iya kenapa?"

"Mama Papa sudah pulang," ucapnya.

"Lho mama papa pulang?" tanyaku dengan ekspresi terkejut.
Tenggorokanku rasanya tercekat, segala pikiran negatif menguasai otakku saat ini.

Jordy menganggukan kepala sebagai jawabannya.

"Aku nggak diajak pulang? Sekarang kita cuma berdua di rumah ini?" tanyaku lagi untuk meyakinkan apa Mama dan Papa benar-benar sudah pergi.

Jordy mengangguk lagi. Bagaimana ini, aku hanya tinggal bersama seorang pria lajang.

Bibirku mengulum rapat-rapat menatapnya penuh kekhawatiran. Aku takut hanya tinggal berdua bersamanya.

"Udah tidur sana jangan mikir yang macem-macem. Saya di kamar, kalau ada apa-apa panggil aja," ucapnya seraya meninggalkan ku diambang pintu. Setidaknya kepergian Jordy membuatku merasa lega.

Setelah punggung Jordy menjauh, cepat-cepat ku kunci pintu kamarku. Aku tak mau terbawa suasana, bisa saja ia menginginkan sesuatu lalu menyelinap masuk.

Tak habis pikir bagaimana bisa orang tuaku meninggalkan anak gadis semata wayangnya tinggal bersama seorang duda. Apa mereka tidak takut kesucian yang kujaga selama ini direnggut oleh mantan menantunya nanti.

Andai dudanya adalah Song Joongki mungkin akan ku pertimbangkan lagi.









🌻🌻🌻

Pagi sudah menyapa, cepat-cepat ku ambil ponsel yang terletak diatas nakas. Rencana pernikahanku dengan Jordy tak bisa begitu saja terjadi. Aku harus melayangkan pemberontakan kepada Mama dan Papa.

Nada sambung mulai terdengar dari ponselku.

"Hallo mah, Asha hari ini mau beres-beres pakaian," ucapku dengan tegas.

"Mau ngapain nak?" tanya Mama dibalik telepon.

"Ya pulanglah ke rumah Mama Papa."

"Nggak usah pulang, kamu tinggal disana aja sama Jordy gantinya mendiang kakak kamu."

Mama terdengar menggampangkan ucapannya. Membuatku kesal, tapi aku tak mau menjadi anak durhaka yang sekonyong-konyong membentak wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini.

"Mah, Mama Papa nggak bisa gitu dong masa nyuruh aku tinggal disini berdua Jordy. Dia duda Mah, gimana kalau tiba-tiba dia butuh belaian trus aku di apa-apain?" rengek ku.

Mama terkekeh selebihnya hanya wejangan dan wejangan yang diutarakan.

Berjam-jam berdebat, tapi rengekan ku dibalik telepon tak ada artinya. Mama selalu membalasnya dengan candaan dan juga tawa renyahnya seolah-olah tak ada rasa khawatir.

Setelah cukup lama merengek yang tak menghasilkan apa-apa, sambungan telepon ku matikan. Langkah lunglaiku mulai menuruni anak tangga. Perutku sudah berbunyi sejak tadi, rasanya semakin lapar setelah mencium aroma masakan dari arah dapur.

Selain aroma masakan ada juga aroma kopi yang begitu harum.

Sampai di dekat meja makan aku melihat punggung lebar Jordy yang terus bergerak sibuk dengan kegiatan masaknya.

Dulu Jordy dan Kak Irene yang selalu sibuk di dapur untuk memasak. Sedangkan aku hanya jadi penikmat masakan mereka. Memang sudah menjadi kebiasaan Jordy selalu membuat sarapan sebelum berangkat kerja. Apalagi semenjak Kak Irene hamil besar, Jordy semakin rajin melayaninya. Suamiable bagi wanita yang tidak bisa memasak, termasuk aku mungkin.

"Udah bangun?" sapa Jordy saat mendekat ke arah meja makan.

Aku tersadar dari segala lamunan setelah itu memasang ekspresi datar ke arahnya.
"Ya udah lah kalau belum masa aku duduk disini," dengusku seraya menggengam erat sendok dan garpu di kedua tanganku seperti anak kecil yang menunggu makanannya.

Jordy terkekeh kecil seraya menyediakan dua piring nasi goreng dihadapan kami.
"Nggak usah sungkan atau takut tinggal berdua disini, saya bukan orang jahat.
Sekarang sarapan dulu, habisin ya." Setelah itu Jordy mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.

Ish apaan si sok manis banget.

Pandanganku kini tak teralihkan dari sosok pria yang memiliki tatto bunga matahari di lengannya itu. Jordy Samuel sikapnya begitu tenang. Kami dulu hanya tinggal bertiga, tapi Jordy selalu membuat suasana rumah menjadi ramai dengan segala tingkah laku dan lawakannya.

Tak bisa dipungkiri Jordy juga bisa membuatku nyaman jika sedang berbincang, bahkan aku pernah mengadu padanya tentang masalah ku dengan Dion di masa lalu. Herannya Kak Irene tidak kelihatan cemburu sama sekali.

Tanpa basa-basi suapan demi suapan mulai ku masukkan kedalam mulut.
Masakaannya selalu enak, ingin rasanya aku memuji secara langsung, tapi enggan.

Suasana ruang makan cukup hening hanya ada suara ASMR sendok garpu yang beradu dengan piring.

Jordy tiba-tiba saja menegakkan posisi duduknya lalu menatapku diiringi senyum manis yang menampakan lesung samar di pipinya.
"Setelah ini kita berangkat ke Kampus bareng ya Sha," ucapnya di sela-sela menikmati sarapan.

"Kita?" tanya ku dengan terkejut.
Makanan yang ku telan berubah seperti batu setelah mendengar ajakan Jordy yang terdengar lembut.

"Iya kita, saya sama kamu," tambahnya dengan senyuman yang belum luntur di wajahnya.
Kemudian Pria itu mengambil peralatan makan yang kotor lalu berjalan ke arah dapur untuk mencucinya.

Sebenarnya kami sering berangkat ke kampus bersama, hanya saja sekarang jadi lebih canggung semenjak Kak Irene tidak ada, ditambah lagi status kami sebagai calon suami dan istri.

"Nope!" Ucapku dengan tegas.
"Dion mau jemput, aku mau bareng dia aja."

"Oke silakan, tapi jangan telat ya. Jam pertama mata kuliah saya, " ujarnya sambil meneguk air digelasnya.

"Telat nggak telat tetep dapet A atau B kan?" tanya ku dengan senyum evil.

"Itu kalau nggak disengaja, kalau sengaja terlambat bisa aja saya kasih C atau D," jawab Jordy yang segera bergegas menuju mobilnya.

"Kak, eh Pak tunggu dong jangan gitu."
Aku berlari mengejarnya sebelum pintu utama benar-benar dia tutup.

Beruntung Dion sudah menunggu di depan gerbang rumah kami, senyumnya merekah saat melihatku berjalan ke arahnya.

Segera aku menerima helm yang di sodorkan Dion lalu naik keatas motornya.
"Goodbye my brother in law," ledek ku sambil melambaikan tangan ke arah Jordy.
Jordy hanya membalasku dengan gelengan kepala.

.
.
.
.
.
Bersambung

Tawanan Cinta Kakak Ipar | (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang