50 (Pengantin Baru, cie)

45 6 2
                                    

Mata hitam itu terbuka untuk pertama kalinya, untuk menyambut hari baru dalam kisah hidup. Pagi ini adalah pagi dalam lembar baru dari lembar-lembar lama yang kini bersiap mengukir kisah baru. Kisah yang akan diukir dengan berbagai warna pena. Lembaran baru ini adalah lembar dengan judul yang ditulis dengan penuh suka cita.

Hari pertamaku bersandang gelar seorang istri.

Rainka. Dalam remang-remang pandangan, ia menatap langit-langit di atasnya. Mencoba menolak menoleh ke arah pemilik embusan napas yang seakan berbisik di telinganya.

Sepi senyap. Belum ada gema adzan subuh atau pun suara hewan malam yang biasa terdengar sayup-sayup. Kali ini alam seakan membawanya dalam dimensi senyap dengan desiran. Menariknya dalam bayang-bayang debaran hari lalu saat-saat seonggok manusia yang kini terlelap di sampingnya menjabat tangan untuk mengucapkan kabul dengan lantang. Debaran itu masih ada, masih hangat, dan masih dingin rasanya.

Tidak percaya jika ada teman yang mengisi tempat di sampingnya. Seseorang yang di hari-hari depan akan menjadi teman satu kamarnya. Seseorang yang akan menjadi teman untuk hidup, membina rumah tangga dalam bingkai pernikahan. Semuanya ditakdirkan dengan kejutan. Kejutan besar dalam kehidupan.

Rainka menarik napasnya. Dalam ... lalu dibuang perlahan-lahan. Ia memiringkan tubuhnya, menatap wajah menawan dari pemilik cap sebagai suaminya mulai kemarin.

Dia ... Leeanka Rheinazie, teman hidupnya.

Rainka terus menatapnya tidak mengindahkan jika saja Leeanka terbangun sebab merasa diperhatikan. Ya ... dia berani sebab lelaki itu sudah sah menjadi suaminya. Bahkan jika gemas pun ia akan menggigit hidung mancungnya itu.

"Pagi ....," sapa Rainka, lirih.

Mungkin terlalu letih untuk Leeanka terbangun, terlebih waktu masih gelap dan wajar saja lelaki itu masih terlelap. Bahkan Rainka tidak tahu pukul berapa Leeanka tidur, sebab dirinya tidur lebih dulu dikarenakan letih yang luar biasa.

Jika diingat-ingat bagaimana kecanggungan yang terjadi tadi malam, pastinya bibirnya melengkung membayangkan itu. Sungguh, untuk mengganti pakaian pernikahan saja ia meminta izin terlebih dahulu pada Leeanka. Dan lelaki itu mengiyakan, bahkan menawarkan bantuan. Tapi kembali lagi kepada canggung, dia menolak dan segera membersihkan diri. Saat selesai membersihkan diri, Leeanka langsung pamit turun untuk menemui ayahnya. Dan setelah itu yang ia ingat adalah letih dan lelap.

Cup

Merasa malu, Rainka tergesa-gesa keluar dari kamar setelah menjadi pelaku dari ciuman yang mendarat di kening Leeanka. Langsung saja ia berlari menuju dapur.

"Hey! Neng udah bangun?"

Rainka melotot mendapati Rheni sudah ada di dapur, tengah berkutat menjadi pelaku utama dari aroma sedap yang menyerbak.

"Neng?"

"Ekhm, kenapa Bun?" Rainka mencoba bersikap biasa meskipun sejujurnya dia merutuki mengapa berani-beraninya dia menyentuh kening Leeanka sehingga di depan Ibu dari sosok itu malunya malah bertambah.

"Udah bangun? Masih jam empat loh. Tidak apa-apa kamu dan Leeanka keluar kamar jam tujuh juga, kita memaklumi."

"Eh iya. Neng tidur duluan. Jadinya bangun duluan."

"Yaudah, kamu bantuin Bunda masak, ya?"

"Siap Bunda. Boleh."

Sementara Leeanka masih geleng-geleng kepala sepeninggal langkah tergesa-gesa Rainka. Sebab musababnya adalah ia tahu apa yang Rainka lakukan padanya sebelum gadis itu lari terbirit-birit seperti seorang maling. Sepertinya istrinya itu harus lebih mengetahui tentang kehidupan ranjangnya, di mana ia akan bisa merasakan jika ada yang memperhatikan atau bahkan menyentuhnya saat matanya tertutup sekali pun. Dan Rainka sepertinya tidak tahu akan itu. Tapi mungkin dia akan tutup mulut.

LEEANKA | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang