41 (Bandung 2)

40 5 4
                                    

"A Ageng pulang kapan, Bah?" Rama tersenyum memandang putrinya yang menaruh teh di meja samping dia duduk menyantai.

"Tadi malam. Kamu udah tidur. Dia pamitnya cium kening kamu, terus bilang aku pulang. Udah gitu aja."

"Abah ngintip ya?"

"Orang Ageng yang minta. Katanya nggak masuk kamar anak gadis. Yaudah Abah lihatin," jawab Rama disertai senyum mengejek.

"Neng nggak percaya." Rainka berdecak, merasa kesal karena Abahnya selalu menggoda. Memang sifat Abahnya tidak kaku seperti kebanyakan pria. Abahnya akan berlaku layaknya ibu yang bisa membuat Rainka tidak terlalu merindukan ibunya.

"Iiih, kamu mah nggak percaya sama Abah. Orang Abah yang lihatin langsung."

Merasa perlu diselesaikan, Rainka duduk mengisi kursi kosong bersisian dengan Abahnya yang hanya dibatasi satu meja kayu kecil sebagai tempat teh pagi ini.

"Abah suka pisan godain aku."

"Abis kalian lucu. Ageng itu sahabat kamu yang dulu gendut. Sekarang tampan gitu kayak pangeran, cocok deh sama kamu."

"Tampan juga Leeanka."

"Apa?"

"Nanti kita ke makam Ama. Ara kangen sama Ama."

"Iya. Dia juga katanya kangen banget sama kamu."

Rainka hanya tersenyum tipis. Dia amat bersyukur karena Rama tidak mendengar nama Leeanka. Sisanya dia merutuki mulutnya yang frontal tanpa dinding. Padahal, dia mencoba menyembunyikan semuanya, dari Abahnya.

Tidak Rama ketahui jika putri semata wayangnya itu mempunyai cinta pertama di Jakarta. Dan tidak Rama ketahui pula jika putri yang dia besarkan penuh cinta itu mencintai lelaki yang tidak mencintainya. Berharap mendapat balasan lebih, namun semuanya hanya angan belaka. Dan tidak Rama ketahui, hati putrinya benar-benar hancur karena sebuah pernyataan Leeanka.

"Gue sayang sama lo."

"Sebagai siapa?"

"Rainka Az Zahra."

Air mata Rainka menetes lagi tanpa izin. Kedua bahunya naik-turun menahan tangis yang siap pecah. Terselip bahagia yang menjalar, namun itu seketika sirna ketika dia menyadari Leeanka belum melanjutkan kalimatnya.

"Tapi tidak untuk cinta. Maaf, cinta gue dikikis waktu. Sekarang, Kirana yang menggenggam hati gue."

Lolos sudah isakan duka dari pertahanannya. Terlalu menyakitkan pengakuan itu untuk didengar telinga dan diratapi oleh hati.

Rasanya getir. Mungkin ini karma yang harus dia dapat dari menyakiti hati pemuda itu dengan begitu dalamnya. Ini mungkin tamparan agar Rainka sadar, dia tidak lagi harus mengharapkan cinta Leeanka seperti dulu. Dia tidak lagi harus mengharapkan genggaman hangat Leeanka seperti dulu, karena waktu sudah mengikis semua itu, mengikis semua rasa yang pernah bertahta.

"Mengapa waktu tidak mengikis kamu dari sini?" Rainka menunjuk dadanya. Menunjuk singgasana Leeanka. "Mengapa?" tanyanya penuh getar.

"Lo menguncinya-"

"Aku nggak tahu kuncinya di mana? Kamu yang bawa, bukan?"

"Lo kasih kuncinya sama gue. Tanpa sadar, gue keluar dari situ. Mencari kebebasan. Faktanya, hati lo kosong. Gue udah pergi nemuin tempat yang baru dan yang lo anggap gue, itu hanya ilusi yang lo ciptakan. Ilusi yang setiap harinya buat lo yakin untuk bertahan sama sesuatu yang nggak nyata. Yang nyakitin lo."

"Jadi? Di sini kosong?" Berguncang hebat. Seperti disambar petir di pagi hari. Rainka tidak mampu berkata-kata. Tidak berani menatap Leeanka.

Patah hati, tapi mungkin dilevel tertinggi.

LEEANKA | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang