Epilog

86 5 5
                                    

Luka tidak melunturkan senyuman secara abadi, tetapi mengikis senyuman itu hingga tak seutuh dulu.

Ya, Leeanka menatap pantulan dirinya dari cermin, menatap jelas tubuh tegapnya yang dibalut pakaian serba putih, lantas tersenyum tanpa keutuhan layaknya dahulu.

Leeanka menghela napas. Mengambil sebingkai foto yang masih setia bertengger di meja riasnya. Leeanka mengusapnya. Lembut. Menatap sepasang manusia penuh bahagia di dalam sana tanpa suara. Merelakan setiap kenangan yang mendadak singgah dalam kepala. Menikmati setiap memori dalam 16 tahun berharga dalam kisahnya. Masih tersenyum. Senyum yang tak seutuh dahulu.

13 tahun sudah dalam kesendirian. Membesarkan keempat permata nya seorang diri. Tanpa pendamping. Tanpa ibu baru bagi anak-anaknya.

Kehancuran besar-besaran 13 tahun silam memang merenggut separuh jiwanya. Mendukil separuh hati yang dia punya. Meremuk redamkan segala bahagia dalam hidup. Membuat dia merasa lupa akan hidup-hidup putra-putrinya. Yang ada hanya gelap. Tanpa tahu lagi bagaimana cara bernapas.

1 bulan dalam kungkungan awan hitam. Dipenuhi kabut kelabu. Dalam lingkaran kemarahan. Pedih. Tanpa ikhlas dalam diri. Satu bulan yang dilalui begitu panjang. Setiap detik, menit, jam, dan hari yang berganti terasa amat lambat. Bagai seekor penyu yang berjalan di tengah lautan penuh racun. Itulah hidupnya 13 tahun silam. Begitu kelam.

Dan hari ini tepat 13 tahun langit membawa separuhnya terbang. Hari ini tepat 13 tahun Leeanka hidup tanpa istri. Hari ini tepat 13 tahun putra bungsunya dilahirkan dan pergi. Hari ini tepat 13 tahun ketika dia terasa bagai mati.

13 tahun sudah berlalu. Dan Leeanka sanggup melewati pedih itu. Bertahan sampai di titik ini, titik di mana dia tak lagi menuntut sebuah kebahagiaan. Titik di mana ikhlas itu benar-benar tertanam. Dan titik di mana dia merasa nyaman seorang diri, tanpa mencari lagi istri pengganti.

Leeanka berjalan keluar kamar. Menyambut sanak saudara dan teman-teman terdekat yang sudah duduk melingkar mengisi ruang keluarga.

Leeanka melempar tersenyum. Tipis sekali. Jauh dari cara tersenyum yang dia tahu dahulu.

Ada tempat yang sudah dipersiapkan khusus untuknya. Leeanka duduk di tengah-tengah putra-putrinya. Disambut pertanyaan-pertanyaan penuh penasaran oleh putri bungsunya. Euis, gadis berumur 16 tahun itu terlalu penasaran mengapa Ayahnya lama sekali dalam kamar. Alhasil, Euis langsung menyerbu ayahnya dengan pertanyaan selagi menunggu yang lain datang.

"Ayah ngapain di dalam kamar? Lama banget? Ayah ketiduran?"

Leeanka hanya menjawabnya dengan gelengan seraya tangan yang membenarkan hijab putih yang Euis kenakan.

Lalu matanya tanpa sengaja bertatap dengan putra keduanya. Kakak kembaran Euis tepatnya. Pemuda yang mewarisi diamnya itu hanya tersenyum tipis. Tampan sekali dengan pakaian serba putih yang senada dengan dirinya.

"Ayah, nanti ke makam Bunda pakai mobil Vanya ya? Vanya kebetulan nggak pernah pakai. Vanya baru inget soal ini." Kini berganti putri pertamanya yang bertanya. Gadis cantik menginjak usia kepala tiga itu berbisik menawarkan tumpangan. Leeanka hanya mengangguk saja menjawab Bu dokter spesialis anak yang terlihat cantik itu.

"Kenapa, Yah?" Louiz, putra pertamanya bertanya ketika tidak sengaja mendengar perbincangan itu. TNI AD berusia dua puluh empat tahun itu bermaksud menawarkan bantuan jika ada yang kurang atau apa pun itu. Tubuhnya yang gagah perkasa tampak sempurna dibalut pakaian serba putih juga kopiah hitamnya. Leeanka menggeleng seraya tersenyum tipis.

Tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Ustad yang ditunggu untuk memimpin acara peringatan kematian akhirnya datang. Bercakap-cakap sebentar. Membagi ilmu agama yang dia punya kepada orang-orang yang datang.

LEEANKA | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang