Kelam.
Sunyi.
Hitam pekat.
Birunya langit tidak lebih dari mendung kelabu. Semilir angin hanya rintihan pilu yang terpendam. Cerahnya mentari tidak memberikan satu pun terang. Karena yang ada hanya gelap, pekat dan kelam.
Ditinggalkan. Apalagi yang lebih menyakitkan dari itu? Sebuah pedih yang mendera. Rasa yang tak berasa.
Terlalu jahatlah dia yang mengukir luka ini. Terlalu tegalah Dia yang menulis kisah ini. Terlalu kuatkah dia yang menerima takdir ini?
Tuhan ... Anak manusia malang itu menatap nanar langit biru di atas sana. Batinnya menjerit-jerit ingin menumpahkan setiap sedih yang melanda. Tapi air mata itu habis sudah. Pertanda dari sebuah luka yang benar-benar menghujam dada.
Dalam batinnya dia merintih pilu, "Ke mana kah kebahagian yang dulu begitu utuh? Ke mana perginya gema tawa itu? Mengapa Kau membawa setengah jiwaku, Tuhan?"
Tapi langit biru itu tak menjawab satu pun tanya, selain hanya menyuruh angin membelai lembut rambutnya.
Sejuta luka sudah dia adukan kepada langit. Setiap rasa sudah dia bagi bersama langit. Semua rencana selalu dia musyawarahkan dengan langit. Tapi apa? Langit tidak pernah menganggapnya teman. Justru langit membawa separuh jiwanya pergi terbang.
Ditinggalkan. Kematian. Biarlah dunia berpikir dirinya tak tegar. Biarlah dunia menganggapnya lemah. Biarlah dunia mempertanyakan di mana lingganya. Semesta tak mengerti pedihnya. Merananya. Kehilangan separuh napasnya.
Ditinggalkan yang paling tersayang. Dipisahkan oleh kematian. Secara tiba-tiba. Mengapa secepat itu kebahagian hilang? Di saat riang mendadak belati datang menikam.
Lagi? Ada yang pergi darinya? Sungguh, yang direnggut kali ini membuatnya tak berasa apa-apa. Selain hanya pedih, pedih, pedih dan pedih saja.
"RAINKA! MENGAPA KAU TEGA?! RAINKA! AKU MASIH MEMBUTUHKAN KAMU. RAINKA! kumohon ..., aku mohon ...."
Burung-burung mengurai dari rimbunnya dedaunan. Suara Leeanka memecah kedamaian semesta. Mengoyak angin yang bahkan berniat menghiburnya dengan sapuan lembut.
"Tuhan ..., kumohon jangan ambil istri dan anakku ...."
Leeanka memejamkan mata. Berharap menghilang saja dari semesta. Bukan gelap yang tergambar, melainkan raut jelita sang istri. Wajah polos tanpa dosa putranya. Mulutnya merintih-rintih memanggil Rainka, Rainka, Rainka. Anakku, Akza.
Angin mengerti tentang sebuah tangan yang Leeanka ulurkan untuk membawa kembali Rainka dan Akza. Awan juga memahami jika mata coklat itu tidak benar-benar menatapnya, melainkan menatap senyum jelita separuh jiwanya. Hanyut dalam memori tangis kecil putra bungsunya.
Langit mengasihi Leeanka. Mencoba menghiburnya dengan membuat formasi indah awan berarak mengukir pola. Akan tetapi semua sia-sia. Karena Leeanka begitu nelangsa atas istri dan putranya yang tiada.
"Ayah ..., Ayah marah pada Bunda?" Louiz datang dengan raut polosnya. Bertanya mengapa ayahnya berteriak nyaring sampai membangunkannya yang meringkuk pedih di lantai dapur.
"Ayah bersedih? Karena Bunda dan Adek Akza pergi?" Kepolosan Louiz seakan tidak Leeanka dengar. Semua yang ada di sekitar tidak benar-benar ditangkap matanya. Karena pria itu seperti jiwa yang sedang berkelana ke negeri nun jauh di antah berantah sana. "Ayah ..., Bisakah Ayah memeluk Louiz? Dada Louiz sesak, Ayah ...."
Leeanka masih bergeming. Setia menjadikan kedua lengannya sebagai bantalan kepala. Menatap langit seakan tak bernapas. Mengabaikan suara kecil putra kebanggaannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
LEEANKA | COMPLETED
Teen FictionFRSA#1 LEEANKA Ketika Ikhlas yang tak kunjung datang. Celakanya, yang datang dia yang mencoba diikhlaskan. Hatinya memang tidak kembali bergetar saat mata yang dulu menyakitinya datang dan menatapnya dengan tatapan yang tak pernah berubah. Perasaan...